13/02/2007

Nasionalisasi Sumber Daya Alam Indonesia; Kapan?

Oleh: Antonius Priyani Widjaya*

KETIKA peringatan hari bumi baru saja berlalu, Bolivia mengumumkan langkah kebijakannya untuk menasionalisasikan sumber daya alamnya (sektor migas). Kebijakan pemerintahan Evo Morales ini bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, nasionalisasi ini bertujuan untuk menjadikan negara Bolivia sebagai "majikan" dari kekayaan sumber daya alamnya dan memaksa (memangkas keserakahan) seluruh perusahaan asing yang menghisap minyak dan gas mereka.

Kebijakan presiden Morales ini menjadi sebuah langkah kontroversi bagi dunia internasional yang didominasi negara-negara barat yang menganut paham ekonomi kapitalis. Aturan ini dianggap "perlawanan" dan "kiri" dalam arus globalisasi hari ini, langkah ini disebut sebagai langkah mundur dalam mainstream skema politik ekonomi internasional yang memiliki corak produksi individualis.

Perusahaan transnasional dan multinasional yang hampir seluruhnya berasal dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa dibuat kalang kabut untuk melakukan negoisasi ulang dengan perusahaan minyak nasional Bolivia (YPFB) tentang peran serta mereka sebagai "mitra" pemerintah Bolivia dalam melakukan eksploitasi sumber minyak dan gas. Bayangkan, renegosiasi untuk menyepakati YPFB yang akan menjadi pemegang saham mayoritas dalam perusahaan-perusahaan energi asing yang beroperasi dinegara itu hanya dilakukan dalam waktu 180 hari saja.

Kebijakan berani dan cerdas bangsa Bolivia ini memberikan pelajaran kepada kita tentang arti sebenarnya dari keberpihakan penguasa kepada rakyat, tentang arti sebenarnya dari tugas negara mengelola kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat, kebijakan ini (secara langsung dan tidak langsung) menaikan posisi tawar pemerintahan Bolivia.

Adalah sebuah kepantasan yang hakiki, bila seluruh kekayaan alam dikelola oleh negara untuk kemakmuran seluruh rakyatnya. Adalah hak dasar seluruh rakyat didalam suatu negara untuk sejahtera, bangkit dan berdaya melalui potensi kekayaan sumber daya alamnya. Adalah tidak melanggar secuil kesepakatan pun di atas bumi ini bila pemerintahan sebuah negara mensejahterakan rakyatnya dari hasil kekayaan sumber daya alam yang syah dimilikinya (berada dalam wilayah negaranya) dan tidak ada larangan sedikitpun bila negara mencerdaskan rakyatnya bukan dari utang luar negeri, dan pemerintah Bolivia secara konkrit melakukannya.


Bagaimana dengan Indonesia ?

Tidak berbeda nasibnya dengan negara-negara Amerika Latin, Sejak jaman kolonial klasik kekayaan alam bangsa ini telah dihisap pihak asing. Sejarah penjajahan bangsa ini menjelaskan kepada kita tentang monopoli dagang hasil bumi Indonesia oleh Serikat Dagang Hindia Belanda. Pengangkangan kekayaan alam nusantara ini kemudian dilakukan dengan kekuatan senjata. Dengan letak geografis yang strategis, Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa dan memiliki jumlah penduduk terbesar ke 4 di dunia, menjadikan bangsa ini target utama kaum imperialisme.

Sejarah Indonesia yang fondasinya dibangun oleh kolonialisme Hindia Belanda menyebabkan tatanan rumit yang membuat keengganan untuk membongkar sistem pembangunan bentukan kolonialis menjadi suatu sistem pembangunan yang lebih mandiri (ketimbang bergantung pada inisiatif negara-negara imperialis). Sejak jaman revolusi sampai hari inipun sejarah mencatat, bahwa rezim berkuasa merupakan kepanjangan tangan kaum imperialis untuk memantapkan kondisi "rust en orde" demi kenyamanan bercokolnya imperialisme di bumi Indonesia.

Fakta ini dapat dilihat di dalam Manifesto Politik Muh. Hatta (Wapres RI pertama) pada tanggal 1 Nopember 1945, berbunyi: "Kita mengetahui, bahwa kedudukan negeri kita meletakkan suatu tanggung-jawab yang besar di bahu kita terhadap keluarga dunia, kita tidak membenci bangsa asing, juga tidak benci kepada bangsa Belanda........ Malahan kita mengetahui dan mengerti benar, bahwa untuk keperluan negeri dan bangsa kita di dalam beberapa tahun yang akan datang ini, kita akan memerlukan pertolongan bangsa asing di dalam pembangunan negeri kita berupa kaum teknik dan kaum terpelajar, pun juga kapital asing."

"Didalam memenuhi keperluan itu kita tidak akan menghindarkan kenyataan bahwa orang yang berbahasa Belanda, mungkin akan lebih banyak dipergunakan karena mereka telah ada disini dan lebih biasa akan keadaan disini. Sehingga pelaksanaan kemerdekaan kita itu belum perlu berarti kerugian besar untuk pihak Belanda, jika diukur dengan mata uang atau jiwa, akan tetapi tentu sekali berarti perubahan yang sebesar-besarnya di dalam kedudukan politiknya."

"Kita yakin, bahwa tanah kita yang kaya-raya ini jika diusahakan dengan sesungguhnya untuk meninggikan derajat penghidupan bangsa kita serta dunia umumnya akan masih banyak benar memberi ruangan untuk tenaga dari seluruh dunia, terutama dari Amerika-Serikat, Australia dan Filipina untuk turut dalam pembangunan negara dan bangsa kita."

"....... Dengan pengakuan kemerdekaan kita, kita akan menanggung segala yang patut kita tanggung menurut kedudukan kita, segala hutang Hindia Belanda sebelum penyerahan Jepang dan patut menjadi tanggungan kita, kita akui sebagai hutang kita. Segala milik bangsa asing dikembalikan kepada yang berhak serta yang diambil oleh negara akan dibayar kerugiannya dengan seadil-adilnya......."

(Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, hal.: 149-150.)

Tentu saja contoh serupa dapat kita temui dalam perjalanan Indonesia pasca kolonialisme Hindia Belanda. Apalagi ketika negeri-negeri imperialis melahirkan lembaga-lembaga seperti World Bank, International Monetary Funds (IMF) hingga World Trade Organisation (WTO) itu semua semakin menggamangkan keinginan untuk menghindar dari kekuasaan imperialisme. Sekarang Imperialisme ditampilkan dengan selubung globalisasi. Seolah-olah globalisasi menjadi sebuah keharusan sejarah.

Pelajaran penting dari sejarah pengelolaan sumber daya alam di negeri ini adalah rakyat tidak berdaya untuk mengakses sumber daya alam, posisi rakyat adalah penonton dan kuli dari penjarahan kekayaan alam di wilayah kelola masing-masing, dan lainnya adalah eksploitasi yang berlebihan dan praktek korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam.

Pelajaran penting dari banyak negara lain tidak menarik bagi para pemimpin kita, karena tidak ada kemauan (dan keberanian) untuk membangun negeri ini dengan mandiri, bebas dari relasi produksi kapitalistik. Membebaskan negeri ini dari penindasan dan penghisapan tidak dapat kita harapkan dari para wakil dan pemimpin, dan hari ini menjadi tugas kita sebagai rakyat untuk menyadarkan sesama sebagai rakyat untuk kritis dan menuntut negara melakukan kewajibannya mensejahterakan kita yang sementara ini masih sebagai rakyatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.**



*) Penulis adalah Aktivis Institut Dayakologi-Pontianak

21/12/2006

Kebangkitan Amerika Latin Melawan Globalisasi Neoliberal

Sebuah Cermin Membangun Dunia Baru yang Alternatif

Zely Ariane

Abstraksi

Another World is Possible” adalah mimpi yang dikandung dunia, yang sedang dalam persalinan dari rahim ekonomi liberal yang sedang sakit. Sakit yang menyejarah, bersumber pada eksploitasi manusia atas manusia yang melahirkan ketimpangan dan ketergantungan luar biasa hebatnya. Sakit yang paling besar memakan korban di penghujung abad 20 dan awal abad 21.

Berbagai resep yang dipercaya paling mujarab sudah ditemukan, bahkan diwajibkan dalam deklarasi universal PBB; resep-resep Negara Kesejahteraan; dan Millenium Development Goals (MDG’s). Namun, seakan kehilangan mujarabnya dihadapan realitas kehidupan dunia saat ini: kelaparan dan kekurangan gizi berbarengan dengan kemajuan teknologi pertanian dan pangan; mati karena sakit yang sudah ada obatnya; serta kebodohan ditengah gemerlapnya kemajuan teknologi dan pengetahuan.

Hingga, sejarah pun tak hendak berhenti mengandung dan melahirkan bayi-bayi kemarahan, perlawanan, dan alat-alat untuk menegakkannya, selama kepentingan mayoritas rakyat masih belum mendapatkan tempat yang layak dalam kehidupan sebuah bangsa dan masyarakat.

Amerika Latin, adalah salah satu ibu benua yang paling sakit namun paling dinamis dalam membuat mimpi tersebut menjadi kenyataan. Ditempa oleh pementasan berbagai skenario imperium modal, termasuk tepuk tangan oleh beragam model perlawanannya, kini benua itu sudah melahirkan alternatif terhadap globalisasi neoliberal di pentas politik kekuasaan.

Krisis Ekonomi Global, Sebuah Landasan bagi Alternatif

Ekonomi global dalam sistem kapitalisme menderita penyakit sosial yang berkepanjangan, yang menyebabkan ketimpangan, ketidakproduktifan dan ketergantungan yang luar biasa hebatnya. Kemiskinan, kebodohan, pengangguran, hingga kelaparan adalah komplikasi dari penyakit tersebut. Wacana ini, khususnya fenomena kemiskinan, telah menjadi begitu mempesona (1) sebagai wacana yang lebih bermakna derma, dengan sedikit upaya memahami mekanisme ekonomi dan sosial yang menyebabkannya, yakni: ekonomi liberal (kapitalisme). Penyakit ini, sekarang, semakin diperparah oleh dominasi kekuasaan modal korporasi industri dan keuangan multi dan trans-nasional serta ekonomi spekulasi (2) (casino capitalism).

