26/04/2008

Chavez memperingatkan bahwa "Bolivia berada di tepi peledakan"

http://boliviarising.blogspot.com/2008/04/chavez-warns-that-bolivia-is-on-verge.html

Caracas - Presiden republik, Hugo Chavez, memperingatkan bahwa "Bolivia berada di tepi peledakan" dan mengakui bahwa itu adalah alasan utama di belakang digelarnya KTT luar biasa Alternatif Bolivarian untuk Amerika (ALBA).

"Adalah imperium yang menginginkan Bolivia meledak. Adalah kaum fasis kanan yang tidak menginginkan dialog atau apa pun. Mereka hanya mau perang untuk menendang presiden (Evo) Morales", kata Chavez melalui telepon dalam program Dando y Dando, di Venezolana de Television.

Kepala negara menuduh sang "imperium" hendak mengulang di Bolivia format sama yang digunakannya di Venezuela lima tahun lalu dengan kerjasama faktor-faktor lokal. "Inilah ide gila fasisme, dari kaum Kanan ekstrim, yang digenggam oleh tangan berdarah imperium sekali lagi."

Walau begitu, Chavez berharap agar KTT luar biasa ALBA dapat berguna untuk Bolivia. "Kami beraksi untuk mencoba dan menghindari, dari luar dan dengan rendah hati, apa yang bagi banyak orang terlihat sebagai hal yang tak terhindarkan dalam tahap permainan ini."

Ia menginformasikan bahwa wakil presiden Kuba, Carlos Lage sudah berada di Venezuela untuk berpartisipasi dalam pertemuan; sementara kepala negara Bolivia, Evo Morales dan Nikaragua, Daniel Ortega, akan tiba dalam beberapa jam ke depan.

Diterjemahkan dari El Universal

Pabrik-pabrik yang Dijalankan Buruh: Dari Bertahan Hidup hingga Solidaritas Ekonomi*

oleh Raul Zibechi

Pabrik-pabrik yang 'diselamatkan' (recovered) oleh para buruhnya merupakan respon dari dua dekade neoliberalisme dan deindustrialisasi. Dalam suatu gerakan yang tak pernah ada sebelumnya di Amerika Latin, buruh telah mengambil kendali langsung produksi dan operasi tanpa pengusaha - dan bahkan kadang tanpa pengawas (foremen), teknisi, atau spesialis - di 200 pabrik dan tempat kerja di Argentina, sekitar 100 di Brazil dan lebih dari 20 di Uruguay.

Aksi para buruh ini bukanlah hasil dari perdebatan ideologis melainkan dari kebutuhan mendesak. Penutupan massal terhadap pabrik dan perusahaan yang memasok pasar domestik memicu sejumlah buruh untuk mencegah setidaknya beberapa pabrik-pabrik ini agar tidak menjadi gudang-gudang yang ditinggalkan.

Meskipun gerakan buruh yang baru ini bersifat heterogen, banyak permasalahan yang dihadapinya biasa ditemukan dalam serangkaian luas pabrik-pabrik di berbagai sektor produktif. Ini meliputi isu-isu legal untuk memperoleh pengakuan terhadap kepemilikan pabrik, menjamin pasokan bahan baku, ketiadaan modal kerja (working capital), penjualan hasil produksi (product marketing), dan kesulitan teknis yang muncul dari mesin-mesin yang usang atau larinya (exodus) para teknisi dan manajer. Problem-problem demikian telah ditangani dan sering kali diselesaikan oleh para buruh sendiri.

Bubarnya kediktatoran militer (1983 di Argentina, 1985 di Uruguay dan Brasil) telah melahirkan rejim-rejim demokratik, tapi pemerintah-pemerintah ini sejak awal sangat terkungkung oleh struktur ekonomi, politik, dan sosial warisan periode otoriter tersebut. Warisan ini - dikarakterkan dengan hutang luar negeri yang besar - menyebabkan pemerintahan-pemerintahan tersebut menyetujui berbagai rekomendasi yang ditekankan oleh "Konsensus Washington". Perubahan ini meliputi penarikan regulasi ekonomi dan pelucutan negara kesejahteraan yang lemah yang telah dibangun dalam negeri-negeri di wilayah tersebut.

Bermula pada 1990, deregulasi finansial dan ekonomi, privatisasi dan penurunan tarif proteksi dan subsidi, menyebabkan banyak pabrik tutup. Kebijakan ini mengakibatkan pengangguran bagi banyak buruh dan semakin buruknya kondisi kerja bagi mereka yang masih bekerja. Ketika pembatasan impor ditanggalkan, terbukalah pintu bagi membanjirnya produk impor, dan industri lokal sering kali tak dapat bersaing. Yang mendapat pukulan paling parah adalah perusahaan kecil dan sedang yang memasok pasar domestik.

Penutupan massif terhadap perusahaan-perusahaan ini hanyalah satu aspek dari restrukturisasi produksi secara mendalam yang dilaksanakan pada tahun 1990an. Sementara itu, sektor-sektor industri terdepan menjadi sangat terkonsentrasi. Ini memperparah pengangguran dan segera menjadi sifat struktural permanen dari ekonomi.

Proses deindustrialisasi di Argentina, Uruguay dan Brasil diikuti oleh pertumbuhan baru yang didasarkan pada penyederhanaan strategi produksi dan transformasi pengorganisiran kerja secara teknik dan sosial. Restrukturisasi tak hanya meningkatkan tingkat pengangguran - menjadi 10% dalam populasi yang aktif secara ekonomi dalam hampir seluruh negeri Amerika Latin, dan di atas 20% pada akhir dekade di Argentina. Itu juga menyebabkan buruh yang di-PHK tidak dipekerjakan kembali dalam pabrik-pabrik terotomatisasi dan terobotisasi yang telah dimodernisasi, karena mereka tak memiliki pelatihan yang diperlukan bagi posisi-posisi baru di pabrik-pabrik tersebut. Lebih lagi, modernisasi jenis ini memperparah kecenderungan eksklusi sosial dan isolasi terhadap kaum miskin.

Bagi banyak buruh, penutupan perusahaan tempat mereka bekerja telah mengutuk mereka ke dalam kehidupan yang terpinggirkan. Ini sangat benar bagi buruh di atas usia 40, yang memiliki kesempatan sangat tipis untuk memasuki kembali pasar tenaga-kerja formal. Pengangguran bukan hanya berarti kehilangan pendapatan tapi juga kehilangan jaminan seperti asuransi kesehatan, dana pensiun dan perumahan. Ini menjelaskan kenapa beberapa buruh memilih untuk berjuang menyelamatkan sumber pekerjaan mereka; yakni, tetap mengoperasikan pabrik bahkan tanpa pemiliknya.

Di Brasil, gerakan penyelematan pabrik mendahului upaya-upaya serupa di Argentina dan Uruguay. Pada 1991, Calzados Makerly di Sao Paulo menutup pintunya dan menghilangkan 482 pekerjaan yang langsung. Dengan dukungan Serikat Buruh Sepatu, Departemen Studi dan Statistik Inter-Serikat Buruh, dan para aktivis akar-rumput (grassroots), para buruh Calzados meluncurkan suatu proses menuju produksi yang dikelola buruh (workers-managed production).

Pada 1994, Asociacao Nacional dos Trabalhadores em Empresas de Autogestao (Asosiasi Nasional Usaha-Usaha yang Dikelola Buruh, ANTEAG) dibentuk untuk mengkoordinasikan respon-respon kreatif yang muncul di awal krisis industrial. ANTEAG saat ini bermarkas di enam negara bagian dan berupaya mendukung proyek-proyek yang dikelola buruh dengan cara menghubungkan mereka dengan berbagai inisiatif organisasi non-pemerintah dan pemerintah negara bagian maupun kotapraja.

Memecahkan masalah serius pendanaan gerakan adalah salah satu tugas terpenting asosiasi tersebut. ANTEAG kini bekerjasama dengan 307 proyek koperasi yang dikelola buruh dengan mempekerjakan 15.000 pekerja; 52 di antarnya adalah perusahaan yang diselamatkan oleh para buruhnya. Perusahaan yang dikelola buruh dapat ditemukan dalam semua cabang industri dari pertambangan mineral (Cooperminas, contohnya, memiliki 381 buruh) hingga tekstil (sejumlah banyak perusahaan kecil, hampir seluruhnya dioperasikan oleh perempuan) dan layanan pariwisata.

ANTEAG melihat pengelolaan buruh (worker management) sebagai suatu model organisasional yang mengkombinasikan kepemilikan kolektif terhadap alat-alat produksi dengan partisipasi demokratik dalam pengelolaan. Model tersebut juga berarti otonomi, yang oleh karenanya para buruh bertanggungjawab terhadap pengambilan keputusan dan kendali perusahaan. Model otonomi mengurangi dipekerjakannya manajer-manajer profesional, dan bila mempekerjakan kaum profesional, mereka harus selalu di bawah kontrol kolektif.

Argentina telah menempuh jalan berbeda dalam hal pabrik yang dijalankan buruh. Di sana, gerakannya muncul saat puncak krisis ekonomi negeri itu dan berkembang maju dengan sangat cepat. Pembentukan usaha-usaha tersebut di Argentina dihubungkan dengan pengalaman akar-rumput dalam gerakan perlawanan yang lahir dari krisis. Gerakan pabrik-pabrik yang dijalankan buruh tumbuh dari kombinasi antara upaya buruh mempertahankan pekerjaannya, organisasi di antara kelompok-kelompok kelas menengah (kaum profesional, pegawai, teknisi) di majelis-majelis pemukiman (neighbourhood assemblies), dan pertemuan-pertemuan buruh pengangguran terorganisir yang dikenal dengan piqueteros. Semua kelompok ini terus memajukan tuntutan dan proposal mereka masing-masing, sambil membangun hubungan dengan usaha-usaha yang dijalankan buruh.

Mayoritas besar pabrik-pabrik yang diselamatkan di Argentina adalah yang berukuran kecil atau sedang, dan sebagian besar dirugikan oleh liberalisasi ekonomi yang diterapkan pemerintahan Carlos Menem pada tahun 1990an. Mereka menjangkau sektor yang amat luas: lebih dari 26% adalah industri metalurgi, 8% manufaktur perangkat listrik. Perusahaan percetakan, transportasi, pemrosesan makanan, tekstil, gelas dan kesehatan masing-masing mewakili di bawah 5%. Setengah dari jumlah tempat kerja tersebut telah beroperasi selama lebih dari 40 tahun dan, ketika diambil alih oleh para buruh, rata-rata mempekerjakan 60 karyawan. Hanya 13% memiliki lebih dari 100 pekerja.

Sekitar 71% pabrik yang dijalankan buruh mendistribusikan pendapatannya secara egalitarian (buruh pembersih [janitor] mendapat bagian sama dengan pekerja berketrampilan tinggi), dan hanya 15% melanjutkan kebijakan upah yang diterapkan sebelum pendudukan pabrik. Meskipun proses penyelamatan pabrik dimulai pada pertengahan 1990an, dua pertiga dari perusahaan tersebut diambil-alih pada tahun-tahun kataklismik sosial 2001 dan 2002. Ini menggarisbawahi hubungan dekat antara gerakan perlawanan akar-rumput terhadap krisis ekonomi dan pengambil-alihan pabrik.