Oskar Lafontaine, ketika masih menjadi kolega Gerhard Schröder (3) di jajaran pimpinan SPD (Partai Sosial Demokrat Jerman) dan Perdana Menteri Saarland Jerman tahun 1998, pernah menyatakan bahwa “kita menghendaki sebuah masyarakat yang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik… sekaligus (untuk) membetulkan ketimpangan sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan dari keniscayaan ekonomi pasar.” (4)

Kehidupan ekonomi dan politik global yang ditandai dengan globalisasi kekuasaan finansial negeri-negeri maju (5), menandai babak baru dalam sejarah dunia yang disebut globalisasi neoliberal, babak sejarah dominasi baru yang, bila dibandingkan dengan tahun-tahun 1871 hingga 1914 (Perang Dunia I), lebih menekan, penuh dengan perubahan-perubahan mendadak, sarat dengan konflik, suatu babak yang akan diakhiri dengan kengerian. (6)

Dan kini, di dalam globalisasi neoliberal, ‘penundukan’ negeri-negeri berkembang dan terbelakang dijadikan JALAN KELUAR dengan menggunakan badan-badan keuangan/perdagangan dunia yang merupakan perangkatnya. Menggalakkan hutang luar negeri terhadap negeri-negeri berkembang dan miskin oleh IMF dan Bank Dunia adalah salah satu upaya penguasaan yang dilakukan di penghujung 1960an, dilanjutkan oleh jeratan paket Konsensus Washington yang bertujuan untuk mereformasi ekonomi dalam negeri ‘sebatas’ berkemampuan untuk membayar hutang yang sudah mereka berikan. Inilah mekanisme lingkaran setan ekonomi liberal yang tak berkesudahan. (7)

Hasilnya, jumlah perusahaan multinasional telah meningkat sangat pesat sejak tahun 1970—90% dari korporasi transnasional itu berkantor pusat di negeri-negeri maju—bahkan, kekuatan ekonomi perusahaan multinasional lebih besar ketimbang kekuatan ekonomi banyak negara-negara nasional.

Jauh dari apa yang disebut “penyebaran aset”, sekali pun penjualan mereka telah menyeberangi bola bumi, justru korporasi-korporasi transnasional telah memusatkan produksi dan penjualan komoditi mereka di negeri-negeri “induk”. Situasi ini mencerminkan adanya distribusi yang tak setara (uneven), tak adil, dalam hal investasi langsung dan perdagangan global. Bahkan, sebagai contoh di Eropa, perolehan keuntungan (akibat akumulasi modal) MNC-TNCs, tidak lagi dapat dikenakan pajak. Secara umum, nilai pajak terhadap perusahaan-perusahaan tersebut juga turun drastis, khususnya perusahaan-perusahaan terbesar yang dapat menghindari pajak nasional dengan mentransfer keuntungannya atau memindahkan kantor-kantor nasionalnya ketempat lain. (8)

Oleh karena itulah, resep-resep atas krisis, semacam disiplin fiskal; pengetatan belanja publik; reformasi perpajakan; liberalisasi suku bunga; liberalisasi perdagangan dan investasi; privatisasi; deregulasi; dan perlindungan hak kepemilikan, yang selama ini dikenal sebagai Konsensus Washington atau globalisasi Neo-liberal malah memperparah ketimbang memberi jalan keluar.

A. Ekses-ekses Globalisasi Neoliberal

Satu dekade lebih wacana pasar bebas, globalisasi neoliberal (Konsensus Wahington) diluncurkan, delapan tahun lebih sudah negeri-negeri selatan dari Amerika Latin, Afrika, hingga Asia, mengintegrasikan diri sepenuhnya ke dalam mekanisme pasar global, ditambah dengan tekanan baru yakni keleluasaan bagi sektor finansial, hasilnya “kebijakan-kebijakan neoliberal yang selama ini dipaksakan terhadap negeri-negeri yang ‘kurang beruntung’ oleh Institusi Keuangan Internasional (IFI) di Washington, membawa mereka menuju krisis dan penderitaan.” (9)

Sekelumit bukti berikut ini (10) memperkuat pendapat Williamson. Bahwa dunia di dalam globalisasi neoliberal tidak bisa mengatasi kematian 11 juta balita miskin setiap tahunnya. Dunia seperti itu yang menyebabkan 1,3 milyar orang hidup kurang dari $1/hari, dan 3 milyar orang hidup dengan $2/hari; 1,3 milyar orang tak punya akses terhadap air bersih; 3 milyar orang tak punya akses terhadap sanitasi; serta 2 milyar orang tak punya akses terhadap listrik.

Seharusnya, hampir 3 milyar jiwa tenaga produktif kaum muda yang berusia di bawah 25 tahun dapat memberi manfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Namun, 85% kaum muda tersebut hidup tidak produktif di negeri-negeri yang miskin teknologi dan industrinya. Dan ironisnya, negeri termiskin justru memiliki persentase kaum muda paling tinggi.

Bahkan Amerika Serikat, tempat dimana globalisasi neoliberal dilahirkan (melalui konsensus Washington), tak kuasa mengusahakan akses kesehatan dasar bagi 45 juta rakyatnya yang sebagian besar Afro-Amerika, padahal AS memiliki akses terhadap teknologi kesehatan terbaru dengan sistem terapi tercanggih. Sehingga angka kematian bayi Afro-Amerika dua kali lebih tinggi dari warga kulit putih AS.

Dunia tempat kita hidup sekarang memberikan kesempatan lebih besar pada 50 individu terkaya untuk berpendapatan melebihi keseluruhan pendapatan 416 juta rakyat termiskin, dan memberi lebih banyak keleluasaan pada beberapa ratus milyuner dunia untuk memiliki kekayaan sama dengan 2,5 milyar orang-orang termiskin di dunia.

Dunia yang tak berperasaan itu juga lebih memilih membelanjakan hingga dua trilyun dolar setiap tahunnya untuk kebutuhan militer daripada akses kesehatan bagi 8 juta lebih kaum perempuan yang menderita sakit jangka panjang akibat komplikasi kehamilan, dan 500.000 di antaranya mati melahirkan setiap tahunnya.

B. Neoliberalisme di Amerika Latin (AL)

Dalam membahas globalisasi neoliberal, maka Amerika Latin menjadi penting untuk diperhatikan. Selain bahwa kawasan ini begitu dekat dengan jantung kekuasaan neoliberal (Amerika Serikat), juga karena disanalah eksperimen awal terhadap beragam kebijakan neoliberal dilakukan (11) dan memanen beragam perlawanan. Sejak dua dekade AL menjadi laboratorium bagi neoliberalisme, satu dekade terakhirnya berbuah krisis, berdampak paling parah terhadap petani, para pekerja (dipaksa kehilangan pekerjaan), serta bagian masyarakat yang paling terpinggirkan, terdiskriminasi, dan termiskin di anak benua tersebut yakni masyarakat suku asli Indian.

Semua indikator ekonomi dan sosial utama menunjukkan tanda-tanda negatif. Jika kita ambil contoh realistis kemiskinan dengan ukuran pendapatan $5/hari saja, lebih dari 70% rakyat AL hidup dalam kemiskinan dan 40%-nya (dengan ukuran pendapatan $2/hari) hidup melarat. Di Argentina, hampir 60% rakyat hidup miskin dan 1/3-nya melarat. Brazil, yang terus mengalami resesi dalam tiga tahun belakangan ini sudah membayar utangnya lebih dari $60 milyar, dengan memotong anggaran untuk perumahan, kesehatan, pendidikan dan pembaharuan agraria (baik oleh pemerintahan Cardoso maupun Lula). Juga di Mexico, Uruguay, Bolivia, Kolombia dan Venezuela ekonomi berada dalam krisis yang parah, karena model neoliberal yang berdasarkan pada ekspor menyebabkan transfer pendapatan ekspor ke luar negeri dalam bentuk pembayaran profit, hutang, dan pengelakan pajak.

Hasilnya, ketimpangan sosial semakin lebar diseluruh AL; di bawah program-program pengetatan anggaran yang dilakukan Brazil, Argentina, dan Mexico, lapisan atas masyarakat diuntungkan lewat pajak dan pengupahan yang lebih rendah (murah). Bahkan, menurut Petras, stagnasi ekonomi dan ketimpangan sosial yang kronis belum berubah setelah kemenangan Lula di Brazil, Guiterrez di Ekuador dan Toledo di Peru. (12)

Jose Antonio Campo, (13) lebih jauh menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi terbukti jauh lebih rendah dibandingkan masa-masa dimana kebijakan susbtitusi impor (Import Subtituting Industrialisation-ISI) dijalankan di wilayah itu. Diseluruh kawasan pertumbuhan ekonomi di masa-masa setelah stabilisasi reformasi neoliberal berada pada level rendah antara 3,5 sampai 4% pertahun. Angka ini berada di bawah rata-rata 5,5% per tahun dimasa-masa tiga dekade sebelum krisis hutang terjadi.

Situasi ini semakin diperparah oleh liberalisasi perdagangan dan penghapusan subsidi, yang berarti bahwa keterampilan kompetitif dalam manufacturing barang-barang kulit, furniture, pakaian, dan peralatan mesin untuk pasar domestik telah ‘dimatikan’ dengan kejam, sehingga banyak usaha-usaha kecil-menengah dipaksa gulung tikar karena penetrasi barang-barang impor. Derajat integrasi vertikal (peningkatan taraf hidup) telah menurun tajam, sementara praktek-praktek outsourcing, di tingkat internasional semakin meningkat. Dengan demikian ketergantungan kawasan tersebut terhadap barang-barang modal dan teknologi asing menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan (14).

Imperium (15) Modal tak Lagi ‘Mahakuasa’


Berbicara mengenai imperium modal di era imperialisme modern abad 20, maka Amerika Serikat adalah pusarannya (16). Melalui 133 intervensi militer selama 111 tahun (1890-2001) dari ‘pembunuhan brutal’ terhadap populasi pribumi di Wounded Knee Dakota hingga ekspedisi ‘penghukuman di Afghanistan’. Enam diantara intervensi tersebut adalah Perang Dunia I dan II, Perang Korea, Vietnam, Teluk dan Yugoslavia (17). Rata-rata per tahun meningkat dari 1,15 sebelum dan 1,29 sesudah Perang Dunia II. Dan setelah Perang Dingin, di penghunjung 1989, meningkat tajam menjadi 2, sesuai dengan hipotesis bahwa ‘perang pun meningkat ketika imperium berkembang, dengan lebih banyak hak istimewa yang dilindungi, lebih banyak keresahan yang diredamkan, dan revolusi yang ditumpas.’

Oleh karena itu, AS berhasil mendominasi imperium modal sebagai hasil dari kemenangan ideologi liberal dan ekonomi pasar pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin. Sejak jatuhnya rejim-rejim Komunis, Washington telah memperluas pengaruhnya terhadap bekas-bekas negeri Komunis, dari Baltik ke Eropa Timur hingga Balkan dan terus menuju Asia Tengah, Selatan dan Tenggara melalui perang, invasi dan berbagai operasi rahasia. ‘Kerajaan’ AS meliputi hampir 50% dari 500 MNC (Multi-National Cooperation) dan Bank-bank tebesar dunia, 120 basis militer di seluruh dunia dan ratusan misi-misi militernya . (18)

A. Penolakan Gerakan Rakyat di Dunia

Situasi dunia saat ini semakin memperlihatkan kekuasaan dunia tidak bisa ‘unipolar’, dan ‘kerajaan’ modal AS serta berbagai MNC dan TNC’s di dunia pun tidaklah selamanya ‘Maha Kuasa’. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya gelombang perlawanan rakyat (di seluruh dunia) terhadap globalisasi neoliberal. Perangkat-perangkat globalisasi seperti IMF, Bank Dunia, WTO, Paris Club, AFTA, NAFTA, APEC, G8, dan sebagainya serta paket-paket kebijakan penyesuaian strukturalnya mulai terus menerus mendapat penolakan gerakan sosial internasional. Forum-forum dunia di mana para penggagas globalisasi neoliberal secara rutin bertemu dan membicarakan metode-metode pembagian dunia sesuai kebutuhan mereka, terus mendapatkan serangan-serangan demonstrasi massif.

Setelah demonstrasi jutaan manusia pada pertemuan WTO di Seattle tahun 1999, gerakan sosial di dunia mulai bangkit kesadarannya melawan kejahatan globalisasi neoliberal, sekaligus menyadari terhadap pentingnya solidaritas dan persatuan antar gerakan (19). Perlawananpun terus berlanjut di berbagai forum di berbagai belahan dunia; Washington, Prague, Genoa, Doha, Sao Paolo, Porto Alegre, Cancun hingga Hongkong dan seterusnya (20). Selama itulah slogan “Another World is Possible” begitu melekat dalam kesadaran gerakan sosial internasional. Berbagai forum sosial dunia menjadi ajang kampanye bagi kebutuhan sebuah dunia baru yang lebih baik, adil, maju dan manusiawi.

Dunia lain tersebut saat ini sedang diperjuangkan oleh gerakan sosial di seluruh dunia dengan berbagai metode dan strateginya. Dari situasi tersebut, satu hal yang menunjukkan kemajuan, yakni, sasaran utamanya menjadi semakin jelas, yakni neoliberalisme, dan berpotensi menyatukan rakyat yang menjadi korban kejahatannya. Tanpa memandang agama, suku, wilayah dan bahasa, mayoritas rakyat sedunia mulai disatukan oleh penderitaan, kemiskinan, keterbelakangan, ketergantungan yang sama akibat dominasi kekuasaan modal yang merenggut harkat, martabat dan kemerdekaan umat manusia.

B. Kebangkitan Amerika Latin

Boleh dikata, Amerika Latin (selanjutnya disingkat: AL) adalah pusat perlawanan terhadap neoliberalisme paling massif dan paling bertahan di dekade ini (21). Terlebih lagi, situasi objektif di AL memang cukup “matang” bagi transformasi sosial. Situasi obyektif ekonomi yang telah diungkapkan diatas tidak melenggang di ruang hampa politik—ditanggapi oleh pengalaman perjuangan yang tak berjeda. Dalam kurun waktu lima tahun, setidaknya terjadi sepuluh kali pergolakan massa (uprising) berskala besar yang melibatkan jutaan rakyat yang aktif.

Beberapa pergolakan yang bisa disebut di sini antara lain; di Venezuela tahun 2001 dan 2002 (untuk menggagalkan boikot para penguasa minyak dan kudeta terhadap Chávez yang disponsori AS); di Argentina (2001); di Peru (2002); Bolivia pada tahun 2000, 2003 dan 2005; dan di Ekuador pada tahun 2000 serta 2005. Dalam waktu sepuluh tahun, empatbelas presiden telah disingkirkan oleh pergolakan rakyat tersebut. Jumlah ini hanya mewakili ribuan aksi lainnya yang terjadi di seluruh AL yang, dalam kurun waktu belakangan, diiringi dengan kualitas tuntutan yang terus meningkat.

Proyek-proyek kekuasaan AS dikalahkan di Venezuela dan Bolivia. Perlawanan rakyat meningkat sangat pesat dalam menentang upaya dominasi imperium AS lewat ALCA (Kawasan Perdagangan Bebas Amerika-FTAA), mengalahkan dua kudeta yang diskenariokan oleh AS di Venezuela, melawan “Plan Colombia”, dan menjatuhkan Sanchez de Losada di Bolivia akibat privatisasi gas yang dilakukan pemerintahannya.

Perluasan kesadaran anti neoliberalisme selain dilandasi oleh kejahatannya yang merugikan langsung kepentingan sehari-hari mayoritas rakyat AL, juga oleh begitu kejamnya diskriminasi, eksploitasi, dan korupsi, yang dilakukan elit-elit pejabat pemerintah dan pengusaha pro-AS. Di Bolivia, para petani koka melawan pembasmian budidaya koka yang diperintahkan oleh AS; dan mereka juga berhasil melawan privatisasi gas, minyak serta air antara tahun 2000-2003. Di Venezuela, terkonsolidasinya prajurit-prajurit progressif awal 1980-an (yang dipimpin oleh Chávez) hingga pemberontakan 1992 untuk melawan kekuasaan Carlos Andres Perez yang neoliberal, salah satunya disebabkan oleh ketimpangan sosial dan korupsi pejabat-pejabat pemerintahan yang luar biasa.

Untuk memahami dan menilai perjalanan panjang perjuangan rakyat AL dan kecenderungan-kecenderungan gerakannya—dari fase pembebasan nasional era kolonialisme Spanyol hingga perjuangan demokratik di era imperialisme modern—kita tak bisa untuk tidak memeriksa faktor-faktor yang menyebabkan kemajuan dan kedinamisan gagasan-gagasan demokratik yang mempengaruhi gerakan, yang berkembang sejak era Simon Bolivar.

Selain Simon Bolivar, nama-nama semacam Simon Rodriguez, Fransisco de Miranda, Ezequiel Zamora, Tupac Amaru, Jose Marti, Sandino, Farabundo Marti, dst, adalah nama-nama para pejuang pembebasan nasional—yang saat ini menjadi icon perjuangan gerakan rakyat AL melawan globalisasi neoliberal—yang begitu melekat dengan ide-ide Revolusi Perancis (Kesetaraan, Kebebasan, dan Persaudaraan), sebagian karena memang berasal dari penduduk asli yang tertindas puluhan tahun (22). Oleh karena itu, gagasan-gagasan kiri atau kerakyatan juga menemukan landasannya untuk dapat berkembang luas. Mulai dari teologi pembebasan sampai filosofi pendidikan yang membebaskan (Paulo Freire), dari Revolusi Rakyat bersenjata ala FARC Kolombia, gerilyawan Maoist Arah Kemilau (Sendero Luminoso), penganggaran partisipatif ala Brazil, hingga Revolusi Bolivarian Hugo Chávez.

Namun penting untuk dicatat bahwa pasca keruntuhan Eropa Timur dan USSR, gagasan-gagasan para pejuang anti kolonial seakan bangkit kembali di era imperialisme modern saat ini, apalagi gagasan-gagasan sosialisme menjadi berantakan akibat praktek Stalinisme Uni Sovyet. Partai-partai Komunis Ortodoks Amerika Latin turut terkena imbasnya, dengan kehilangan pengaruh dihadapan massa. Yang juga penting untuk dicatat adalah keberhasilan Revolusi Sosialis Kuba 1959 yang mampu bertahan sebagai katalisator bagi masa depan perjuangan rakyat AL.

Situasi-situasi tersebutlah yang antara lain mempengaruhi reorganisasi gerakan di Amerika Latin, selain berbagai skenario penundukan AS serta krisis akibat globalisasi neoliberal. Inilah landasan yang akan mampu menjawab fenomena kemunculan gerakan-gerakan pembebasan nasional modern ‘diluar slogan-slogan kiri ortodoks’ semacam FMLN, Sandinista, Tupamaros, dst.

James Petras, mantan Profesor Sosiologi pada Universitas Binghamton, New York, USA, menggolongkan perjuangan rakyat di AL ke dalam empat gelombang gerakan dengan karakternya masing-masing. Gelombang pertama, pada fase akhir 1950an hingga awal 1970-an, dimulai dengan kesuksesan Revolusi Kuba dan diakhiri dengan kekalahan kaum populis serta sosialis—dimulailah era kediktatoran militer di kerucut bagian paling selatan benua AL; Gelombang kedua berpusat di Amerika Tengah, dimulai dengan Revolusi Sandinista Nicaragua pada tahun 1979 dan diakhiri dengan kekalahan elektoralnya di tahun 1990—era terkonsolidasinya rezjim-rejim boneka AS di Nicaragua, Guatemala, dan El Salvador; Gelombang ketiga dimulai di akhir 1990-an dan berakhir pada tahun 2002, perpaduan antara gerakan rakyat dan koalisi dengan partai-partai atau pemimpin-pemimpin populis gadungan; Gelombang keempat, yang sedang memperoleh momentumnya, terus menerus saling-mengkonsolidasikan gerakan sosial-politik di seluruh AL, termasuk koalisi kaum tani-indian-pengangguran (kaum miskin kota)-kaum buruh dalam aktivitas ektra-parlementer.

Perkembangan ini makin mengenalkan AL sebagai mata air referensi alternatif yang istimewa sekaligus pengalaman perjuangan modern yang tiada habisnya, sejak usai perang dingin. Sebagai “benua revolusi”, seperti dinyatakan Fidel Castro, AL saat ini telah menjadi basis penting bagi perubahan peta politik dunia di abad 21. Walau proses perubahan politik dan perkembangan gerakan di sejumlah negeri di AL mengalami pasang surut, namun perkembangannya dari hari kehari semakin mengindikasikan kegagalan ideologi neoliberal dan awal kekalahan neoliberalisme. Kemajuan ini juga dicapai berkat keberhasilan gerakan memanfaatkan ruang demokrasi untuk meluaskan pengaruh politiknya.

C. Posisi Sentral AL bagi AS

Menurut Petras (23), berbagai kebijakan dan praktek institusi-institusi ekonomi dan politik neoliberal Amerika Serikat (AS) adalah sumber dari persoalan pokok yang dihadapi Amerika Latin (AL)—tanpa mengabaikan fakta peranan dari spekulator lokal, politisi korup, tuan tanah, dan para pebisnis, serta tentara. Ada beberapa sebab dimana posisi AL menjadi sentral bagi AS. Pertama adalah perdagangan, dimana AL merupakan satu-satunya kawasan yang memberikan surplus perdagangan terhadap AS yang semakin sulit diberikan oleh Asia dan Eropa. Jika tidak karena surplus perdagangan dan jasa di AL maka neraca perdagangan AS yang negatif akan menempatkan dolarnya dalam bahaya hingga tak menutup kemungkinan akan memperparah krisis finansialnya.

Kedua adalah marjin keuntungan yang diatas rata-rata, tak hanya berasal dari perbankan dan keuangan, namun juga dalam hal politik upah murah, energi dan perdagangan. Antara tahun 1990-2000 lebih dari 900 milyar dolar ditransfer ke AS dalam bentuk pembayaran bunga, royalti, laba, dan uang illegal oleh elit-elit lokal yang korup. Amerika Latin, khususnya Mexico, Venezuela, dan Ekuador adalah sumber-sumber utama bagi impor energi untuk keberlanjutan ekonomi AS—khususnya dimasa-masa ketika perang dan perlawanan rakyat meningkat di Timur tengah dan Asia Selatan.

Begitu strategisnya kepentingan ini sehingga dapat dipahami mengapa implementasi FTAA begitu penting bagi AS, sekaligus sebagai kekuatan utama yang berkepentingan dan paling diuntungkan lewat pelaksanaan FTAA.