Tujuh dari 10 pabrik diselamatkan hanya setelah pertarungan sengit - pengambil-alihan secara fisik dalam hampir setengah jumlah kasus dan "acampadas en la puerta" (pendudukan berkepanjangan di gerbang-gerbang pabrik) dalam 24% kasus. Dalam kasus-kasus ini, pendudukan paksa bertahan rata-rata selama lima bulan, yang menunjukkan intensitas konflik yang dijalani para buruh sebelum memenangkan kendali pabrik.

Survey menunjukkan bahwa pabrik-pabrik yang menjalani konflik intens dan panjang adalah yang paling cenderung menerapkan distribusi pendapatan secara egalitarian dan mengambil bagian dalam majelis-majelis pemukiman dalam pemukiman kelas menengah. Hanya 21% perusahaan yang diselamatkan mempertahankan para pengawas (foremen) mereka yang lama, dan hanya 44% mempekerjakan personil administrasi mereka. Maka, lebih dari setengah pabrik-pabrik yang direbut memulai produksinya dengan hanya kerja-kerja manual. Terlepas dari pertempuran sengit dan seringkali melelahkan untuk memenangkan kendali pabrik, tempat-tempat kerja tempat berlangsungnya pertempuran sengit menunjukkan tingkat kesuksesan tertinggi - rata-rata 70% kapasitas keluaran digunakan dalam pabrik-pabrik ini dibandingkan dengan 36% di pabrik bertingkat konflik rendah. Serupa dengan itu, fasilitas-fasilitas yang ditinggalkan oleh para supervisor dan pengelola menggunakan kapasitas produktif yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang masih melibatkan supervisor dan pengelola (70% versus 40%).

Pandangan sekilas terhadap beberapa pengalaman spesifik mengungkapkan salah satu aspek paling menarik dari gerakan di Argentina - hubungan erat yang dibangun antara para buruh di perusahaan yang diselamatkan, warga terorganisir dalam majelis-majelis pemukiman dan kelompok-kelompok piquetero. Melalui berbagai bentuk kolaborasi erat, para buruh berhasil memperluas jaringan mereka hingga melampaui lantai pabrik.

Dua usaha yang diselamatkan - Chilavert (rumah grafis) dan El Aguante (pembuatan roti) - mampu bertahan berkat peran kepemimpinan yang dimainkan oleh majelis-majelis pemukiman dalam mengambil alih fasilitas. Pada akhir Mei 2002, para pengelola Chilavert, berlokasi di wilayah Pompeya di Buenos Aires, menelpon polisi untuk mengusir para buruh yang menduduki pabrik. Majelis Kerakyatan Pompeya, maupun berbagai majelis dan kelompok warga lainnya, melibatkan diri dengan menyerukan pertemuan untuk mendiskusikan masalah ini dan kemudian mengkomunikasikan via telefon atau omongan mulut untuk mengirimkan kelompok-kelompok pemukiman untuk mendukung para buruh dalam berulang kali upaya pengusiran. Situasi serupa muncul di pabrik-pabrik lain. Dalam banyak kasus, aliansi antara buruh dan warga pemukiman terbukti krusial, baik dalam hal warga yang terorganisir dalam majelis atau yang secara formal tidak terorganisir sama sekali.

Panificadora Cinco (sebagaimana Koperasi El Aguante dikenal sebelumnya) ditutup pada bulan Oktober 2001, 80 karyawannya di-PHK tanpa uang tunjangan. Pada April 2002, majelis pemukiman Carapachay demi mencari cara mendapatkan roti murah membangun hubungan dengan suatu kelompok beranggotakan 20 buruh yang di-PHK oleh pabrik pembuat roti tersebut. Setelah suatu pertemuan bersama, warga dan mantan buruh mengambil alih pabrik. Selama 45 hari mereka melawan percobaan pengusiran, sementara warga sekitar dan buruh mendirikan tenda di luar pabrik dalam sebuah aguante (secara longgar ditejemahkan sebagai "daya tahan"). Mereka akhirnya berhasil memenangkan kepemilikan pabrik tersebut.

Solidaritas oleh warga lingkungan memainkan peran menentukan: anggota majelis, piqueteros dan aktivis kiri yang bertugas patroli keamanan menyelenggarakan tiga festival: aksi jalan di barrio, kecaman publik terhadap pemilik, upacara May Day, temu wicara, perdebatan dan aktivitas budaya. Meskipun ini suatu pengecualian (exceptional), kasus ini mengungkap bagaimana suatu perjuangan sosial dapat menarik garis teritori baru, membangun hubungan antara sektor masyarakat yang sebelumnya saling tidak peduli.

Dalam kasus perusahaan metalurgi IMPA, organisasi buruh membantu konsolidasi kelompok pemukiman sekitar dan merekatkan aliansi yang lebih kuat di antara keduanya. Pabrik yang dijalankan pegawainya itu mendapat dukungan warga sekitar bahkan sebelum para buruhnya mengorganisir majelis di zona itu. Kemudian para buruh berkeputusan membuat suatu pusat budaya sebagai upaya merangkul komunitas sekitar dan membangun solidaritas dengan gerakan sosial dan warga lingkungan. Pusat tersebut merupakan suatu keberhasilan dan membuka jalan bagi upaya yang kini ditempuh oleh pabrik-pabrik lainnya yang diselamatkan, yang para buruhnya menyadari pentingnya melepaskan diri dari isolasi dalam pabrik dan gudang-gudang.

Secara serupa, di tengah-tengah konflik di suatu koperasi roti bernama Harapan Baru, sebuah kelompok yang terdiri dari anggota majelis pemukiman, para psikologis yang memiliki hubungan dengan majalah Topia, dan artis-artis lokal membawa suatu proposal ke hadapan majelis buruh untuk mendirikan suatu pusat seni dan budaya untuk menggalang dukungan warga pemukiman dan mengangkat profil sosial koperasi tersebut. Kini pusat budaya tersebut menyelenggarakan pelatihan harian di bidang musik, teater, tari, sandiwara boneka, sastra dan pertamanan; menawarkan resital dan sandiwara; menayangkan film-film pilihan untuk dewasa maupun anak-anak; dan mengorganisir konferensi bagi para intelektual ternama.

Contoh-contoh ini mendemonstrasikan salah satu karakteristik unik gerakan buruh: masih sebagai benih namun membesar dan menyebarkan akar-akar teritorial. Hubungan antara usaha-usaha yang dijalankan buruh dan majelis pemukiman menunjuk kepada minat masyarakat yang semakin besar dalam berkomitmen mensukseskan perusahaan tersebut dan juga kepada tekad para buruh untuk menjangkau ke luar gerbang pabrik dan merasa sebagai bagian dari gerakan sosial yang lebih luas. Dalam beberapa kasus, ini dimanifestakan oleh komitmen pabrik untuk mempekerjakan warga lingkungan yang menganggur untuk mengisi lowongan pekerjaan. Maka, dengan menjaga aktivisme komunitas, membangun kembali ikatan sosial dan bergerak menuju "teritorialisasi" perjuangan, gerakan penyelamatan-pekerjaan (job-recovery movement) berupaya menangani permasalahan yang dihadapinya: hubungan antara operasi yang dikelola pegawai dengan pasar lokal.

Solidaritas bermula ketika muncul kolaborasi antara warga sekitar (bertindak secara individual atau melalui majelis), pabrik-pabrik yg dijalankan buruh, kelompok-kelompok mahasiswa dan piqueteros. Ketika suatu pabrik mulai beroperasi di bawah kendali buruh, solidaritas ini biasanya mengambil dua jalan: itu dapat terinstitusionalkan lewat organisasi yang besar dan stabil seperti ANTEAG di Brasil, atau, sebagaimana yang terjadi di tempat-tempat kerja di Argentina, hubungan horizontal dapat terjalin dengan inisiatif lainnya, seperti pusat budaya di pabrik-pabrik atau inisiatif yang menyangkut kebutuhan gerakan secara keseluruhan, khususnya mengenai hubungannya dengan pasar.

Brasil telah mengembangkan suatu gerakan lebar yang dihubungkan dengan solidaritas ekonomi, dengan seluruh jaringan distribusi hasil produksi dibuat oleh kaum tani tanpa tanah (landless peasants) dan koperasi produksi. Di Argentina, hubungan ini telah terbirokratisasi tapi kini lahir kembali di tingkat akar-rumput. Di puncak krisis ekonomi, jaringan barter tumbuh secara eksponensial, pernah hingga melibatkan dua sampai lima juta rakyat. Meskipun gerakan barter kemudian menurun, ia berkontribusi terhadap perdebatan tentang bagaimana menjalankan perdagangan di luar pasar monopolistik. Pengalaman baru yang dikembangkan di Argentina berupaya menghindari pembentukan struktur besar yang melebihi kontrol kolektif akar-rumput dan sebaliknya lebih memilih hubungan "muka ke muka".

Menyusul protes massa pada 19 dan 20 Desember 2001 yang berujung pada kejatuhan Presiden Argentina Fernando de la Rua. Hubungan produksi antara pabrik-pabrik yang terselamatkan, piqueteros, kaum tani dan majelis pemukiman telah berlipat ganda. Sifat umum dari sektor-sektor dan gerakan sosial ini adalah bahwa mereka cenderung memproduksi untuk kebutuhan mereka sendiri. Kelompok seperti piqueteros menanam tanaman, memanggang roti dan memproduksi barang-barang lainnya, dan sebagian mendirikan peternakan babi dan kelinci atau penangkaran ikan. Sejumlah majelis lingkungan memanggang roti, memasak makanan, menyediakan produk-produk kebersihan dan kosmetik, atau berkolaborasi dengan cartoneros (orang yang hidup dari memulung dan mendaur ulang sampah).

Beberapa majelis warga melakukan kerja-kerja menarik yang mengaburkan pemisah antara produsen dan konsumen. Terdapat 67 majelis kerakyatan di Buenos Aires dan lebih dari setengahnya bersifat otonom dan terkoordinasikan di tingkat teritorial. Sektor ini secara aktif menjunjung perdagangan adil (fair trade) dan solidaritas melalui konsumsi yang cermat. Beberapa aktivitas komersial juga telah menumbuhkan berbagai upaya lintas sektor: produsen di pedesaan, piqueteros, anggota majelis dan buruh pabrik yang terselamatkan mulai menjalin ikatan langsung tanpa mediasi pasar. Dalam satu sisi, upaya experimental ini memulihkan sifat asli pasar, yang digambarkan oleh Fernando Braudel dan Immanuel Wallerstein sebagai berkarakter transparan, berprofit sedang, kompetisi terkendali, kebebasan, dan di atas segalanya, dalam wilayah "rakyat biasa".

Beberapa pengalaman mendemonstrasikan prinsip-prinsip tersebut dalam prakteknya: Palermo, di pinggiran Buenos Aires, menyelenggarakan pameran perdagangan adil selama dua hari tiap minggu dengan menggelar lebih dari 100 stan. Pameran itu hanya menjual produk yang dibuat oleh majelis pemukiman, kelompok piquetero dan pabrik-pabrik yang diselamatkan. Barang yang dijual meliputi tas yang dibuat dari bahan bekas, alat-alat pembersih, roti, popok, komputer daur ulang, kertas daur ulang, pasta buatan tangan, kerajinan tangan dan selai.