Konflik yang sangat sentral belakangan ini melibatkan upaya AS untuk mengambil alih sumber-sumber energi di Amerika Latin. Konfrontasi yang paling besar dan paling berdarah terjadi antara gerakan rakyat dengan ‘elit-elit’ pro AS di Bolivia dan Venezuela—terhadap kontrol minyak dan gas. Inilah yang menjelaskan mengapa konflik AS-Venezuela sejak dibawah pemerintah Hugo Chavez (1998) baru ‘membuncah’ setelah nasionalisasi PDVSA di akhir tahun 2001.

Selain melalui FTAA—sebagai upaya ‘legal’ terbarunya—AS juga melakukan berbagai upaya politik-militer ofensif yang bertujuan untuk mendukung rezim-rezim yang dapat menjadi kliennya, mendestabilisasi rezim-rezim independen, memberikan tekanan pada rezim-rezim ‘kiri-tengah’ akar semakin ke ‘kanan’, serta berbagai upaya untuk mengisolasi—bahkan menghancurkan—gerakan rakyat yang menentang imperium AS dan klien domestiknya (24).

Yang membuat berbagai upaya stabilisasi oleh AS di AL menjadi spesial adalah beragamnya taktik yang digunakan untuk mengkonsolidasikan rezim klien dan mengalahkan gerakan sosial. Sebut saja sejak awal abad 20, dari Roosevelt Corollary ke Monroe Doctrine (merupakan hasil amandemen yang semakin menegaskan Amerika Latin sebagai agen perluasan bagi kepentingan ekonomi AS di wilayah itu sejalan dengan posisi awalnya sebagai penjaga kawasan dari ‘Hegemoni Eropa’) (25). Dilanjutkan dengan Post-Monroe Doctrine-War on Drugs/Depopulation group (1954-2002) yang berkontribusi terhadap ‘perang koka’ dengan para petani koka di Bolivia dan Peru.

Petras menambahkan dalam analisanya bahwa, Venezuela dan Kolombia adalah dua negara yang secara geopolitik sangat penting bagi AS. Hal ini dikarenakan tranformasi sosial dan politik di negeri-negeri tersebut dapat membawanya kearah integrasi mereka dengan Kuba—mimpi terburuk AS—yang akan beresiko terhadap embargo 40 tahun AS terhadap serta masa depan FTAA sebagai instrumen utama AS di AL. Upaya menundukkan kedua negeri tersebut dimulai dari kampanye anti narkotik (Plan Colombia) yang dipusatkan ke wilayah dimana kekuatan FARC (Revolutionary Armed Forces of Colombia) yang diklaim sebagai teroris, paling kuat. Sementara untuk Venezuela menggunakan upaya yang lebih beragam, mulai dari destabilisasi ekonomi melalui boikot pengusaha minyak pasca nasionalisasi PDVSA 2001; pembiayaan serikat buruh yang pro privatisasi; dan berbagai aktivitas yang mengarah pada penggulingan Chavez dan kampanye anti Kuba (26).

D. Signifikansi Kemunculan Hugo Chavez


Kemenangan pemimpin-pemimpin ‘kiri’ di mayoritas negeri AL tidak serta merta menunjukkan kesolidan cara pandang mereka sebagai sebuah kawasan yang beroposisi terhadap AS. Bila diperiksa, sejarah karakter pemimpin-pemimpin ‘kiri’ tersebut sebetulnya berbeda-beda, yang oleh banyak ahli Amerika Latin digolong-golongkan sebagai kiri dan kiri-tengah, atau radikal, populis dan reformis. Untuk memudahkan penilaian, ada baiknya membedahnya berdasarkan kebijakan ekonomi yang mereka ambil dan sejauh mana oposisinya terhadap AS. Kemunculan Hugo Chavez menjadi penting bagi polarisasi berbagai pandangan ekonomi dan politik pimpinan ‘kiri’ Amerika Latin ini (yang akan lebih banyak dibahas pada bagian “Strategi Ofensif Internasional”).

Dua peristiwa penting yang melatarbelakangi kemunculan Hugo Chavez Frias, Presiden Venezuela, hingga menjadi perhatian dunia adalah; nasionalisasi PDVSA (Petróleos de Venezuela SA) di akhir tahun 2001 yang dilanjutkan dengan pemogokan para pengusaha dan serikat buruh pro pengusaha, serta dilanjutkan dengan kudeta terhadapnya pada bulan April 2002 yang hanya bertahan satu hari (27). Sejak itulah AS menjadi jadi tetangga "tidak ramah" bagi Venezuela. Dapat dimengerti bahwa sejak 1977, sekitar 50 persen perusahaan-perusahaan raksasa di Venezuela memiliki "ikatan" dengan modal AS (28).

Hugo Chávez, dengan Revolusi Bolivarian dan pendirian Republik Kelima Bolivarian Venezuela (29), tak segan-segan menyatakan bahwa alternatif bagi masa depan kemanusiaan di dunia adalah sosialisme (yang menurut istilahnya adalah Sosialisme Abad 21). Bahkan, dalam pidato pertamanya sebagai presiden Bolivia, Evo Morales turut menyatakan bahwa: “Chávez tidak sendiri, rakyat AL mendukungnya. Inilah sebuah kenyataan baru.” Evo Morales Aymar menyusun kabinet pemerintahannya dengan komposisi sejumlah aktivis gerakan rakyat di dalamnya. Pemerintahan ini juga langsung membangun kerja sama dengan Venezuela dalam hal perminyakan, serta dengan Kuba dalam program pendidikan dan kesehatan, untuk memenuhi kebutuhan rakyat Bolivia.

Kemajuan ekonomi dan politik Venezuela, diluar resep-resep ekonomi neoliberal (30), secara langsung maupun tidak langsung, turut menyebarluaskan sentimen populis pada rakyat maupun calon-calon pemimpin Amerika Latin selanjutnya. Olanta Humala, walaupun kalah dari Alan Garcia, mampu memobilisasi dukungan 22% suara (kebanyakan dari mayoritas rakyat miskin Peru); Michelle Bachelet (Chile) juga menggunakan sentimen serupa; pun Lopez Obrador dari Mexico, yang kalah tipis dari lawannya, Felipe Calderon—yang dianggap mewakili kelompok kaum kaya Meksiko. Aliansi Kuba, Venezuela, dan Bolivia memberikan efek domino yang sangat signifikan bagi negeri-negeri Amerika Latin lainnya.

Revolusi Bolivarian Venezuela tampaknya sedang menyebarkan kilau bagi perubahan di seluruh AL. Kemajuannya semakin mendiskreditkan model ‘alternatif’ yang ramah dan fleksibel terhadap neoliberalisme. Kini, bersama Kuba, Venezuela mulai memimpin perubahan di AL lewat kebijakan-kebijakan yang bertolak belakang dengan resep-resep penyesuaian struktural ala IMF dan Bank Dunia.

Dunia Menghendaki Alternatif

Tesis Fukuyama, The End of History and the Last Man (1992), ternyata tidak terbukti. Berbagai perdebatan seputar model alternatif diluar neoliberalisme semakin ramai dibicarakan, tanpa mengendurkan semangat penentangan terhadap kekuasaan modal. Dari model alternatif yang fragmentatif (memberikan solusi yang parsial terhadap ekses-ekses neoliberalisme), reformatif (mentransformasikan kapitalisme secara gradual) hingga revolusioner (perubahan mendasar tatanan kapitalisme), dengan metode kekuasaan dari bawah, demokrasi partisipatoris, pengganggaran partisipatif, pemanfaatan ruang elektoral hingga gerilya bersenjata, dsb.

Terlepas dari perbedaan masing-masing metode, satu hal yang semakin tampak nyata adalah milyaran rakyat di dunia sudah menolak kesewenangan globalisasi neoliberal—bahkan para konseptor dan pendukungnya sendiri seperti Josepth Stiglitz dan George Soros. Perbedaan memang melahirkan perdebatan, namun akan lebih bermanfaat bila bertujuan untuk menemukan jalan keluar ekonomi dan politik bersama yang alternatif terhadap globalisasi neoliberal, ketimbang menggali-gali perbedaan dan stigmatisasi ideologi. Strategi anti neoliberalisme pasca Seattle menunjukkan kemajuan dalam hal persatuan antar gerakan, dan tak hendak berhenti sampai disana. Saatnya sudah tiba untuk memanfaatkan kreativitas dan keberagaman sebagai aset-aset demokratik manusia (31).

Situasi ini dipertegas oleh Martha Harnecker untuk mewujudkan cita-cita sebuah dunia baru yang alternatif. Sebuah dunia yang beranjak dari pengalaman nyata partisipasi rakyat, sebuah garis besar terhadap model masyarakat yang baru dan lebih baik. Sebuah kebudayaan baru dari gerakan kiri sudah muncul, yakni pluralisme, toleransi, solidaritas, humanisme, demokratik, perlindungan lingkungan, dan penolakan terhadap kebudayaan konsumerisme, adalah nilai-nilai dasar gerakan yang baru (32). Perkembangan gerakan dan model alternatif di Amerika Latin memberikan pelajaran yang sangat berharga.

A. Amerika Latin Memberikan Alternatif

Syarat-syarat Awal untuk bangkit

Pada prinsipnya, bercermin dari keberhasilan alternatif Amerika Latin, maka syarat-syarat awal dan utama untuk keluar dari ‘lingkaran setan’ kemiskinan dan ketergantungan akibat neoliberalisme adalah: pertama, demokrasi yang bermakna partisipasi aktif rakyat untuk melawan globalisasi neoliberal; kedua, penguasaan sumber-sumber pembiayaan negara; ketiga, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan darurat (mendesak) rakyat untuk meningkatkan tenaga produktif (human capital) nya, dan keempat: program-program peningkatan teknologi (force of production) serta sentralisasi ekonomi.

Pertama, perluasan kesadaran untuk melawan kejahatan neoliberalisme adalah landasan bagi perubahan sebuah dunia yang alternatif. Secara umum, rakyat AL sudah memenuhi kriteria ini. Kehendak untuk keadilan ekonomi dan politik (perlawanan terhadap penyingkiran/diskriminasi ras) dalam bentuk; penolakan terhadap ALCA; penguasaan kekayaan alam; penyediaan lapangan pekerjaan, redistribusi tanah dan permodalan bagi pertanian, sudah semakin sulit ditawar lagi. Ini pula yang menjadi ukuran bagi dukungan, mobilisasi hingga perlawanan terhadap pemimpin-pemimpin pemerintahan yang ada, sekaligus menjadi ikatan persatuan antar gerakan rakyat. Penolakan terhadap penandatangan ALCA di Mar del Plata, Argentina, tahun lalu, adalah bukti penguatan dan perluasan ikatan antar anti neoliberalisme di AL.

Partisipasi demokratik rakyat semacam itu begitu dinamis terjadi di Venezuela dan Bolivia saat ini, serta selama puluhan tahun sudah teruji di Kuba. Lingkaran-lingkaran Bolivarian, komite-komite misi sosial, dewan-dewan perencanaan lokal/komunitas, persatuan serikat-serikat buruh, melalui serangkaian referendum rakyat, terus dimajukan dalam bentuk mobilisasi-mobilisasi sosial mempertahankan proses Revolusi Bolivarian Venezuela dari berbagai ancaman imperium AS. Sebagai catatan, hingga kini tidak ada pembredelan atau penyensoran yang dilakukan pemerintah Chavez terhadap media-media anti pemerintah di sana (33). Semuanya berperang, bersaing untuk meraih kepercayaan masyarakat dengan caranya sendiri-sendiri. Bahkan para organisator kudeta tahun 2002 tak dijerat oleh hukum apapun hingga sekarang.
Di Bolivia, militansi dan mobilisasi serikat-serikat buruh, para petani koka, dan kaum miskin kota El Alto mampu menjatuhkan Sanchez de Losada dan Carlos Mesa serta mendudukkan Evo Morales sebagai pemimpin pemerintahan untuk merealisasikan nasionalisasi perusahaan minyak.

Dalam derajat tertentu, Brazil, khususnya organisasi-organisasi rakyat di Porto Alegre, cukup berhasil meluaskan partisipasi rakyat dalam konsep penganggaran partisipatif (participatory budgeting). Rakyat memobilisasi dirinya untuk mempertahankan (khususnya) hak ekonomi dan sosialnya. Namun sayangnya, Partai Buruh Brazil di bawah Lula, yang mengadopsi konsep ini, justru tidak berkehendak memajukan partisipasi rakyat lebih jauh (34).

Kedua, penguasaan sumber-sumber pendapatan negara oleh pemerintah. Tujuannya adalah merebut kedaulatan ekonomi dari raksasa-raksasa modal AS, untuk dipergunakan bagi kemajuan tenaga produktif dan kesejahteraan rakyat. Setahun setelah menang revolusi 1959, pemerintah Fidel Castro menasionalisasi kilang-kilang minyak AS, Texaco dan Exxon, serta Shell milik Belanda, juga menasionalisasi seluruh industri pokok—termasuk 382 perusahaan dalam negeri—sektor perbankan swasta asing dan dalam negeri (35). Demikian halnya yang dilakukan pemerintah Hugo Chávez di akhir tahun 2001, dan Evo Morales di 1 Mei, 2006.

Program-program semacam nasionalisasi, pengambilalihan hingga pemberlakukan pajak yang tinggi bagi investasi dan royalti pendapatan perusahaan-perusahaan asing, adalah program-program yang sangat ditakuti oleh imperialisme. Sejak tahun 1977, sekitar 50 persen perusahaan-perusahaan raksasa di Venezuela memiliki “ikatan” dengan modal AS. Itulah sebabnya AS naik pitam ketika Hugo Chávez merenasionalisasi PDVSA (Perusaaan Minyak Venezuela) di akhir tahun 2001 dan (AS) mulai memimpin konsolidasi oposisi untuk menjatuhkan Chávez. Seperti halnya Eisenhower terhadap Kuba pasca nasionalisasi tahun 1960.

Penguasaan sumber-sumber pendapatan yang penting bagi negara menjadi landasan bagi terwujudnya program-program mendesak rakyat. Di Venezuela, tak kurang dari $2milyar rata-rata pertahun [tahun 2006 bahkan mencapai 4,5 milyar dollar (sekitar 40,5 Trilyun rupiah)] dialokasikan pemerintah [dari keuntungan minyak dan juga dari Dana Pembangunan Nasional (FUNDEN)] untuk program-program sosial (seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, kredit, dan pelatihan kerja).

Ketiga, pemenuhan kebutuhan mendesak rakyat sebagai landasan peningkatan tenaga produktif (Human Capital) nya. Kebutuhan-kebutuhan mendesak tersebut meliputi kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan perumahan (layak pangan, sandang, dan papan). Kuba adalah negeri miskin yang bebas buta huruf dan sehat (mampu menyediakan dana Rp. 1.800.000/orang per bulan untuk jaminan kesehatan gratis). Demikian halnya Venezuela, program-program kesehatan gratis Barrio Adentro I dan II, pendidikan gratis Robinson I dan II, serta Ribas dan Sucre adalah upaya pemerintah memasalkan kesehatan dan pendidikan untuk rakyat.

Keempat, program peningkatan teknologi/tenaga produktif untuk melepaskan ketergantungan dari neoliberalisme. Venezuela baru saja menetapkan sebuah misi baru yakni Misi Ciencia (science) dengan program yang sedang berjalan antara lain: penyediaan perangkat lunak gratis, dan komputerisasi tingkat dasar di seluruh sekolah dasar, juga membangun pabrik-pabrik petrokimia, bekerja sama dengan Iran; mendirikan stasiun hidroelektrik di La Vuettosa; membangun jalan bawah tanah di Los Teques; mendirikan tenaga pembangkit termoelektrik; teknologi penerbagan; laboratorium dengan sistim analisa-ultra-mikro; peralatan-peralatan elektroterapi, hidroterapi, mekanikal terapi, gimnasium, terapi okupasional, defektologi, pelatihan hambatan berbicara, podologi; alat penyulingan gula; pendirian pabrik-pabrik traktor; penggilingan benih; mesin pembajak; pabrik truk, kendaraan; mesin mekanik penggali; bis, kesemuanya sudah dan akan diproduksi di dalam negeri.

Keempat syarat-syarat di atas tentu saja bertentangan dengan resep-resep Washington Consensus. Seperti halnya pelipatgandaan anggaran sosial, yang oleh IMF disebut pemborosan; nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang oleh IMF dianjurkan untuk diprivatisasi; aturan-aturan ketat bagi investasi dan liberalisasi, serta pajak progressif, yang oleh IMF dianjurkan untuk dibuat fleksibel dan ‘bebas’.

Sebuah Strategi Ofensif Internasional (Peran Penting Axis of Good)

Kuba, Venezuela, dan Bolivia menyatakan diri sebagai Axis of Good, guna menentang klaim AS atas Kuba, Libya, dan Syria sebagai Axis of Evil. Bersama Kuba dan Bolivia, Venezuela terus mengkonsolidasikan dan mengkongkritkan potensi-potensi perlawanan pemerintah negara-negara AL terhadap neoliberalisme. Dalam pidatonya dihadapan Parlemen Venezuela 14 Januari 2005, Chavez menyatakan bahwa strategi ofensif internasional dibutuhkan untuk melawan hegemoni imperium AS di dunia (36).

Inilah yang melandasi lawatan Chavez ke berbagai negeri yang dianggap ‘berpotensi’ melakukan oposisi terhadap AS. Mulai dari kawasan Timur Tengah (Iran, Syria), Afrika (Libya), Eropa (Rusia, Belarusia) hingga Asia (China, Vietnam, Malaysia). Strategi ini pulalah yang mendukung pernyataan Castro bahwa peta politik dunia saat ini mulai berubah.

Melalui strategi ini pula, Chavez dan Castro berhasil mengkonsolidasikan penolakan terhadap FTAA sekaligus mendeklarasikan ALBA—the Bolivarian Alternative for the Americas (Alternatif Bolivarian untuk Rakyat Amerika) di Mar del Plata, Argentina di penghujung 2005 lalu. ALBA adalah alternatif kerja sama AL melawan intervensi pasar bebas imperialis AS. Lula, Kirchner, dan Guiterrez berhasil ‘didorong’ menandatangani kesepakatan tersebut.

Kehadiran ALBA, meski masih pada tahap kampanye alternatif, berhasil memagari pimpinan-pimpinan AL yang ragu-ragu untuk bergerak menuju prinsip-prinsip saling melengkapi (ketimbang berkompetisi), solidaritas (ketimbang dominasi), kerja bersama (ketimbang eksploitasi) dan penghormatan kedaulatan rakyat (menggantikan kekuasaan korporasi) bagi kemajuan tenaga produktif negeri-negeri yang lebih miskin, sekaligus menjadi kekuatan tandingan bagi imperium AS.

Kuba dan Venezuela memelopori bentuk kerja sama tersebut, lewat metode pertukaran dokter dengan minyak; operasi mata gratis bagi penduduk miskin Venezuela ke Kuba setiap minggu—Mission Milagro. Kemudian bentuk ini diluaskan menjadi pertukaran minyak dengan bahan makanan dan pertanian [bahkan sudah mencapai pertukaran bijih besi kualitas tinggi (ore) dan bauksit dengan nikel]; dokter dengan mesin-mesin produksi; bantuan modal untuk pengembangan energi minyak—namun bukan dengan jalan memprivatisasikannya ke korporasi minyak—dan penjualan minyak murah. Kerjasama ini mulai melibatkan Ekuador, Argentina dan Brazil (Petrosur), Colombia dan Paraguay. Semuanya bertujuan demi kemajuan tenaga produktif ekonomi rakyat di AL.

Pemerintah Chávez juga masuk dan mengubah orientasi MERCOSUR (Argentina-Brazil-Paraguay-Uruguay) dari sekadar blok perdagangan (minyak) yang mengejar profit. Chavez berkata; “Kita membutuhkan MERCOSUR yang memprioritaskan kepentingan rakyat, yang setiap hari harus bergerak semakin menjauh dari model integrasi korporasi elitis yang kuno, yang hanya mengejar keuntungan finansial namun melupakan kaum buruh, anak-anak, dan martabat hidup manusia.”

Minyak Venezuela memang menjadi sumber dana bagi kemajuan AL saat ini. Petro Caribe dibangun untuk menyediakan minyak yang murah untuk rakyat di wilayah Karibia, dan rencana membangun Petro America yang menyatukan perusahaan-perusahaan energi milik negara di seluruh AL. Termasuk membayarkan hutang Argentina kepada IMF sebesar $2,4 milyar agar “Argentina segera mengakhiri ketergantungannya kepada IMF”. Chávez juga menggagas pembentukan sebuah alternatif lembaga keuangan melawan IMF dan WB, yakni Bank of the South (Bank Selatan), agar negeri-negeri AL dapat meminjam dana tanpa terikat kebijakan-kebijakan neoliberal yang dipaksakan Washington.

Dalam bidang budaya, sebuah stasiun televisi regional Telesur, diluncurkan 24 Juli, 2005, bersamaan dengan peringatan hari lahir ke 222 Simon Bolivar. Telesur bertujuan menghancurkan hegemoni propaganda AS di seluruh benua ini. (Telesur adalah sebuah perusahaan pertelevisian bersama antara Venezuela, Argentina, Kuba dan Uruguay, yang selama 24 jam penuh melakukan siaran sejak akhir Oktober tahun lalu). Direktur informasi Jorge Botero, menjelaskan: “Dunia yang unipolar ini, di mana semua orang berkiblat ke utara dengan hormatnya, yang berakhir pada pembudakan, harus segera diakhiri. Bagi kami, cakrawala sesungguhnya terbentang lebih luas daripada yang dilihat dari Washington, dan karena itulah moto kami adalah ‘Utara Kami adalah Selatan’.”