Dalam contoh lainnya, buruh dan warga berkolaborasi dalam produksi dan distribusi satu merek yerba mate (teh yang populer di wilayah tersebut) yang dikenal sebagai Titrayju (akronim untuk Tierra, Trabajo, y Justicia, atau Tanah, Buruh, dan Keadilan). Teh ini diproduksi oleh suatu organisasi produsen rural kecil di Argentina utara yang bernama Gerakan Agraria Misiones. Pengoperasiannya telah menghindari eksploitasi perantara pada tahun lalu dengan bermitra dengan 30 majelis pemukiman yang menjual dan mendistribusikan teh itu secara langsung di Buenos Aires, dengan dibantu piqueteros dan organisasi akar-rumput lainnya.

Menggunakan ruang kreatif yang dibuka oleh aksi-aksi protes menentang krisis ekonomi Argentina, Koperasi Majelis (Cooperativa Asamblearia) didirikan pada 2004 oleh majelis di pemukiman berpenghasilan menengah dan menengah-atas di Nunez dan Saavedra. Majelis itu pertama-tama memulai dengan pembelian oleh komunitas (community purchasing), kemudian mengorganisir suatu koperasi yang mendistribusikan berbagai produk dari lima pabrik yang terselamatkan, sebuah koperasi agraria dan beberapa majelis pemukiman lainnya. Hal serupa juga sedang dilakukan oleh mantan pegawai El Tigre, sebuah supermarket yang dikelola buruh di kota Rosaria yang menjual produk-produk dari pabrik-pabrik terselamatkan di seluruh negeri maupun dari kebun-kebun komunitas dan petani kecil.

Meskipun gerakan di Argentina masih dalam tahap awalnya, ia telah menciptakan bentuk-bentuk pemasaran baru yang melampaui pengaturan barter yang mengawalinya. Guna dari barter adalah untuk menciptakan suatu alat penukar yang dapat memfasilitasi suatu sistem ekonomi alternatif yang masif. Upaya baru ini, di sisi lain, memproritaskan kriteria etik dan politik sehubungan dengan bagaimana barang-barang diproduksi dan dipasarkan, dan mereka berupaya menutup jurang antara produsen dan konsumen dengan mempromosikan hubungan langsung, dari muka-ke-muka. Koperasi Majelis, contohnya, berupaya "mempromosikan produksi, distribusi, pemasaran, dan konsumsi barang dan jasa dari pabrik-pabrik yang dikelola buruh, yakni, produk yang merupakan buah hasil kerja kepemilikan kolektif buruh," menurut sebuah brosur yang memperkenalkan Koperasi itu. Tiga prinsip dasar yang memandu aksi-aksi kelompok itu: produksi yang dikelola buruh, konsumsi yang bertanggung jawab dan perdagangan adil. Prinsip-prinsip ini membentuk bagian dari ekonomi solidaritas yang diupayakan pembangunannya oleh usaha-usaha yang dijalankan buruh dan organisasi pemukiman untuk melepas ketergantungan mereka terhadap pasar dominan.

Catatan

*Naskah Asli dari :

Raul Zibechi, "Worker-Run Factories: From Survival to Economic Solidarity," (Silver City, NM: International Relations Center, August 1, 2004)

diterjemahkan ke Bahasa Inggris untuk International Relations Center (IRC) oleh Laura Carlsen

Komentar penerjemah (Data B):
tulisan ini mendeskripsikan gerakan pendudukan (penyelematan) pabrik di Argentina saat puncak krisis ekonomi-politik dan Brasil pada saat kemerosotan ekonomi di mana - berbeda dengan kasus Venezuela - pemerintah tidak secara terbuka mendukung gerakan tersebut sehingga keberlangsungannya menjadikan solidaritas dan kerjasama antar sektor rakyat lainnya, bukan sekedar buruh, sebagai faktor yang sangat menentukan.

Venezuela: Melawan Logika Globalisasi

oleh Steve Ellner,

diterbitkan dalam:
NACLA Report of the Americas, Empire & Dissent; Vol. 39 No. 2 September/October 2005

Kemampuan presiden Hugo Chavez untuk terus-menerus menjalankan berbagai reformasi signifikan di tengah permusuhan AS dan oposisi domestik dukungan AS memberikan pengaruh penting bagi perjuangan progresif di Amerika Latin. Kesuksesan Chavez meletakkan keraguan pada pandangan bahwa dalam dunia kapitalisme global saat ini tidak mungkin lagi bagi negeri-negeri Amerika Latin dan Karibia untuk secara efektif melawan tatanan neoliberal "pasar-bebas".

Persyaratan berbasis-pasar yang berkelanjutan bagi segala bantuan ekonomi (termasuk penghapusan hutang) dari Amerika Serikat dan institusi keuangan internasional dominasi AS mungkin memperkuat pandangan bahwa "tidak ada alternatif" terhadap kebijakan pasar-bebas, sebagaimana terkenal dicetuskan oleh Thatcher. Tapi pengalaman Chavez bertentangan dengan diktum Thatcher dan mengangkat pertanyaan menarik tentang apakah jalan Venezuela dapat dipraktekkan di negeri-negeri Amerika Latin dan Karibia lainnya. Naiknya berbagai pemerintahan kiri-tengah ke kekuasaan dalam beberapa tahun terakhir di Argentina, Brasil dan Uruguay menjadikan pertanyaan ini dalam sorotan.

Sejak awal sasaran kunci Chavez adalah untuk mencapai - dan mempertahankan - kekuasaan negara untuk mendorong perubahan radikal. Untuk tujuan itu, ia membangun partai politik terbesar di negeri itu, Gerakan Republik Kelima (MVR), yang telah memerintah sejak 1998 dengan beraliansi dengan partai-partai kiri yang lebih kecil. Sebelum berkuasa, ia mengkritik Fransisco Arias Cardenas, orang kedua pemegang komando dalam kudeta militer gagal yang dipimpinnya pada 1992, karena mengincar jabatan gubernur negara bagian pada 1995 bukannya berkonsentrasi mencapai kekuasaan nasional. Sebagai respon jalan lokal yang dipilih Arias, Chavez menyatakan, "Merebut kekuasaan melalui jabatan walikota atau gubernur untuk memiliki panggung bagi kemajuan-kemajuan lebih jauh adalah kebohongan yang akan selalu menenggelamkanmu ke dalam rawa-rawa."

Gebrakan radikal aksi-aksi Chavez sejak kemenangan elektoral awalnya pada 1998 melampaui keumuman dan diskursus. Memang, banyak program reformasi dan aksinya telah merongrong kepentingan ekonomi kaum berkuasa Venezuela dan kelompok-kelompok transnasional. Pemerintahan MVR, contohnya, telah menahan laju dari skema yang dijalankan oleh pendahulu neoliberal Chavez yang berpihak pada privatisasi jaminan sosial, industri aluminum dan industri minyak yang teramat penting. Alokasi dana pemerintah berpihak pada kaum miskin dan dengan signifikan menaikkan persentase anggaran nasional untuk pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan kredit bagi unit usaha berskala kecil. Lebih jauh lagi, peran aktivis Venezuela di OPEC dalam setahun pertama pemerintahan Chavez, melebihi negara anggota lainnya, berperan mengembalikan harga minyak ke tingkat tahun 1970an. Dan akhirnya, sejak awal 2005 "Komisi Intervensi" yang ditunjuk Chavez telah memeriksa kembali legalitas surat-surat kepemilikan tanah pertanian, dengan demikian mengancam kaum pemilik tanah besar dengan kehilangan kepemilikannya.

Respon AS terhadap Chavez menyusul terpilihnya ia pada 1998 dipandu oleh kebijaksanaan konvensional saat itu mengenai keniscayaan kembalinya ia ke kebijakan neoliberal. Duta Besar AS John Maisto mendukung pendekatan garis-lunak dan berhasil meyakinkan Departemen Negara bahwa Chavez harus dinilai dari aksi-aksinya, secara tak langsung menyatakan bahwa retorika radikalnya tak akan menghasilkan apapun. Pada saat itu, tesis Maisto sepertinya dapat diterima. Memang, selama kampanye presidensialnya, Chavez harus melunakkan posisinya yang menyetujui moratorium pembayaran hutang luar negeri dan sebaliknya mengkonsentrasikan proposal untuk majelis konstituante yang akan menghasilkan perubahan politik internal dengan penulisan kembali Konstitusi.

Selama dua tahun pertamanya menjabat, Chavez menekankan reformasi politik. Pada 2001, walau demikian, pemerintahan MVR mengesahkan rangkaian undang-undang dengan kandungan sosio-ekonomi yang signifikan, termasuk reformasi agraria dan sebuah undang-undang yang menjamin kepemilikan mayoritas negara dalam semua operasi industri minyak. Radikalisasi pemerintahan ini bersamaan dengan permulaan Administrasi Bush, dan pengerasan sikap global Washington menyusul 9/11. Perkembangan di AS ini membuat kaum oposisi Venezuela semakin berani, yang kini mengklaim bahwa hari-hari Chavez sebagai presiden telah dihitung. Keyakinan kaum oposisi terhadap tesis Thatcher tentang keniscayaan neoliberalisme bisa jadi telah mempengaruhi para pimpinannya untuk meremehkan Chavez dan berakibat bencana bagi mereka. Kesalahan kalkulasi ini terterjemahkan menjadi berbagai skema-skema gagal untuk mendepak Chavez tanpa rencana untuk menghadapi kekalahan.

Pada 2002, sikap AS terhadap Chavez mulai bersinggungan dengan rencana partai-partai tradisional kaum oposisi yang selama itu mempertahankan sikap tak berkompromi. Dukungan Administrasi Bush pada kudeta singkat terhadap Chavez pada April 2002, persetujuannya terhadap pemogokan umum 10-minggu yang sama sia-sianya pada tahun itu dan upaya-upayanya yang lebih baru belakangan ini untuk mengisolasi Venezuela dari para tetangganya bukanlah sekedar reaksi terhadap reformasi-reformasi tertentu yang mengancam kepentingan ekonomi. Washington takut terhadap "efek demonstrasi," yakni pengaruh yang dapat disebabkan oleh contoh Venezuela terhadap negeri lain di benua tersebut.

Efek demonstrasi yang cukup berbeda telah berpihak pada Washington 10 tahun lebih awal dengan keruntuhan Uni Soviet. Para kampiun neoliberalisme dan globalisasi mengacu pada nasib sosialisme Soviet sebagai bukti nyata bahwa segala bentuk intervensi negara dalam ekonomi ditakdirkan gagal. Dengan meletakkan keraguan pada tiap kemungkinan yang dapat efektif menentang sistem kapitalisme global yang dominan, demonstrasi ini merugikan kaum kiri sedunia, apa pun pandangan mereka terhadap Uni Soviet. Ketakutan Washington adalah Venezuela Chavez dapat memberikan efek sebaliknya dengan mendemonstrasikan kemungkinan melawan model neoliberal dan mendirikan alternatif yang mampu bertahan.

Pengaruh Chavez di hemisfer (belahan bumi, pen.) tersebut dapat dirasakan di tingkat rakyat maupun diplomatik. Ia telah menjadi pahlawan bagi jutaan rakyat Amerika Latin yang tak diistimewakan, yang mengagumi keberaniannya dan dengan cermat mencatat keberhasilan-keberhasilan politiknya. Beberapa aktivis dan pemimpin telah bereaksi serupa. Berbeda dengan reaksi bercampur terhadap pidato Lula pada Forum Sosial Dunia 2005 di Porto Alegre, Brasil, Chavez mendapat tepukan menggelegar. Chavez menekankan komitmennya pada perjuangan akar-rumput ketika ia mengatakan kepada massa: "Saya di sini bukan sebagai Presiden Venezuela...Saya hanya Presiden karena situasi-situasi tertentu. Saya Hugo Chavez dan saya seorang aktivis sekaligus revolusioner."