Kepentingan Indonesia

Indonesia merupakan negeri yang luas dan kaya akan sumber daya alam. Sebagai sesama anggota OPEC pemerintah Indonesia dan Venezuela sudah memiliki hubungan sejak lama. Namun, ironisnya, Indonesia yang kaya sumber daya alam dan bahan mentah, saat ini merupakan salah satu negeri dengan tingkat kemiskinan lebih dari 40% dan ketergantungan impor yang sangat tinggi, bahkan termasuk pengimpor minyak bumi dan bahan makanan.

Seperti halnya Indonesia, negara-negara AL juga terdiri dari suku bangsa plural yang mewarisi keragaman budaya. Mereka juga adalah bangsa-bangsa yang sedang berkembang dan pernah mengalami nasib yang sama di bawah penjajahan Eropa. Mereka juga bangsa-bangsa yang berjuang melawan kolonialisme untuk mencapai kemerdekaan dan sebuah identitas nasional (37).

Kondisi ekonomi dibawah resep-resep ekonomi neoliberalisme yang dijalankan pemerintah Indonesia, sejak Soeharto hingga kini, juga serupa dengan kawasan Amerika Latin. Keragaman budaya, tenaga kerja, dan kekayaan sumber daya alam yang seharusnya menjadi landasan bagi kemajuan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, tak kunjung tiba. Walau pekembangan politik dan sejarah pergerakan antara negeri kita dan kawasan AL berbeda, tak menutup kemungkinan bagi kita untuk bercermin dari keberhasilan perjuangan alternatif di AL, agar kita tidak semakin dalam terjun ke jurang yang sudah lebih dahulu menelan korban di wilayah balik bumi Indonesia ini.

Sejauh ini, kerjasama pemerintah Indonesia dengan beberapa negara di Amerika Latin, masih sangat formal di dalam ruang-ruang multilateral yang sudah tersedia—semacam WTO, GNB, OPEC, dst, namun masih belum berani melangkah ke arah yang lebih strategis dan bilateral sebagai sesama negeri selatan yang kaya bahan mentah. Misalnya, kita mengetahui bahwa teknologi refinery minyak serta kedokteran Venezuela dan Kuba semakin maju, alangkah bermanfaatnya bila kita mengambil langkah pro-aktif untuk melakukan kerjasama terkait ketidakmandirian dan keterbelakangan industri perminyakan dan teknologi kesehatan kita.

Diperbantukannya 131 tenaga dokter Kuba di Jogjakarta, serta mulai dibangunnya klinik pengobatan mata gratis juga di Jogjakarta yang merupakan hasil kerjasama pemerintahan Kuba dan Venezuela dengan pemda Jogjakarta, adalah sebuah langkah awal yang sangat baik. Bercermin dari kesepakatan kerjasama minyak murah antara pemerintah negara bagian New Orleans AS, walikota London, negara bagian di El Salvador, serta pemerintah Vietnam dengan pemerintah Venezuela, akan sangat bermanfaat jika kita mencoba pendekatan serupa, khususnya permodalan dan teknologi perminyakan.

Dan yang terpenting dari semua itu adalah kepentingan para intelektual, praktisi politik serta kaum muda di negeri ini untuk terus belajar dan bertindak lebih berani guna bangkit dari krisis akibat ekonomi neoliberal yang hanya tinggal menunggu waktunya untuk kolaps. Amerika Latin memberikan terang bagi konsep kemandirian bangsa dan kedaulatan rakyat diatas kepentingan profit perusahaan-perusahaan raksasa internasional.***

Endnotes

(1) Amin, Samir, Kemelaratan Dunia, Pemiskinan dan Akumulasi Modal, Monthly Review, Volume 55, No. 5, Oktober 2003.
(2) “Produksi kapitalis sudah begitu terkonsentrasi di tangan para spekulan bursa-saham dan bursa saham itu sendiri telah menjadi begitu nyata sebagai perwakilan utama produksi kapitalis yang oleh kapitalisme modern dideskripsikan sebagai sebuah “ekonomi kasino”, Lorimer, Doug, “Imperialism in the Twenty-First Century”, Ressistance Books, 2002, hal. 6.
(3) Perdana Menteri Jerman (1998-2005)
(4) Lafontaine, Oskar. “Shaping Globalisation-The Answers of Social Democracy” Sebuah pidato dihadapan Konferensi Internasional bertajuk ‘Shaping Globalization’ di Willy-Brandt-haus, Berlin Juni 1998, Friedrich Ebert Stiftung (FES) 1998, hal. 8.
(5) Kagarlitsky, Boris, ‘Facing the Crisis’, Links, No.19, September-December 2001. “Globalisasi bukan berarti impotensi negara, namun penolakannya atas fungsi-fungsi sosialnya, kecuali fungsi represi, serta menandakan akhir dari kebebasan yang demokratis.”
(6) Di dalam bukunya “SOCIALISM OR BARBARISM, From the “American Century” to the Crossroads”, yang memberikan pengertian baru terhadap alternatif serupa yang digagas Rosa Luxemburg di awal abad 20, István Mészáros, seorang Intelektual Marxis dan Professor Emeritus pada Universitas Sussex, berpendapat bahwa situasi ini pada akhirnya akan membawa pada “Sosialisme atau Barbarisme, pilihan-pilihan historis yang menantang manusia di pembuka abad 21”. Mei 2001; http://www.monthlyreview.org/socbarb.htm
(7) Williamson, John (ed), The Political Economy Reform, Institute for International Economics, Washington, 1994.
(8) Lafontaine, op.cit., hal.10.
(9) Williamson, John. “Did the Washington Consensus Fail?” Garis besar Kata Sambutan di CSIS. Washington DC: Institute for International Economics, November 6, 2002.
(10) http://www.globalissues.org/TradeRelated/Facts.asp
(11) Lihat Emir Sader, Taking Lula’s Measure, dalam New Left Review, Mei-Juni 2005, hal 59-60; kunjungi http://www.macroscan.com/the/worldeco/dec00/print/prnt281200Latin_America.htm; International, The News, edisi internet http://www.jang.com.pk/thenews/jan2006-daily/09-01-2006/oped/o6.htm
(12) Petras, James, Present situation in Latin America, 6 Juni, 2003.
(13) Sekretaris Jenderal ECLAC (Economic Commission for Latin America and the Caribbean-CEPAL) dan mantan Menteri Keuangan Kolombia, http://www.macroscan.com/the/worldeco/dec00/print/prnt281200 Latin_America
(14) Ibid
(15) Mengacu pada pengertian Johan Galtung terhadap Imperium (empire) dalam On the Coming Decline and Fall of the US Empire, Direktur dan Pendiri Transcend, 28 Januari 2004; “An empire is a transborder Center-Periphery system, in macro-space and in macro-time, with a culture legitimizing a structure of unequal exchange between center and periphery: economically, between exploiters and exploited, as inequity; militarily, between killers and victims, as enforcement; politically, between dominators and dominated, as repression; culturally, between alienators and alienated, as conditioning.”
(16) "Tangan-tangan tersembunyi pasar tak akan pernah bekerja dengan sendirinya tanpa sebuah tinju yang tersembunyi—McDonald’s tak kan dapat berkembang tanpa McDonell-Douglas, designer F-15. Dan tinju tersembunyi itulah yang menyelamatkan dunia dari teknologi Silicon Valley adalah US Army, Air Force, Navy dan Marine Corps." Thomas Friedman, "A Manifesto for the Fast World", New York Times Magazine, 28 Maret 28, 1999.
(17) Galtung, Johan, On the Coming Decline and Fall of the US Empire, Direktur dan Pendiri Transcend, 28 Januari 2004.
(18) Petras, James, “Imperialism and Resistance in Latin America”, 6 November 2003.
(19) Bircham, Emma, Anti-Capitalism A Guide to The Movement, Bookmark Publications, London, Sydney, August 2001, hal 2; “Genoa menunjukkan bahwa solidaritas ratusan ribu manusia dari berbagai perspektif: serikat buruh, sosialis, anarkis, pecinta lingkungan, aktivis hak azasi manusia, pemuka agama, dsb menyatukan diri dalam perlawanan yang sama terhadap korporasi internasional.”
(20) Lihat Charlton, John, A Chronology of Anti-Capitalist Struggles, ibid., hal. 341.
(21) Emir Sader, Op cit pendahuluan.
(22) Gott, Richard, Hugo and The Bolivarian Revolution, Verso, London, New York, 2005, hal. 91-110.
(23) Petras, James, US Imperialism: In the Eye of the Storm.
(24) Petras, James, U.S. offensive in Latin America: Coups, retreats, and radicalization: Monthly Review, May, 2002.
(25) Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Roosevelt_Corollary
(26) Golinger, Eva, The Chavez Code, Cracking US Intervention in Venezuela, Editorial Jose Marti, Havana, Kuba, 2005, hal 11-26.
(27) Gott, Richard, op cit, hal. 2 Pendahuluan.
(28) Ariane, Zely, “Hugo Chavez berhasil ‘Melawan’ AS”, Pikiran Rakyat, 26 Mei 2006.
(29) Republik Kelima adalah sebuah Republik baru yang dimulai Chavez setelah 140 tahun, yang berbeda dengan Republik Keempat yang dalam sejarahnya sejak terbentuk tahun 1830 didominasi oleh kaum konservatif yang berseberangan dengan ide-ide pembebasan Bolivar. (Richard Gott “HugoChavez and The Bolivarian Revolution”, 2005. hal 136)
(30) Lihat Ariane, Zely, Bangkitnya Sosialisme di Amerika Latin, Koran Tempo 8, 9, dan 10 Juni 2006; dan Zely Ariane, Pikiran Rakyat op cit ; dan Zely Ariane, Memerangi Kemiskinan ala Venezuela, Sinar Harapan, 8 Oktober 2006.
(31) Monbiot, George, pengarang The Captive State, anggota Steering Committee Globalise Resistance. Bircham, Op cit hal.7
(32) Hernecker, Martha, The Left on the Threshold of the Twenty First Century, Making the Impossible Possible, Zed Books Ltd Inggris 2001.
(33) Mayoritas TV swasta nasional Venezuela tidak pernah meliput aktivitas sosial, ekonomi dan politik pemerintah, kecuali Channel 8. Bilapun melakukan pemberitaan, yang disiarkan adalah berbagai propaganda buruk mengenai Chavez dan kebijakannya.
(34) Bruce, Iain, The Porto Alegre Alternative: Direct Democracy in Action, Pluto Press, Inggris, November 2004.
(35) Hastuti, Lilik, Tabloid Pembebasan, Edisi VI tahun II Maret 2003
(36) SERIAL, Perubahan Sejati Terbukti Bisa, Pidato Hugo Chavez di hadapan sidang Parlemen Venezuela 14 Januari 2005, SERIAL, Agustus, 2006.
(37) Palembangan, Alfred, Perubahan di Amerika Latin, Khususnya di Amerika Selatan dan Karibia, Direktorat Amerika Selatan dan Karibia Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2006.

Survey: Penghormatan Demokrasi Tertinggi di Venezuela

Rabu, 20 Desember, 2006

Menurut survey terbaru yang dirilis sebuah LSM Chili, Latinbarometro, Sabtu lalu, rakyat Venezuela menyatakan demokrasi mereka lebih konstruktif daripada demokrasi di seluruh negeri Amerika Latin (AL) lainnya, kecuali Uruguay. Venezuela juga berada di urutan pertama dalam berbagai ukuran partisipasi politik.

Menurut Latinobarometro, rakyat Venezuela menganggap demokrasi mereka lebih sejati disadari daripada yang disadari oleh rakyat di negeri AL lainnya, kecuali Uruguay. Pada skala 1:10, dimana 1 berarti negeri yang tidak demokratis, dan 10 adalah negeri yang benar-benar demokratis, rakyat Venezuela, rata-rata, memberikan nilai 7 pada demokrasi mereka. Rata-rata rakyat AL lainnya memberi nilai 5,8, dan Uruguay mencapai posisi tertinggi dengan nilai 7,2, serta Paraguay terendah dengan 3,9.

Rakyat Venezuela juga lebih sering menyatakan bahwa mereka puas dengan demokrasi di negerinya, dibandingkan rakyat AL lainnya, kecuali Uruguay. 57% rakyat Venezuela bahagia dengan demokrasi di negerinya, yang memiliki persentase tertinggi kedua setelah Uruguay yang 66%. Rata-rata survey di seluruh negeri AL menunjukkan 38%, dengan rakyat Peru, Ekuador, dan Paraguay menunjukkan ketidakpuasan masing-masing 23%, 22%, dan 12%.

Bagi Venezuela, dari hasil persentase penduduk yang disurvey menunjukkan peningkatan kepuasan yang lebih tinggi sejak 1998, ketika Chavez terpilih, dibanding negeri lainnya. Persentase tersebut menunjukkan kepuasan meningkat dari 32% menjadi 57% selama 8 tahun ini.

Dalam hal partisipasi politik, rakyat Venezuela menjadi lebih politis dan aktif daripada rakyat di negeri lain, dengan persentase tertinggi dalam aspek-aspek seperti: mendiskusikan politik secara reguler (47%, rata-rata 26%); mencoba meyakinkan orang lain dalam persoalan-persoalan politik (32%, rata-rata 16%); terlibat dalam demonstrasi (26%, rata-rata 12%); dan aktif di dalam partai politik (25%, rata-rata 19%).

Menyangkut keyakinan terhadap pemilu “bersih” di negeri mereka masing-masing, rakyat Venezuela membenarkan 56% pada saat ini, yang memposisikan mereka di tempat ketiga setelah Uruguay (83%) dan Chile (69%). Hanya ketiga negeri ini yang mengatakan mereka percaya Pemilu bersih di negerinya lebih dari 50%. Sementara rata-rata rakyat AL hanya 41% yang puas dengan pemilu di negerinya. Rakyat Paraguay (20%) dan Ekuador (21%) yang merasa paling tidak puas.

Menurut Latinobarometro, rakyat Venezuela dan Uruguay menunjukkan persentase tertinggi menyangkut pemilu sebagai cara paling efektif untuk memajukan perubahan di negeri mereka (keduanya 71%), dibandingkan 57% seluruh rakyat AL.

Latinobarometro telah melakukan jajak pendapat tahunan di seluruh negeri AL selama 13 tahun terakhir. Pooling tersebut didanai oleh beragam lembaga-lembaga multilateral, seperti Uni Eropa, Inter-Amerika Development Bank, dan Bank Dunia. Pooling 2006 dilakukan di 18 negeri pada bulan Oktober 2006, dan mengadakan wawancara dengan lebih 20.000 orang. Margin kesalahan sekitar 3% (beragam dari satu negeri ke negeri lain).
Laporan Latinobarometro ini mengkontradiksikan persepsi umum yang menganggap AL bergerak menuju rejim yang lebih otoriter karena kecenderungan politiknya yang terus bergeser ke kiri. ”Semakin jelas bahwa tidak ada kemunduran menuju otoritarian (di AL), yang diperlihatkan oleh fakta bahwa 14 presiden digantikan dengan berbagai alasan yang terkait dengan tekanan rakyat sebelum akhir masa jabatannya serta masih di dalam kerangka hukum yang sah di dalam tiap negeri,” ujar laporan tersebut.
Masih menurut Latinobarometro, “Kesalahan persepsi yang terpenting mengenai evolusi dan perkembagan kawasan (AL) dihasilkan dari harapan elit-elit internasional yang salah terhadap apa yang harus dilakukan oleh kawasan tersebut.”

Negeri-negeri sasaran survey adalah Argentina, Bolivia, Brazil, Chile, Colombia, Costa Rica, Ecuador, El Salvador, Guatemala, Honduras, Mexico, Nicaragua, Panama, Paraguay, Peru, Dominican Republic, Uruguay, dan Venezuela

Disarikan dari tulisan Gregory Wilpert - Venezuelanalysis.com, oleh Zely Ariane.

Masa Depan Kemanusiaan adalah Dunia Baru yang Sosialis

Ditulis Oleh Zely Ariane
Senin, 14 Agustus 2006

Sebuah Konferensi untuk Dunia yang Sosialis

Sebuah dunia baru yang sosialis kembali menjadi agenda perbincangan dunia, setidaknya di dalam sebuah konferensi tingkat tinggi parlemen Amerika Latin (Parlatino) yang sudah lima tahun berturut-turut diselenggarakan. Sebuah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-5 mengenai Kewajiban Sosial dan Integrasi Amerika Latin, di Caracas, Venezuela, 25-27 Mei 2006. Kali ini mengambil tema “Forum Rakyat Amerika Latin untuk sebuah Model Ekonomi, Sosial, Budaya, dan Ekologi yang Baru”. Tujuan pertemuan tahunan ini adalah untuk mengorganisir dukungan agar program-program baru yang berkarakter kerakyatan dapat dimenangkan dalam sidang-sidang tahunan OAS (Organisasi Negara-negara Amerika Selatan).

Pemimpin-pemimpin gerakan rakyat, intelektual dan partai-partai progressif, organisasi perempuan, dsb, diseluruh Amerika Latin berkumpul untuk meneguhkan jalan keluar sosialis atas persoalan-persoalan mendesak rakyat. Kehadiran beberada delegasi internasional seperti Korean Democratic Labour Party (Korea Selatan); Aliansi Partai-partai Kiri Parlemen Eropa (GUE/NGL); dan Partai Rakyat Demokratik (Indonesia) sekaligus menjadi inspirasi bahwa perjuangan serupa juga sedang terjadi di seluruh dunia walau dengan level yang berbeda-beda.

Dalam rangkaian pertemuan tiga hari tersebut, satu hal yang sudah tak bisa ditawar-tawar lagi adalah menyangkut perlindungan terhadap hak-hak mendesak rakyat, yakni: hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan, kebutuhan pokok, identitas budaya, informasi, teknologi dan ilmu pengetahun, olah raga, waktu istirahat, lingkungan yang sehat, kemajuan masyarakat pribumi, kelompok masyarakat yang cacat dan yang memiliki kebutuhan khusus.

Secara umum, forum menyepakati bahwa sebuah model ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi baru yang sosialis adalah syarat bagi konsistensi pemenuhan hak-hak mendesak rakyat tersebut. Model ini menghendaki produktivitas rakyat yang tinggi, teknologi yang modern, dan sumber energi yang murah, massal, ekologis dan terperbarukan. Untuk mencapainya, tentu saja, kerjasama-kerjasama ekonomi dunia kuno dalam berbagai pakta pasar bebas, melalui lembaga-lembaga semacam WTO, IMF, Bank Dunia, sudah tak bisa diteruskan lagi.

Kerjasama ekonomi internasional yang baru adalah kerjasama demokratik yang berlandaskan prinsip-prinsip saling melengkapi (dari pada berkompetisi), solidaritas (daripada dominasi), kerja bersama (daripada eksploitasi) dan penghormatan kedaulatan rakyat (menggantikan kekuasaan korporasi) bagi kemajuan tenaga produktif negeri-negeri yang lebih miskin.

Sebuah model dunia baru yang sosialis, juga menghendaki sebuah demokrasi yang baru, yakni demokrasi yang menghendaki partisipasi aktif rakyat dari bawah, dan bukan hanya demokrasi formal yang pasif lewat pemilihan umum dan sistem perwakilan dalam dewan-dewan perwakilan rakyat (parlemen).

Energi Terperbarui untuk Dunia yang Sosialis

Perawakannya gemuk dan pendek, dengan rambut memutih dan langkah yang tertatih-tatih. Ia memiliki senyum yang baik, melapangkan hati. Jose Bautista Vidal, Bapak Pro-Alkohol dan ahli Fisika Nuklir Brazil, adalah seorang ilmuwan Brazil pertama yang mengolah gula tebu menjadi energi alkohol yang terperbarui; sebuah Revolusi yang Manis, kata seorang reporter SBS Australia Ginny Stein. Brazil, dengan tanah, matahari dan sumber daya airnya adalah produsen utama biomassa2, dan proses fotosintesisnya membuat negeri Amerika Selatan itu menjadi sebuah superpower energi terperbarukan..

“Chavez adalah peluru bagi perubahan Amerika Latin”, demikian Bautista Vidal menegaskan dalam sebuah workshop mengenai “Kekayaan Alam dan Integrasi Energi di Amerika Latin dan Karibia”. Ia melanjutkan; “oleh karena Venezuela merupakan negeri kaya energi keenam di dunia, maka Chavez juga harus memimpin penggunaan energi alternatif. Jikalau tidak, maka AS akan memenangkan peperangan memberebutkan sumber energi yang sedang terjadi di dunia saat ini (yang bisa menuju pada Perang Dunia Ketiga).”

Vidal menegaskan bahwa minyak adalah energi masa lalu yang hanya menyebabkan perang karena perebutannya. Negeri-negeri selatan harus menciptakan sebanyak-banyaknya energi terperbarui bersumber dari matahari, panas bumi (geothermal), alkohol, minyak sawit, dan masih banyak lagi, bagi masa depan kemajuannya. Selain lebih murah, energi ini juga tersedia bebas dan dapat lebih lama digunakan (baca; ‘sepanjang masa’) di negeri-negeri selatan.

Dalam konteks Amerika Latin, Venezuela dibawah kepemimpinan Chavez adalah kunci bagi terlaksananya dua kerja mendesak utama. Pertama, memprioritaskan integrasi energi Amerika Latin (khususnya yang terperbarukan) dalam rangka saling menguatkan sumber daya untuk kesejahteraan rakyat, khususnya dalam menghadapi kemungkinan serangan Amerika Serikat. Kedua, mempelopori kampanye Green OPEC (OPEC Hijau) dengan (salah satunya) menggunakan sumber daya yang dihasilkan oleh minyak kelapa sawit (palm oil).

Isaac Yuyo Rodnic, seorang peneliti dari Agrupación Patria Libre (Kelompok Pembebasan Tanah Air-Argentina) menyatakan bahwa program-program nasionalisasi sumber daya energi (c.q minyak bumi) akan sangat bermanfaat dalam hal memaksimalisasi penggunaan keuntungan untuk pengembangan energi alternatif yang dapat diperbarui. Ia juga menegaskan bahwa dunia selatan tidak bisa lebih lama lagi bergantung teknologi, sebuah terobosan baru harus dilakukan (dan integrasi Amerika Latin adalah salah satu upayanya).