Di tingkat diplomatik, Chavez telah berhati-hati untuk menghindari kesalahan Kuba pada tahun 1960an, ketika Fidel Castro berseru kepada kaum kiri dan rakyat kebanyakan di seluruh Amerika Latin, tapi dengan melakukan itu kehilangan strategi aliansi dengan pemerintahan yang ada. Akibatnya, Washington dapat mengisolasi Kuba dari komunitas bangsa-bangsa Amerika Latin. Dengan kontras, terlepas dari retorikanya yang berapi-api, Chavez menjaga hubungan baik dengan presiden-presiden berorientasi neoliberal seperti Vicente Fox di Mexico, Ricardo Lagos di Chile dan Alejandro Toledo di Peru, yang mana ketiganya segera menolak kudeta anti-Chavez pada 2002. Chavez bahkan membantu Presiden Bolivia, Carlos Mesa, yang sedang susah payah bertahan sebelum dipaksa turun Juni lalu, dengan berseru kepada gerakan sosial Bolivia yang siap bertempur untuk membiarkannya menyelesaikan masa jabatannya.

Kepemimpinan dan inisiatif diplomatik Chavez dapat berpotensi membawa perubahan dramatik di Amerika Latin - tak diragukan lagi ini sumber keprihatinan bagi Washington. Kaum kiri telah mencatat kemajuan elektoral dalam beberapa tahun belakangan, dan kemenangan calon-calon kiri-tengah dalam pemilu presidensial di Bolivia, Ekuador, Meksiko dan Nikaragua dalam satu setengah tahun ke depan akan lebih jauh lagi merubah korelasi kekuatan di benua itu.

Pergeseran politik seperti itu dapat menyebabkan aksi kolektif dalam berbagai lini (front) menurut garis yang telah ditarik oleh Chavez. Ia menyerukan pembentukan persekutuan hemisferik Amerika Latin - "Alternatif Bolivarian untuk Amerika" (ALBA) - sebagai alternatif terhadap Wilayah Perdagangan Bebas Amerika (FTAA) yang disponsori Washington. Chavez berpengaruh dalam membuyarkan rencana-rencana yang sejak lama dipupuk oleh Bush untuk mendirikan FTAA pada 2005.

Dukungan Chavez terhadap negosiasi kolektif hutang luar negeri Amerika Latin bahkan jauh lebih membahayakan kepentingan AS. Dalam hal ini, ia telah mendesakkan dalam berbagai konferensi internasional agar 10% pembayaran hutang luar negeri dialihkan kepada Dana Kemanusiaan Internasional yang akan menyediakan bantuan bagi program-program sosial tanpa menyertakan ikatan-ikatan neoliberal seperti biasanya. Chavez mendapat dukungan resmi bagi rencana pembentukan Dana ini pada KTT Presiden Ibero-Amerika yang digelar bulan November 2003.

Bahkan dalam subyek yang lebih sensitif, Washington secara khusus memprihatinkan de-dolarisasi penjualan minyak internasional. Ekonomi AS disokong oleh penggunaan dolar secara khusus dalam pertukaran internasional dan sebagai cadangan mata-uang utama di dunia. Di bawah Chavez, Venezuela melangkahi dolar dengan menjalankan kesepakatan-kesepakatan barter non-moneter untuk minyaknya dengan lebih dari selusin negeri Amerika Latin dan Karibia. Ia telah menyerukan negara-negara OPEC lainnya untuk membentuk kesepakatan serupa. Satu kesepakatan pertukaran serupa itu melibatkan minyak untuk ditukar dengan kehadiran 12.000 dokter Kuba, yang telah mendirikan klinik dan bekerja tanpa bayaran di wilayah-wilayah termiskinkan di seluruh negeri itu.

Dalam OPEC, Chavez menekankan penurunan daya beli dolar sebagai argumen untuk meningkatkan harga minyak denominasi dolar. Dan beberapa perwakilan pemerintah Venezuela telah mengangkat kemungkinan menjual persentase minyak dalam mata uang euro. Duta besar negeri itu untuk Rusia sekaligus seorang pakar perminyakan, Francisco Mieres, mendiskusikan usulan ini dalam konferensi tahun 2001 di Moscow bertemakan "Ancaman Tersembunyi dari Krisis Mata Uang".

Walau demikian, lebih baru ini ketegangan dengan industri minyak telah termanifestasi. Pada awal 2005 Exxon-Mobil mengumumkan bahwa mereka mempertimbangkan arbitrase untuk menentang peningkatan royalti pemerintah dari 1% ke 16,66% dalam penjualan minyak non-konvensional dari wilayah Timur negeri itu. Exxon Mobil mengklaim bahwa kenaikan itu melanggar ikatan kontrak-kontrak legal, tapi pemerintah menekankan bahwa kesepakatan sebelumnya dibuat ketika harga minyak - dan keuntungannya - hanyalah fraksi kecil dari tingkat harga saat ini. Pada saat itu juga, bendera merah diangkat oleh sektor swasta asing. Deutsche Bank baru-baru ini menurunkan penilaiannya terhadap perusahaan minyak berbasis AS Conoco-Philips, salah satu investor utama di Venezuela, karena keprihatinannya bahwa hubungan yang menguntungkan saat ini antara perusahaan minyak transnasional dan pemerintah Venezuela dapat segera berubah.

Pengalaman Venezuela menunjuk ke arah berlawanan dari penulisan globalisasi saat ini yang meminimalkan peran negara-bangsa, terutama dalam negeri-negeri berkembang. Para analis dengan perspektif ini berargumen bahwa dalam ekonomi global saat ini, penekanan pada kedaulatan nasional oleh pemerintah-pemerintah kuat di dunia-ketiga tidak berpotensi untuk transformasi dan lebih lagi, itu bahkan tidak dimungkinkan. Para penulis yang mendukung tesis ini terbentang dari kiri hingga kanan dalam spektrum politik. Mereka yang di kanan, yang membela kebijakan luar negeri AS dan formula-formula pasar-bebas, mengasosiasikan negara-negara kuat di dunia ketiga sebagai oligarki lokal dan "kapitalisme kroni," yang dituduh sebagai penyebab kegagalan besar-besaran neoliberalisme dalam memenuhi harapannya.

Beberapa penulis kiri yang menganalisa globalisasi juga memandang penguatan negara-negara dunia ketiga sebagai kesia-siaan. Sebagaimana telah kita lihat, tujuan Chavez sedari awalnya adalah untuk mencapai kekuasaan di tingkat nasional. Tujuan ini sangat dicurigai oleh beberapa dari mereka yang telah mencoret pentingnya negara-bangsa dan sebaliknya memuja perjuangan untuk otonomi lokal dan bersolidaritas dengan kelompok-kelompok seperti Zapatista di Meksiko.

Michael Hardt, contohnya, ko-penulis dari buku yang mendapat banyak pujian, "Empire", menunjuk pada dua posisi berbeda mengenai "peran kedaulatan nasional" yang muncul dalam beberapa Forum Sosial Dunia. Di satu sisi, katanya, para pemimpin yang berasal dari organisasi yang umumnya terkenal secara internasional, ketika berpartisipasi dalam Forum membela kedaulatan nasional dunia-ketiga "sebagai penghalang defensif terhadap kontrol kapital asing dan global." Posisi kedua didukung oleh mayoritas dari mereka yang menghadiri Forum dan berasal dari gerakan sosial yang terorganisir menurut beragam isu yang saling melengkapi satu sama lain. Kelompok kedua ini "menentang segala solusi nasional dan sebaliknya mengupayakan globalisasi demokratik." Posisi kedua pada dasarnya demokratik dan menentang kapital, demikian argumen Hardt, sementara yang pertama bercirikan atas-ke-bawah (top-down) dan berpotensi menjadi otoriter. Hardt menyimpulkan bahwa "struktur terpusat dari negara berdaulat itu sendiri bertentangan dengan bentuk-jaringan horizontal (horizontal network-form) yang dikembangkan oleh gerakan [yang identik dengan posisi kedua]."

Tapi bertentangan dengan pernyataan Hardt, kekuasaan Chavez selama enam setengah tahun mendemonstrasikan bahwa pemerintahan dunia-ketiga dapat dengan kokoh menegakkan kedaulatan nasional dan di saat yang sama memajukan suatu agenda nasionalis-progresif untuk melawan kepentingan ekonomi yang berkuasa. Karakterisasi Hardt bahwa pemerintahan 'pembebasan nasional' dunia-ketiga sifat demokratiknya diragukan tidaklah sejalan dengan kompleksitas transformasi yang sedang berjalan di Venezuela. Meskipun gerakan Chavista dimulai secara sangat "vertikal," dua rangkaian pemilihan internal dalam MVR (satu untuk pimpinan partai nasional dan satunya lagi dilangsungkan April lalu untuk memilih kandidat dalam pemilu lokal) merupakan langkah-langkah ke arah demokratisasi internal, terlepas dari problem-problem prosedural yang tercipta.

Sering pula diargumentasikan bahwa Venezuela Chavez terlalu berbeda dari negeri Amerika Latin lainnya untuk dapat memberikan pengaruh yang berkelanjutan. Harga minyak yang tinggi mendanai program-program kerakyatan dan maka menempatkan Venezuela ke dalam liga tersendiri. Lebih jauh lagi, Chavez mendapat dukungan krusial dari struktur militer yang perwiranya secara historik berasal dari kelas menengah dan menengah-bawah, secara tajam kontras dengan sifat ke-kasta-an angkatan bersenjata yang ada di hampir seluruh benua itu.

Ini adalah argumen-argumen yang cukup akurat, tapi walau bagaimanapun "proses revolusioner" Venezuela mengandung pelajaran-pelajaran penting bagi mereka di Amerika Latin yang mengkampiunkan keadilan sosial dan transformasi-transformasi yang dibutuhkan untuk mencapainya. Pelajaran pertama adalah memupuk suara elektoral mayoritas yang substansial sangatlah diperlukan untuk mengimplementasikan perubahan-perubahan sosial berjangkauan-luas (far-reaching) melalui cara-cara demokratik. Chavez memperoleh 60% suara dalam sembilan pemilu yang digelar sejak 1998. Hasil ini tampaknya membuktikan pengamatan bahwa suara mayoritas tipis atau suara pluralitas, seperti 36% suara yang memilih Salvador Allende di Chile pada 1970, tidak mewakili suatu mandat untuk perubahan radikal.

Kedua, partisipasi aktif dan mobilisasi merupakan komponen kunci dalam proses tersebut. Chavez telah bersandar tidak sekedar pada dukungan elektoral atau pasif. Ia telah menjalankan strategi mobilisasi rakyat yang berkelanjutan dalam menghadapi aksi-aksi insurgensi musuh-musuhnya yang terbukti sangat diperlukan bagi keberlangsungan politiknya termasuk kembalinya ia setelah kudeta April 2002. Aksi-aksi jalanan massif yang mendukung proses Chavista telah dimungkinkan berkat keyakinan para jajaran bawah Chavistas bahwa retorika Chavez didasarkan pada kenyataan dan komitmen melalui perubahan, bukan manipulasi.

Pelajaran ketiga dari pengalaman Chavez adalah pentingnya ketepatan waktu (timing) dan pendalaman proses transformasi secara konstan via memperkenalkan tujuan baru menyusul tiap kemenangan politik. Kemenangan-kemenangan yang diikuti dengan slogan-slogan dan usulan-usulan baru termasuk pembentukan majelis konstituensi nasional pada 1999, kekalahan kudeta April 2002, kekalahan pemogokan umum Februari 2003, kekalahan pemilu penurunan presiden pada Februari 2003 dan pemilu kegubernuran dua bulan kemudian di mana Chavistas menang di seluruh negeri kecuali dua negara bagian.

Meski demikian, Venezuela masih jauh dari mengembangkan suatu sistem ekonomi baru yang memungkinkan Chavez untuk mengemas dan mengekspor suatu model ke negeri Amerika Latin lainnya. Pada Forum Sosial Dunia 2005 ia menyatakan diri sebagai "sosialis" dan menambahkan: "Kita harus merebut kembali sosialisme sebagai suatu tesis, suatu proyek dan suatu jalan, tapi suatu sosialisme jenis baru, yang manusiawi dan menempatkan manusia, bukan mesin atau pemerintah, di atas segalanya. Inilah perdebatan yang perlu kita kedepankan di seluruh dunia." Venezuela, walau begitu, belumlah mendirikan sosialisme, setidaknya dalam pengertian tradisional kata tersebut, karena belum ada sektor ekonomi yang didaftarkan untuk dinasionalisasi. Bila ada suatu model baru yang muncul, ia didasarkan pada prioritas terhadap kebutuhan sosial, kemunculan koperasi pekerja dan produsen kecil baik di wilayah pedesaan dan perkotaan, dan penolakan pemerintah terhadap aliansi dengan kelompok kapitalis besar meskipun tidak membuang modus vivendi [hidup berdampingan dengan lawan, pen.] dengan mereka.

Kemampuan Venezuela dalam mempengaruhi bangsa-bangsa di Amerika bersandar pada keberhasilan pelaksanaan kebijakan dan strategi Chavez. Dalam tahap ini, aspek terpenting dari efek demonstrasi Chavez adalah nasionalismenya, yang mendorongnya untuk menepis paksaan-paksaan AS; anti-neoliberalismenya, yang menghadang privatisasi; dan prioritas sosialnya yang telah diterjemahkan ke dalam program-program spesial di bidang kesehatan dan pendidikan. Emulasi [peniruan, pen.] kebijakan-kebijakan Chavez oleh negeri-negeri tetangga akan menunjukkan, kalaupun ada, bahwa pemerintah dunia-ketiga berada sangat tepat di tengah-tengah pertarungan politik dan bahwa alternatif nasional sesungguhnya ada, terlepas dari peringatan-peringatan serius dari para penulis terunggul tentang globalisasi.

Tentang Penulis

Steve Ellner telah menerbitkan karya-karyanya yang ekstensif tentang politik dan sejarah Amerika Latin. Sejak 1994, ia mengajar kuliah sarjana di Sekolah Hukum dan Ilmu Politik di Universidad Central de Venezuela (UCV).

Para Buruh dan Serikat Buruh Sutiss memenangkan pertempuran;

Nasionalisasi Pekerjaan Baja Orinoco "SIDOR" - 09/04/2008

MERIDA, Venezuela (Reporter Komunitas Merida) Para buruh di SIDOR dan serikat buruh Sutiss memenangkan perjuangan mereka untuk menasionalisasi perusahaan baja "Ternium-Sidor" setelah pemogokan, penyerangan, dan represi selama berbulan-bulan oleh Garda Nasional (tentara - pen.). Pagi ini, pukul 1:22 AM, Wakil Presiden Ramon Carrizales, diutus oleh eksekutif nasional dengam tujuan membuka jalan definitif untuk solusi konflik antara serikat buruh dan pengusaha transnasional. Dalam proses ini para buruh telah melaporkan berbagai keganjilan kontrak dan kondisi-kondisi eksploitasi kapitalistik yang ada kepada Kementrian Perburuhan, namun demikian tuduhan-tuduhan ini tidak diperhatikan oleh pejabat nasional.

Carrizales, berbicara atas nama Republik Bolivarian Venezuela mengumumkan keputusan yang diambil oleh presiden Hugo Chavez Frias untuk menasionalisasi "Ternium-Sidor", industri baja utama negeri itu yang dikuasai oleh konsorsium Italia-Argentina "Techint". Akhir tak terduga dari konflik industrial di SIDOR dikonfirmasikan malam tadi dg diumumkannya pengambil-alihan mayoritas saham perusahaan itu yg diprivatisasi pada 1997. Setelah menerima petisi Serikat Pekerja Baja dan Sejenisnya (Sutiss) untuk melanjutkan negosiasi kontrak dengan perusahaan, Eksekutif [Nasional] Senin lalu mengadakan pertemuan antara pihak-pihak yang bersangkutan yang sejak awal pertemuan ditandai dengan penegasan wakil presiden untuk mengakhiri konflik ini sekali untuk selamanya. Kementrian Perburuhan tidak diundang dalam pertemuan Senin lalu.

Kenyataannya adalah tekanan yang dilancarkan oleh para buruh menyebabkan disetujuinya nasionalisasi. Sementara pengusaha menolak untuk mengakui: transfer pembayaran bagi 600 pekerja "outsourced" (kontrak - pen.) dan pembentukan dana pensiun sebesar tingkat upah minimum pagi para pensiunan.

Kemenangan para buruh

Pada tengah malam, suasana tegang meliputi ruang pertemuan kompleks hidroelektrik Macagua. Saat itu para buruh Sutiss mengajukan tawaran ekonomis tanpa mendapat respon dari pengelola perusahaan.

Sementara itu, ancaman nasionalisasi mengerubungi tempat tersebut dan semakin mengambil momentum. Dengan mengejutkan sebagian yang hadir, wakil presiden meminta agar dilakukan pencatatan terhadap penolakan perwakilan perusahaan transnasional dalam mengajukan tawaran balik, dan tak lama kemudian ia mengumumkan keputusan bahwa tidak perlu lagi proses lebih lanjut: Sidor akan dinasionalisasi.

[Diterjemahkan ke Bhs Inggris oleh Gonzalo Villanueva untuk Reporteros Comunitarios de Mérida. Teks asli dapat dilihat di www.aporrea.org]

Gugatan Lingkungan Hidup Jadi Ujian Buat Chevron

Kasus yang diajukan oleh kelompok penduduk asli Ekuador adalah salah satu gugatan lingkungan hidup terbesar terhadap suatu perusahaan minyak dan dapat menjadi suatu awalan. Chevron membantahnya sebagai 'omong kosong.'

Oleh Kelly Hearn | Koresponden The Cristian Science Monitor

dari edisi April 9, 2008

Lago Agrio, Ecuador - Di jalanan semerawut dalam kota hutan yang gerah ini, Emergildo Criollo menghabiskan waktu berhari-hari di dekat gerbang gedung pengadilan yang menyerupai mall bobrok.

Ia, katanya, sedang "vigilando" - mengamati.

"Kami menanti-nanti untuk mencari tahu kapan ia tiba," kata lelaki penduduk asli setengah baya yang dibesarkan dalam hutan hujan Amazon yang kaya akan minyak, terletak dekat perbatasan utara Ekuador dengan Kolombia.

Orang yang dinantikan oleh Mister Criollo dan kawan-kawannya adalah Richard Cabrera, seorang saksi ahli yang ditunjuk pengadilan minggu lalu, yang menyiram minyak ke dalam api gugatan lingkungan hidup yang diajukan oleh kelompok-kelompok penduduk asli Ekuador melawan Chevron-Texaco yang bermarkas di AS.

Mister Cabrera, seorang insinyur geologi berkebangsaan Ekuador, memberi rekomendasi kepada seorang hakim Ekuador hari Selasa lalu agar Chevron mengganti kerusakan lingkungan senilai $8 milyar hingga $16 milyar bila perusahaan tersebut kalah dalam kasus sengit yang bermula dari gugatan hukum di pengadilan New York pada 1993, yang memutuskan bahwa kasusnya harus diputuskan di Ekuador.

Kasus ekuador ini, yang oleh Chevron berulangkali ditolak dengan alasan tak layak naik meja hijau, merupakan salah satu gugatan lingkungan hidup terbesar terhadap suatu perusahaan minyak dan dapat meningkatkan resiko politik bagi perusahaan multinasional yang menambang hasil alam dari wilayah perawan dan terpencil serupa.

"Proses hukum (litigation) ini sangatlah penting" jelas Professor Robert Benson, profesor hukum emeritus dari Sekolah Hukum Loyola di Los Angeles. "Bila Chevron kalah dalam kasus ini, pastinya tercipta suatu contoh historik yang akan membuat perusahaan minyak berhati-hati."

Jaksa penuntut menyebut laporan tersebut sebagai suatu tolak ukur.

Texaco, yang dibeli oleh Chevron pada 2001, beroperasi sebagai mitra minoritas dalam usaha patungan minyak dengan perusahaan minyak negara Ekuador, Petroecuador, sejak 1970an hingga 1992, ketika Petroecuador mengambil kontrol penuh operasinya. Chevron sejak lama mengklaim bahwa Petroecuador bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan.

Tetap saja, para pengacara bagi jaksa penuntut - yang mengatakan bahwa Texaco membuang 18 milyar galon limbah beracun ke dalam lubang, sungai, dan kali yang tak diberikan penanda apa pun di sini - memuji laporan Cabrera sebagai tolak ukur.

"Menurut pertimbangan kami, laporan tersebut sangat positif," kata Pablo Fajardo, sang jaksa utama.

"Setelah tiga tahun laporan lingkungan "kata anu, kata itu" yang biayanya sangat besar, ini adalah validasi besar tentang besarnya kontaminasi sebagaimana diajukan oleh para jaksa," kata Aaron Marr Page, seorang pengacara yang bekerja dengan jaksa penuntut.

Tapi Chevron, yang sejak lama bersikukuh bahwa gugatan tersebut tidak memiliki bukti ilmiah yang kredibel dan bahwa Texaco dibebaskan dari tanggung jawabnya oleh pemerintah Ekuador beberapa tahun lalu setelah menjalankan kampanye pemulihan lingkungan sebesar $40 juta, menyerang laporan tersebut berikut penulisnya.

"Kami menilai laporan itu null dan kosong karena merupakan hasil proses iregular yang tidak sesuai dengan keputusan pengadilan," kata Ricardo Reis Veiga, penasehat pengelola Chevron Amerika Latin, dalam wawancara telepon.

Mr Veiga berkata bahwa pengacara Chevron tidak diberi kesempatan menginspeksi kualifikasi ahli-ahli teknis yang membantu Cabrera menulis laporan tersebut. Ia juga mengatakan bahwa Cabrera melangkahi mandat yudisialnya dengan begitu saja mengkonfirmasikan tiap kerusakan lingkungan yang berhubungan dengan petroleum sebagai pelanggaran hukum dan memberikan nilai moneternya - ini menurut Chevron merupakan tugas hakim.

Dalam sebuah pernyataan minggu lalu, Chevron mengatakan akan memohon Mahkamah Agung Lago Agrio untuk menolak laporan itu.

Veiga juga menuduh Cabrera berkolaborasi secara tak sah dengan para jaksa, mengatakan bahwa perusahaan tersebut memiliki bukti, termasuk video, bahwa tim teknisnya menerima dukungan logistik dari sebuah kelompok bernama Front Pembela Amazon, sebuah kelompok sipil yang mendukung para jaksa dan yang akan menerima dan mencairkan tiap porsi pembayaran.