Di akhir diskusi Bautista Vidal kembali menegaskan bahwa biomassa adalah kekuatan kita; energi kita, masa depan bagi dunia. Gas adalah juga bagian dari minyak (energi yang tak terperbarui), 40% gas di dunia ini sudah berada di tangan para pemilik dunia (kapitalis). “Saya setuju gas adalah penting, tapi kapitalis sudah merampoknya dari kita. Biomassa adalah sumber energi yang tak dapat mereka rampok.”

Masa Depan Perlawanan Rakyat Dunia untuk Dunia yang Sosialis


Menjelang penutupan konferensi, sebuah sesi terakhir mengenai “Perjuangan Rakyat Dunia dan Syarat-syarat Pembangunan sebuah Dunia Baru” memancing diskusi yang cukup sengit. Dari berbagai pertanyaan yang diajukan para peserta kepada perwakilan parlemen masing-masing negara tersirat banyak kekhawatiran. “Kita begitu beragam dalam memahami Revolusi dan Sosialisme, bagaimana kita bisa mengatasi ini?”, tanya seorang aktivis dari Pro-Positiva untuk Perdamaian Venezuela dan Dunia. Dijawab oleh Ketua Hubungan Luar Negeri Partai Buruh Brazil: “Kita memang harus bersatu, memiliki strategi dan fleksibilitas dalam taktik …terutama antar kekuatan yang memajukan demokrasi.”

Pembicara lainnya, Mario Sanoja, seorang Antropolog progressif dari Venezuela, menegaskan, “Mulai saat ini, tidak bisa tidak, rakyat seluruh dunia harus berbicara tentang Revolusi, karena dengan nya jalan keluar sejati atas segenap persoalan kemanusiaan di abad kapitalisme bisa ditemukan.”

Hal-hal yang menarik perhatian para peserta forum tersebut antara lain menyangkut perbedaan pandang dalam menerapkan sosialisme serta syarat-syarat bagi pembangunan sebuah dunia baru yang sosialis. Evaluasi dari kegagalan ‘sosialisme’ Uni Sovyet dibawah Stalin dan Eropa Timur yang menjadi setitik nila yang merusak susu sebelanga, tidak menghentikan keyakinan berbagai pimpinan-pimpinan gerakan bahwa sosialisme haruslah menjadi landasan bagi perubahan. Sebuah dunia yang sosialis, adalah dunia yang produktif, modern, sejahtera dan demokratik tak hanya bagi segelintir pemilik modal namun bagi mayoritas rakyat tak bermilik.

Berbagai gagasan yang baik berseliweran di dalam ruangan raksasa yang dihadiri tak kurang dari 700 orang itu. Mayoritas gagasan muncul sebagai bentuk kekhawatiran sekaligus upaya penguatan terhadap proses revolusioner yang sedang terjadi di Venezuela dan kemungkinannya bagi negeri Amerika Latin lainnya. Anna, seorang aktivis perempuan Venezuela, mengusulkan; “kita harus bangun sebuah front nasional agar rakyat mengerti masa depan perjuangannya, jangan sampai kita hanya bergantung kepada seorang Chavez atau Evo Morales.”

“kita harus mengganti kurikulum dan mata pelajaran yang tidak jujur pada sejarah,”…

“kita harus merubah struktur pendidikan untuk perubahan yang revolusioner,”…

“kita harus meningkatkan produktivitas kerja untuk masa depan rakyat, berlandaskan kebenaran dan kejujuran,”…

“dalam tahap awal kita sudah berhasil memasalkan penggunaan teknologi di tingkat sekolah dasar dengan piranti-piranti lunak yang kita produksi sendiri dan gratis,”…

“kita harus membangun sebuah partai revolusioner atau konfederasi partai politik yang akan mempertahankan revolusi dan Chavez serta memimpin proses ini, tidak bisa hanya diserahkan pada dewan-dewan komunitas yang masih sangat lemah dalam kepemimpinan dan pemahaman terhadap pembangunan sosialisme,”…

“kita juga harus memerangi birokratisme, yang sama merusaknya dengan kapitalisme,”…

Tercermin semangat yang menggebu dari setiap gagasan yang diusulkan para peserta menanggapi para pembicara, untuk mempertahankan proses revolusioner yang berkembang saat ini. Melanjutkan Mario Sanoja, saya menambahkan dalam pidato saya: “Rakyat Venezuela dan Bolivia jangan berhenti menyebarluaskan semangat, gagasan dan contoh pembangunan sebuah dunia baru yang sosialis bagi rakyat di seluruh dunia. Bantulah kami dalam menciptakan perubahan-perubahan revolusioner yang serupa di negeri kami masing-masing.”.

Dari jauh saya melihat ada dua orang dari Kedutaan Indonesia, yang sempat menyapa saya sebelumnya dengan mengatakan “sekarang kita sudah demokrasi, silahkan berpidato sebebas-bebasnya”. Mereka memperhatikan pidato-pidato para narasumber. Saya ingin berfikir positif bahwa kehadiran mereka bertujuan untuk mengambil manfaat dari forum ini, tapi segera keinginan itu saya kubur dalam-dalam ketika menyadari bahwa mereka menghilang tepat setelah saya menyelesaikan pidato dan menyatakan secara terbuka agar pemerintah Venezuela mengajak kedutaan Indonesia pada setiap program-program revolusioner yang bisa turut memajukan bangsa kita. Tepatlah kiranya, bahwa, watak pemerintahan Indonesia tidak pernah berubah walau Soeharto sudah dijatuhkan.***



*Zely Ariane (Ketua Hubungan Internasional KPP-PRD). Sebuah laporan perjalanan kedua dari Venezuela setelah perjalanan sebelumnya tertuang dalam laporan yang sudah dipublikasikan dalam www.prd-online.or.id.

Kecurangan Pemilu Meksiko dan Kepentingan Neoliberalisme

Ditulis Oleh Rudy Hartono
Selasa, 11 Juli 2006

Sebelum pemilu Meksiko yang lalu hampir semua media menggunggulkan Manuel Lopez Obrador terpilih sebagai Presiden Meksiko yang baru menggantikan Vincente Fox yang dinilai sangat gagal oleh rakyat Meksiko karena sangat neoliberal. Pesaing manuel lopes Obrador adalah kandidat dari partai PAN [Partai Aksi Nasional], yaitu Felipe Calderon orang yang dianggap mewakili kelompok kaum kaya Meksiko, dan calon dari PRI [partai berkuasa selama 70 tahun, hampir sama dengan GOLKAR di Indonesia]. Dalam pemilu hari minggu yang lalu meskipun belum ada statement sah/resmi dari KPU Meksiko [IFE] dinyatakan bahwa Calderon menang tipis atas obrador dengan perolehan suara 35,89 persen atau 15.000.284 suara. Calderon mengalahkan Andres Manuel Lopez Obrador dari Partai Revolusi Demokrasi (PRD) yang meraih 35,31 persen atau 14.756.350 suara sedangkan calon dari PRI Roberto Madrazo meraih 22,26 persen suara.

Kekalahan ini adalah sangat tidak masuk akal jika dibandingkan dengan real politik di lapangan; mobilisasi massa kampanye, pooling, dan popularitas. Apalagi jika di analisa dari sudut politik Meksiko, rakyat Meksiko umunya klas buruh dan petani sangat di miskinkan oleh kebijakan neo-liberal dari pemerintahan sebelumnya, dari salinas, kemudian beralih ke Zedilo dan terakhir Vincente Fox dari PAN. Salinas mendorong program privatisasi semua sektor publik Meksiko, memotong upah buruh, mencabut subsidi sosial dan lain2, kebijakan neo-liberal ini kemudian dilanjutkan oleh Zedillo dan Fox. Membiarkan Calderon yang serupa dengan salinas, Zedilo dan Fox adalah tidak di toleransi oleh rakyat Meksiko sehingga sangat tidak masuk akal Calderon bisa dengan menang basis dukungan yang kuat, kecuali dengan melakukan kecurangan dalam pemilu. Berdasarkan data dari surat kabar lokal Milenio menyebutkan bahwa Lopes Obrador menang dengan perolehan suara 39 % sedangkan calon dari PAN Calderon hanya 36% suara, Harvard University memperkirakan kemenangan obrador adalah 6 point, sedangkan media Telesur menyatakan hasilnya 42 point untuk obador dan 38 untuk Calderon.

Sejarah pemilu Meksiko yang tidak demokratis, penuh kecurangan, mobilisasi paksa sipil oleh tentara dan milisi untuk memilih di bilik suara adalah pengalaman panjang buruknya demokrasi di Meksiko. Sejarah kekuasaan PRI selama puluhan tahun adalah buah dari proses politik anti demokrasi yang dijalankan di negeri tersebut dan di tutupi bahkan di dukung oleh sekutunya Amerika Serikat.

Kebutuhan mempertahankan seorang presiden pro-neoliberalisme adalah merupakan kepentingan terbesar bagi imperialis AS di Meksiko selain secara teritorial dekat, juga Meksiko adalah sekutu terbaik AS dalam melawan politik kiri yang di komandani Chaves-Castro dan Evo Morales. Sehingga proses politik kotor dan kepentingan imperialis ketemu dalam manipulasi pemilu Meksiko yang dimemangkan oleh Calderon, bahkan media dan pihak Gedung Putih AS dengan sangat antusias menyambut kemenangan sekutunya itu. Sehingga fenomena kemenangan kaum kiri di Amerika Latin sebisa mungkin akan terus di intervensi AS untuk digagalkan dan memberikan kemenangan kepada kekuatan politik lama yang pro-neoliberal.

PRD dan Lopes Obrador sendiri masih dalam posisi mempertanyakan dan bahkan menggugat ke pengadilan pemilu federal tentang kecurangan tersebut, sedangkan massa pendukung PRD turun kejalan2 sejak minggu lalu memprotes kecurangan pemilu tersebut. Bahkan beberapa Serikat buruh dan federasi buruh diantaranya CROC dan the UNT mengancam melakukan pemogokan umum nasional untuk mendukung Obrador dan memprotes kecurangan pemilu.

Sekarang kuncinya ada di Lopes Obrador dan PRD; apakah Lopes Obrador sekedar mendorong proses hukum ke pengadilan sebagai tekanan dengan mengabaikan perjuangan massa di jalan-jalan utamanya kaum buruh, atau berpihak pada tekanan aksi massa kaum buruh di jalan-jalan untuk memaksa KPU mengakui kecurangan, dan Obrador sebagai pemenang. Yang jelas perjuangan militan kaum buruh akan muncul sebagai ekspresi politik penolakannya terhadap segala bentuk politik neoliberal yang dipraktekkan oleh Salinas, Calderon, dan FoX yang sangat menindas kesejahteraan mereka.

*Rudy Hartono, Ketua I Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi [LMND]