Nada politis gugatan hukum

Gugatan hukum tersebut telah bernada politis baik di AS dan Ekuador.

Presiden kiri Ekuador Rafael Correa, yang naik jabatan pada 2007 atas platform yang di antaranya menjanjikan renegosiasi kontrak perminyakan untuk keuntungan Ekuador, berkata bahwa kerusakan akibat perminyakan yang diduga disebabkan oleh Texaco jauh lebih besar dari 11-juta galon minyak yang ditumpahkan Exxon Valdez di pantai Alaska pada 1989.

Pada bulan Februari, Senator Barack Obama (Demokrat) dari Illinois dan Senator Patrick Leahy (D) dari Vermont mengirimkan surat kepada Perwakilan Dagang AS Rob Portman yang mendesaknya untuk mengabaikan kampanye terang-terangan oleh Chevron untuk menyingkirkan Ekuador dari negosiasi dagang hingga pemerintahan Ekuador membatalkan gugatan hukum tersebut. "Walaupun kami tidak memutuskan lebih awal hasil dari kasus itu, kami berkeyakinan bahwa 30.000 penduduk asli di Ekuador layak mendapatkan pengadilan tersebut," tulis para senator tersebut.

Belum jelas apa yang akan terjadi pada gugatan hukum yang semakin sengit ini.

Namun demikian sudah jelas adalah bahwa hutan hujan tersebut menanggung noda ekologis yang tak terhapuskan. Sungai-sungai di wilayah tersebut mengandung berbagai lapisan yang berkilauan dan rerumputannya ditutupi lumpur tebal berbau disel.

Penduduk sekitar yang termiskinkan dan diwawancarai dalam berita ini menderita berbagai penyakit yang mereka yakini disebabkan oleh kontaminasi minyak. Chevron telah membantah hubungan kausal antara penyakit tersebut dan operasi Texaco.

Para pengacara semakin mengincar kejahatan-kejahatan di negeri lain yang dilakukan oleh berbagai perusahaan minyak yang bermarkas di AS.

Pada 2005, dalam kasus Doe vs Unocal, perusahaan minyak yang bermarkas di Kalifornia itu menyetujui suatu kesepakatan setelah digugat berkolaborasi dengan personil militer Burma dalam menyiksa dan membunuh penduduk desa di Burma. Dalam kasus yang sedang ditunda, Bowoto vs Chevron, Chevron dituduh berkolaborasi dengan aparat Nigeria yang diduga membunuh penduduk asli yang menentang operasi perminyakan. Dan suku Achuar di Peru menggugat Petroleum Occidental atas tuduhan perusakan lingkungan dan kesehatan di wilayah utara Amazon Peru yang kaya minyak. Kasus tersebut, yang diajukan di pengadilan Kalifornia pada tahun lalu, juga dalam penundaan.

"Besarnya skala estimasi perusakan ini memberikan pesan kuat terhadap industri minyak dan industri tambang lainnya; jaman telah berubah," kata Simeon Tegel, juru bicara kelompok Amazon Watch yang bermarkas di Kalifornia, yang mendukung jaksa penuntut dalam kasus ini. "Mereka tidak dapat lagi berharap untuk lari setelah melakukan praktek lingkungan yang tak bertanggung jawab di Amazon atau di manapun di dunia berkembang dan dapat lolos begitu saja."


• Kelly Hearn melakukan perjalanan ke Ekuador berkat hibah dari Pulitzer Center on Crisis Reporting.

diterjemahkan dari:

Environmental lawsuit tests Chevron
The case filed by Ecuadorean indigenous groups is one of the largest
environmental suits against an oil firm and could set a precedent.
Chevron dismisses it as a 'charade.'

http://www.csmonitor.com/2008/0409/p06s01-woam.html$16 billion

Nasionalisasi, Industrialisasi Nasional, dan Pembangunan Komunitas 'Sosialis' di Venezuela;

Tiga Pilihan Berita dari Venezuelananlysis.com

1. Venezuela Nasionalisasi Industri Semen untuk Pacu Sektor Konstruksi

5 April 2008, oleh James Suggett

Mérida, 3 April 2008 - Presiden Venezuela Hugo Chavez mengumumkan pada Kamis lalu bahwa industri semen Venezuela akan dinasionalisasi, menurutnya perusahaan asing mengekspor semen sementara pasar Venezuela menderita harga tinggi dan kelangkaan.

"Cukup sudah" tegas Chavez, sambil menjamin bahwa perusahaan asing akan diberikan kompensasi secara adil.

Nasionalisasi ini akan menjadi satu dari sekian kebijakan dua tahun terakhir yang bertujuan mengembangkan kemampuan Venezuela untuk memenuhi kebutuhan sektor konstruksi, terutama perumahan. Angka pemerintah menunjukkan defisit 2,7 juta rumah di negeri pengekspor minyak itu.

"Kalau mereka yang kaya hendak membangun rumahnya, silakan saja, tapi mereka harus menghormati kami yang lainnya ini." demikian pernyataan Chavez.

Akhir pekan lalu, Presiden Chavez menyerukan percepatan program-program pemerintah untuk mengganti perumahan kumuh yang dikenal sebagai "ranchos", tempat tinggal mayoritas rakyat miskin Venezuela, menjadi "komune sejati dan komunitas kerakyatan...di mana Rakyat hidup dengan kebahagiaan yang sebesar mungkin." Bagian dari rencana ini adalah membangun rumah dengan plastik PVC yang diisi semen, suatu proyek yang dinamakan "Petrocasa" karena didanai oleh keuntungan minyak dan penggunaan bahan-bahan derivatif (hasil turunan - pen) minyak.

Untuk memperkuat industri semen Venezuela, pada bulan Juni 2006 Venezuela dan Iran menandatangani perjanjian ekonomi senilai 9 milyar dolar, termasuk pembangunan Pabrik Semen Cerro Azul. Pada 2007, produksi semen menjadi titik fokus perjanjian ekonomi antara Venezuela dan Kuba dan juga Alternatif Bolivarian bagi Bangsa-bangsa Amerika (ALBA), suatu kesepakatan perdagangan adil (fair trade) hasil inisiatif Venezuela dan Kuba dalam menghindari perjanjian-perjanjian perdagangan bebas (free trade) yang dipaksakan oleh Amerika Serikat.

Rencana-rencana ini naik wacana pada awal janji Chavez, sejak kedua kalinya terpilih pada Desember 2006, untuk "menasionalisasi semua yang diprivatisasi" oleh pemerintahan sebelumnya, sambil memfokuskan pada apa yang disebutnya sebagai "industri strategis" seperti minyak, semen, dan telekomunikasi.

Chavez sebelumnya telah mengancam akan menasionalisasi industri semen pada Juni 2007, dan Agustus tahun itu, sebuah cabang kecil perusahaan semen Kolombia, Argos, diambil-alih dan diberikan tebusan. Presiden berkata Kamis lalu bahwa dengan rampungnya nasionalisasi seluruh sektor tersebut, Venezuela akan menggalakkan "kekuasaan sosial di pabrik-pabrik semen."

Perusahaan semen terbesar ketiga di dunia, CEMEX, yang bermarkas di Meksiko sekaligus penghasil semen utama di Venezuela, menurut harian Venezuela El Nacional tidak memberikan komentar kepada umum.

Namun, pejabat Meksiko menyatakan bahwa pemerintah "akan mengupayakan segala yang masih dalam jangkauannya, untuk melindungi kepentingan sah perusahaan Meksiko di luar negeri."

Departemen hubungan luar negeri Meksiko mengumumkan lewat pernyataan singkat bahwa mereka telah mengontak para pejabat Venezuela "untuk mencari tahu jangkauan dan sifat deklarasi ini," dan telah memanggil Kedubes Venezuela di Meksiko untuk mendapatkan perincian lebih lanjut.

Perusahaan semen Perancis, Lafarge, yang ketiga terbesar di Venezuela setelah Cemex dan Holcim dari Swiss, sejauh ini juga menolak mengomentari soal nasionalisasi.

Menteri Ekonomi Perancis, Christine Lagarde, berkata pada pers bahwa kementriannya "dengan cermat mengikuti perkembangan situasi dan akan meminta penjelasan." Menteri tersebut menegaskan bahwa Venezuela dan Perancis menandatangani kesepakatan pada 2001, yang menjamin "penebusan yang layak dan segera, yang jumlahnya harus sama dengan nilai riil investasi yang bersangkutan" dalam peristiwa nasionalisasi.

Jubir Holcim Peter Gysel berkata, "kami sangat serius akan hal ini," tapi mengklarifikasi bahwa perusahaannya "tenang-tenang saja karena ini bukan pertama kalinya Chavez mengumumkan bahwa sektor ini akan dinasionalisasi," dan berkesimpulan bahwa "kita harus menunggu dan melihat apa yang akan terjadi." Pemerintah Swiss belum berkomentar hingga kini.

Menurut El Nacional, Holcim mencapai rekor harga stok pada 2007 dan investasinya di Venezuela bernilai 1% dari total pendapatan perusahaan dan merupakan 1,5% dari produksinya sedunia, kata Gysel kepada pers Jumat lalu.

Laporan trimester ketiga 2007 oleh CEMEX-Venezuela menunjukkan kenaikan penjualan bersih sebesar 30% dan menyatakan bahwa "investasi publik tetap menjadi motor utama aktivitas konstruksi," terutama dalam bidang perumahan dan infrastruktur.

Nasionalisasi industri semen merupakan kelanjutan dari nasionalisasi di beberapa sektor seperti listrik, perusahaan telekomunikasi utama di negeri itu (CANTV), dan sejumlah proyek produksi minyak. Contohnya, pada Mei 2007, pemerintah secara sebagian menasionalisasi proyek-proyek perminyakan penting di sekitar Sabuk Minyak Orinoco. Semuanya diberikan kompensasi melalui kesepakatan bersama antara pemerintah dan pemilik awalnya.

------

2. Chavez Umumkan 3 Milyar Dolar untuk Revolusi "Energi" Venezuela


31 Maret 2008, oleh Chris Carlson

31 Maret 2008 - Presiden Venezuela Hugo Chavez menyetujui pendanaan dan mengumumkan rencana baru bagi revolusi "energi" dalam acara mingguannya Aló Presidente yang lalu.

Presiden meresmikan sebuah perumahan komunitas "sosialis" baru yang dibangun dari derivat minyak, dan mengumumkan bahwa Venezuela akan menjadi produsen besar derivat minyak seperti pupuk dan plastik pada 2013.

Bersiaran dari negara bagian di pusat negeri, Carabobo, Presiden Chavez memantau komunitas baru berupa 459 rumah yang dibuat dari Polyvinyl klorida (PVC), material plastik hasil produksi migas. Industri petrokimia milik negara Venezuela memproduksi PVC dari produk sampingan (by-products) industri minyak, sehingga lebih murah dari material bangunan tradisional.

Komunitas yang pertama bagi jenisnya itu seluruhnya terdiri dari rumah-rumah yang dibangun perusahaan negara Venezuela, Petrocasa, yang memproduksi bermacam bentuk plastk untuk dicor dengan semen. Venezuela berencana membangun komunitas "sosialis" di penjuru negeri dan sekitar 60.000 rumah sejenis ini per tahun.

"Ini komunitas Petrocasa pertama yang kami resmikan, tapi kami akan mengisi Venezuela dengan rumah-rumah ini," kata Chavez.

Program perumahaan baru ini hanyalah satu bagian dari apa yang oleh Presiden Chavez disebut sebagai revolusi "energi", suatu program untuk mengembangkan berbagai industri yang memproses bahan-bahan baku, seperti industri petrokimia.

Chavez mengumumkan bahwa pemerintah Venezuela akan berinvestasi sebesar 20 milyar dolar selama enam tahun ke depan untuk mengembangkan 52 proyek-proyek industri, dan menyetujui total dana sebesar 2,96 milyar dolar untuk diinvestasikan tahun ini. Presiden menekankan bahwa dalam pemerintahan sebelumnya investasi seperti ini tidaklah mungkin.

"Sebelumnya, untuk membuat investasi seperti ini mereka harus memanggil Dana Moneter International (IMF) atau Bank Dunia (World Bank), atau menyerahkan negeri ini ke investor asing. Kini tak lagi, karena kita telah menciptakan dana pembangunan kita sendiri," katanya.

Investasinya akan berasal dari dana pembangunan nasional Venezuela, Fonden, yang sebagaimana ditunjukkan Chavez, kini memiliki sekitar 35 milyar dolar yang dapat diinvestasikan bagi pembangunan negeri itu. Dana pembangunan nasional dipasok oleh sebagian pemasukan negara yang dialihkan dari cadangan internasional negeri itu.

Chavez menekankan bahwa banyak proyek industri baru ini ditempatkan di wilayah selatan negeri itu untuk memberikan pembangunan ekonomi kepada wilayah-wilayah yang lebih miskin dan kurang berkembang. Pemerintah juga memperkirakan bahwa lebih dari 600.000 lapangan pekerjaan baru akan diciptakan sebagai hasil langsung program itu.

Presiden berbicara melalui satelit kepada pimpinan komunitas terdekat di mana 700 rumah baru lainnya sedang dibangun, tapi ia bersikeras agar pemerintah mempercepat pembangunan perumahan baru, dan mengusulkan dibuatnya pajak baru terhadap keuntungan migas untuk mendanainya.

"Kita harus meningkatkan laju penggantian perumahan kumuh dengan komune-komune sejati dan komunitas-komunitas," kata Chavez,"di mana rakyat dapat hidup sepenuhnya, dengan kebahagiaan sebesar mungkin."

Chavez juga berbicara melalui satelit dengan Menteri Pangan Felix Osorio untuk peresmian "Mercal" baru, yakni pasar-pasar pangan subsidi pemerintah. Ia menjelaskan bahwa Venezuela berupaya untuk swasembada (self-sufficient) cadangan pangannya, dan berterimakasih pada pemerintah Brazil, Argentina, dan Uruguay dalam menyediakan teknologi baru yang dibutuhkan untuk membangun pabrik-pabrik produksi bahan pangan di Venezuela.

Ia menambahkan bahwa Venezuela akan segera swasembada produksi pangan, tapi sebelum produksi domestik dapat mencukupi kebutuhan pangan, mereka akan tetap mengimpor bahan pangan dari tetangga mereka.

"Kami sedang mengupayakan berbagai proyek untuk memproduksi semua ayam yang dapat kita konsumsi. Tapi, untuk sementara waktu, karena produksi nasional kita belum cukup, kita akan menghadirkan produksi terbaik dari Argentina, Brasil, Nikaragua, Kolombia, Ekuador, dan negeri-negeri lainnya," kata Chavez.

Presiden Venezuela itu juga menekankan bahwa pemerintahan Amerika Serikat menjalankan rencana-rencana menciptakan kelangkaan pangan di negeri itu untuk mendestabilisasi pemerintahannya. Ia mengacu kepada kasus-kasus sebelumnya di Nikaragua dan Kuba, di mana pemerintah AS memblokir impor pangan dengan tujuan mendestabilisasi pemerintahan-pemerintahan itu.

"Ketika Bush bicara tentang kelangkaan pangan, ia tidak bicara tentang kenyataan, melainkan keinginannya. Tapi saya jamin bahwa kita akan mengalahkannya, karena kini rakyat Venezuela diberi makan dengan lebih baik; tak hanya dengan makanan, tapi dengan kesehatan, perumahaan, pekerjaan, dan industri," katanya.

-------------

3. Chavez Ancam Nasionalisasi Pabrik Nestle dan Parmalat di Venezuela

13 Februari 2008, oleh James Suggett

Mérida, 13 Februari, 2008

Presiden Venezuela Hugo Chavez mengancam akan menasionalisasi pabrik-pabrik susu Nestle dan Parmalat; dituduhnya bahwa perusahaan transnasional tersebut menyuap para produsen dan mengakibatkan jaringan pabrik pemrosesan susu milik negara dan koperasi tak mendapatkan produk yang dibutuhkan.

"Pemerintahan ini perlu mengencangkan sekrup-sekrupnya," tegas presiden dalam acara Alo Presidente pada hari Minggu. "Jika, misalnya, terbukti bahwa [Nestle dan Parmalat], melalui mekanisme atau tekanan ekonomi tertentu, menahan produksinya dan membuat pabrik-pabrik negara dan koperasi kehilangan pasokan susu yang dibutuhkannya, kita harus menerapkan konstitusi dan mengintervensi dan menasionalisasi pabrik-pabrik itu."

Nestle mengklaim bahwa akan "prematur" bagi perusahaan tersebut merespon ancaman nasionalisasi itu, yang baru didengarnya lewat media, hingga ada suatu "komunikasi langsung, formal dan resmi dari pemerintahan Mr. Chavez." Namun, Nestle berkomentar dalam pers: "kami menjaga hubungan dekat dengan produsen susu Venezuela karena kami adalah pelanggannya, itu wajar...hubungan itu selalu berada dalam aturan-aturan legal yang ditentukan oleh tiap negeri."

Pemerintah Chavez telah menasionalisasi sektor-sektor kunci industri telekomunikasi, listrik dan migas di Venezuela. Keuntungan dari perusahaan yang dinasionalisasi seperti raksasa telekomunikasi CANTV telah disalurkan menuju penurunan tarif secara umum, plus tarif khusus bagi pengorganisir komunitas dan para pengguna berpenghasilan rendah.

Tahun lalu, kelangkaan bahan pangan dasar di Venezuela mencapai 25%, sementara kelangkaan susu mencapai 80% menurut firma polling Venezuela, Datanalisis. Sejalan dengan itu, inflasi harga bahan-bahan dan layanan dasar mencapai 22% pada 2007. Sektor-sektor kaum oposisi menyalahkan kontrol harga pemerintah, nilai berlebih (overvaluing) mata uang Venezuela, dan pengelolaan ekonomi yang tidak efesien oleh pemerintah sebagai permasalahannya. Pemerintah, di lain pihak, mengatakan bahwa mereka memerangi spekulasi harga, penimbunan pangan, dan penyelundupan, yang menurut Chavez pada hari Minggu adalah bagian dari "konspirasi ekonomi" yang mengancam keamanan nasional di saat kapasitas konsumsi Venezuela telah sangat meningkat berkat kesuksesan program-program sosial.

Pada akhir Januari, Institut Pembela Konsumer Nasional (Indecu) dan Angkatan Bersenjata mengawasi penyaluran hampir 2 juta kilogram susu bubuk oleh Nestle ke berbagai kota di 11 negara bagian Venezuela. Juga, Pengawas Lumbung Nasional (National Silos Supervisor) memanggil Parmalat dan Nestle dalam sejumlah pertemuan yang bertujuan "mengambil alih kendali terhadap inventaris negara," demikian lapor Menteri Pangan. Agenda pertemuan tersebut menyertakan evaluasi sistem nasional, rencana distribusi sektor swasta, dan presentasi Sistem Kendali Internal bagi Pangan dan Pertanian.

Selama bulan lalu, pemerintah telah mencabut regulasi harga pada semua kecuali 10 produk pangan dasar, termasuk sedikit peningkatan harga susu dan berbagai keju. Sementara itu, Administrasi Mata Uang Asing (CADIVI) memberikan ijin bagi pembayaran langsung transaksi internasional untuk mempercepat impor susu, yang merupakan sumber utama susu di negeri tersebut.

Nestle, yang mempekerjakan 4000 Venezuela secara langsung maupun tak langsung, adalah salah satu perusahaan swasta yang melalui Kamar Industri Pangan Venezuela pada 2003 menjual produknya dengan potongan harga kepada pasar pangan subsidi pemerintah yang dikenal sebagai Mercal. Ini adalah salah satu kebijakan pemerintahan Chavez yang bertujuan menyediakan makanan bagi mayoritas rakyat miskin negeri tersebut.

Tapi Nestle bukan bagian dari badan usaha terbaru milik pemerintah untuk distribusi pangan, PDVAL, yang dijalankan melalui perusahaan minyak dan listrik negara. Pemerintah justru menandatangani kontrak impor susu selama 12 tahun dengan koperasi Argentina, Sancor, dan juga akan menjual minyak yang diimpor dari Brasil. PDVAL akan mendistribusikan susu yang diproduksi dalam pabrik pengelolahan susu milik negara yang dibentuk oleh pemerintah tahun ini.

Anggaran federal tahun ini berinvestasi besar-besaran dalam sektor pertanian yang sedang berkembang dan dikelola negara, yang beroperasi menurut prinsip-prinsip 'sosialis' seperti partisipasi komunitas dan memprioritaskan kebutuhan manusia di atas keuntungan. Ini menyertakan pembentukan Dana Produksi Minyak Nasional yang diumumkan oleh presiden Sabtu lalu, yang disambut baik oleh Konfederasi Nasional Agrikulturalis Venezuela. Dana ini akan disalurkan kepada "para pengusaha kecil yang memproduksi susu, yang selama ini telah ditelantarkan, untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri."

Chavez memberikan pengumuman yang berkaitan dengan ini pada hari Minggu bahwa kekuatan paramiliter Kolombia semakin menginfiltrasi komunitas Venezuela dan industri-industri swasta. Nestle adalah satu dari sekian perusahaan transnasional yang mempekerjakan pasukan paramiliter untuk merepresi para buruh yang mengorganisir fasilitas-fasilitasnya di Kolombia, demikian menurut Ahli Ilmu Politik Jerman, Dario Azzellini, yang bermarkas di Caracas dan menghadiri siaran Alo Presidente hari Minggu lalu.

Data B

Pemberdayaan Rakyat di Bawah Pemerintahan Anti-Imperialisme Neoliberal;

Sebuah Pengantar Bagi Film Dokumenter 'No Volveran'

oleh Data Brainanta*

Film dokumenter "No Volveran" akan membawa kita menelusuri gang-gang di perkampungan (barrios) untuk menyaksikan perubahan positif dan kemajuan yang dirasakan oleh rakyat miskin dalam masa pemerintahan Chavez. Toko-toko kelontongan didirikan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Barang-barangnya dibeli oleh pemerintah dari pengusaha domestik untuk dijual dengan harga diskon. Pemerintah juga memasok dana dan tenaga ahli yang bersama-sama dengan rakyat melakukan renovasi di wilayah perkampungan. Layanan kesehatan dan program pendidikan gratis digalakkan oleh pemerintah dengan membangun klinik-klinik kesehatan dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar di dalam perkampungan.

Program-program kesejahteraan dan misi-misi anti-kemiskinan semacam ini dilaksanakan secara lebih intensif dan mendalam setelah pemerintahan Chavez menguasai sepenuhnya perusahaan minyak negara, PDVSA, pada akhir 2002 - yakni ketika percobaan kudeta dan sabotase ekonomi oleh oposisi berhasil digagalkan. (Wilpert, 2003a; Raby, 2006 )

Sebelum ini, Chavez menghadapi perlawanan dari oposisi dalam pemerintahan saat akan mengeluarkan kebijakan kerakyatan. Pada tahun 1999 dijalankan misi anti-kemiskinan 'Plan Bolivar 2000' yang merupakan kerjasama sipil dan militer dalam memperbaiki kondisi rakyat miskin. Angkatan Darat dan rakyat bekerjasama memperbaiki dan membangun rumah-rumah; angkatan laut membantu nelayan memperbaiki kapalnya; dan angkatan udara menyediakan transportasi gratis ke penjuru negeri bagi yang memerlukan. (Wilpert, 2003b)

Chavez pertama kali memenangkan kursi kepresidenan dalam pemilu 1998 di saat Venezuela berada dalam krisis ekonomi dan politik berkepanjangan. Dua presiden sebelumnya berjanji untuk mengeluarkan rakyat dari krisis dengan mengambil kebijakan anti-neoliberal; namun ketika berkuasa mereka berbalik arah menjalankan kebijakan neoliberalisme.

Akibatnya rakyat tidak percaya lagi dengan seluruh elit politik yang berkuasa. Kekecewaan rakyat ini sempat meledak jadi kerusuhan yang dikenal sebagai Caracazo pada tahun 1989. Antara ratusan hingga ribuan orang dinyatakan tewas direpresi oleh aparat negara.

Chavez tampil sebagai pendatang baru dalam perpolitikan, namun rakyat telah menaruh simpati padanya sejak upaya kudeta gagalnya pada 1992. Menurut Chavez, ia beserta pengikutnya terdorong melakukan kudeta karena tidak sudi lagi disuruh menembak rakyat sendiri, sebagaimana yang terjadi saat kerusuhan Caracazo (Harnecker, 2005).

Menyadari bahwa perjuangan bersenjata tidak akan membawa hasil, Chavez mengambil jalan elektoral dan membangun koalisi lebar bernama "Kutub Patriotik" - Polo Patriotico - dengan pihak-pihak yang terpinggirkan secara politik.

Janji-janji utamanya saat kampanye adalah (1) memutuskan hubungan dengan sistem politik lama yang dikenal dengan sebutan "puntofijismo"; (2) memberantas korupsi; dan (3) menuntaskan kemiskinan di Venezuela (Wilpert, 2003b). Di samping itu ia juga berjanji akan memanfaatkan kekayaan minyak untuk menuntaskan permasalahan sosial, menaikkan upah dua kali lipat, dan menolak pembayaran hutang luar negeri (Sylvia, 2003) - untuk yang terakhir ini ia melunakkan posisinya. Program-program ini disajikan dengan sentimen anti-kolonial dan kedaulatan nasional ketika rakyat Venezuela dihadapakan pada kenyataan bahwa krisis yang ada disebabkan oleh dikte kekuatan ekonomi asing, padahal negeri mereka kaya akan minyak dan mineral.

Pemutusan hubungan dengan rejim puntofijismo merupakan aspirasi luas rakyat Venezuela yang sudah muak dengan pemerintahan yang didominasi oleh dua partai besar (AD dan Copei) yang korup dan telah berkuasa selama setidaknya tiga dekade. Kedekatan dengan dua partai ini dipandang oleh mata rakyat sebagai suatu aib - barangkali seperti halnya kedekatan dengan Golkar atau Suharto di masa puncak reformasi.

Ketika Chavez menjabat sebagai presiden, langkah politik awal yang ia jalankan adalah melaksanakan penulisan konstitusi baru untuk merombak total rejim lama. Perlu dicatat bahwa perubahan atau penulisan ulang konstitusi bukanlah hal baru di Venezuela. Dari tahun 1811 hingga 1961 Venezuela telah memiliki 26 konstitusi - jumlah ini terbesar di Amerika Latin. Konstitusi 1961 sendiri digantikan pada 1999 dan pernah beberapa kali direformasi pada tahun 80an dan 90an (Wilpert 2003c).

Di bidang ekonomi, Chavez berhasil mengembalikan kedaulatan nasional, terutama melalui penguasaan komoditas minyak. Langkah awal Chavez setelah menjabat adalah melobi negeri-negeri anggota OPEC untuk menuruti jatah produksi dan mengontrol harga minyak di kisaran $22 dan $28 perbarel. Sebelum Chavez berkuasa, Venezuela terkenal sebagai anggota OPEC yang 'nakal' karena seringkali melanggar jatah produksi.

Kebijakan ini segera mengembalikan harga minyak dunia mencapai $27 per barel untuk pertama kalinya sejak 1985. Walauapun langkah ini memulihkan pendapatan negara, Chavez diprotes oleh pimpinan PDVSA yang telah terbiasa memproduksi minyak sebanyak mungkin melebihi jatah kuota OPEC dan beroperasi layaknya perusahaan multinasional. (Wilpert, 2003a)

Kebijakan migas Chavez lainnya adalah mengembangkan industri perminyakan sehingga Venezuela akan lebih banyak mengekspor produksi hasil olahan minyak daripada sekedar minyak mentah (crude oil). Nasionalisasi industri minyak ini diharapkan akan memicu berkembangnya industri-industri di sektor lain.

Dengan sumber daya berada di bawah kendali negara, Venezuela bukan saja mampu menjalankan program-program kesejahteraan, tapi juga membantu negeri-negeri Amerika Latin lainnya. Program PetroCaribe misalnya bertujuan menyediakan minyak dengan kredit terjangkau kepada negeri-negeri Karibia yang tak menghasilkan minyak.

Perkembangan ini tentunya menjadi ancaman bagi legitimasi status quo imperialisme AS. Para pendukung imperialisme yang menguasai media raksasa internasional tidak henti-hentinya mendiskreditkan pemerintahan Chavez, menuduhnya sebagai suatu kediktatoran yang menindas kebebasan berpendapat. Sabotase ekonomi seperti penimbunan bahan pangan dilakukan oleh kaum pro-imperialis dalam negeri. Sementara administrasi Bush terus melancarkan dan mendanai aksi-aksi subversif untuk menjatuhkan Chavez dan mengisolasi Venezuela.

Dalam 'No Volveran' kita dapat menyaksikan bagaimana rakyat Venezuela siap dan rela berkorban untuk mempertahankan proses yang berlangsung. Stasiun televisi dan radio komunitas didirikan rakyat sebagai tandingan media raksasa yang dikuasai kaum Oposisi pro-AS.

Dalam satu bagian dokumenter, kita dibawa menemui para buruh pabrik keramik Sanitarios Maracay yang mengambil alih pabriknya setelah ditinggal lari oleh pengusahanya. Karena ini mereka mengalami berbagai permasalahan seperti kekurangan tenaga ahli, kalah berkompetisi dengan perusahaan lain maupun sabotase yang dilakukan oleh pengusaha. Kini mereka berjuang agar pemerintah menasionalisasi pabrik tersebut. Bagian ini menarik karena kita dapat mendengar langsung permasalahan yang dihadapi oleh buruh saat mengambil alih pabrik yang ditinggalkan.

Proses deindustrialisasi merupakan fenomena yang tak asing di Indonesia. Produk-produk murah dari Cina dan ketersediaan buruh murah di Vietnam memicu penutupan pabrik-pabrik tekstil baik karena bangkrut maupun pindah. Di wilayah industri di Indonesia pun terjadi peristiwa di mana buruh yang ditinggal lari pengusahanya mengambil alih pabrik dan coba mengoperasikannya sendiri. Namun, karena permasalahan yang kurang lebih serupa dengan kasus Sanitarios Maracay, langkah tersebut tidak dapat bertahan lama dan kadang berakhir dengan pencurian barang-barang dan mesin.

Yang menarik di Venezuela adalah buruh-buruh tersebut mampu bertahan dan bahkan mendapat dukungan pemerintah. Pemerintahan Chavez bahkan menasionalisasi - walau hanya setengahnya - beberapa pabrik yang ditinggalkan oleh pengusaha seperti Invepal dan Inveval. Meskipun masih terbatas, ini merupakan upaya industrialisasi nasional yang bertujuan membalikkan proses deindustrialisasi yang mengakibatkan pengangguran.

Sejalan dengan ini, konon pemerintahan Chavez berencana untuk membangun industri dan pabrik-pabrik baru yang dikelola secara kolektif dan tergabung dengan masyarakat sekitarnya dalam struktur teritorial dewan komunal. (Carlson 2007) Sejauh mana proses ini telah berjalan masih menjadi pertanyaan.

"No Volveran" merupakan suatu perayaan tentang sosialisme sebagaimana yang sedang dibangun oleh pemerintahan revolusioner Chavez. Walau demikian baru pada 30 Januari 2005, dalam pidatonya di depan Forum Sosial Dunia ke 5, Presiden Chavez mengumumkan bahwa sosialisme abad 21 sedang dibangun di Venezuela. Sebelumnya, dan hingga kini, Chavez menggerakkan rakyat Venezuela dengan mengangkat ideologi Bolivarian, yakni nasionalisme dan anti-penjajahan asing yang diilhami oleh pahlawan anti-kolonial Amerika Latin, Simon Bolivar. Karena sisa sentimen anti-komunis warisan perang dingin, istilah sosialisme masih terdengar sangar di beberapa kalangan masyarakat di Amerika Latin.

Dokumenter ini merupakan satu amunisi dalam 'pertempuran ide' melawan paradigma imperialisme neoliberal yang telah terbukti menyengsarakan rakyat. Venezuela-Chavez memberikan harapan dan inspirasi tentang apa yang dapat dicapai oleh pemerintahan yang berdaulat dan pro-rakyat. Ia juga memberikan contoh bahwa perjuangan untuk kepentingan rakyat dapat dilakukan lewat kebijakan-kebijakan pemerintah (dari atas) yang sinergis dengan pengorganisiran rakyat (dari bawah).

Di Brazil, contohnya, gerakan Tani Tanpa Lahan (Landless Peasant Movement - MST) bergerak dalam kerangka konstitusional dan mendapat dukungan yang berarti dari pemerintahan Lula. Pertumbuhan organisasi mereka mengalami percepatan dan penguatan di bawah pemerintahan yang lebih akomodatif dibandingkan dengan masa kediktatoran militer yang represif.

Dalam kasus Venezuela, kondisi rakyat miskin jauh lebih membaik setelah Chavez menjabat presiden. Kenaikan Chavez pada 1998 merupakan manifestasi dari kehendak luas rakyat Venezuela - kecuali unsur-unsur pendukung rejim puntofijismo - untuk suatu pembaharuan politik dan jalan keluar dari krisis berkepanjangan. Wilpert (2005) bahkan mencatat bahwa Chavez pada pemilu 1998 dan 2000 pada dasarnya dimenangkan oleh suara kelas menengah yang juga menjadi korban krisis neoliberal.

Yang menjadi pertanyaan penting adalah bagaimana kita dapat menghadirkan pemerintahan semacam itu di Indonesia? Jawaban ini tidak dapat sekedar mencontoh Venezuela namun membutuhkan suatu diskusi mendalam tentang situasi obyektif di Indonesia. Sebagai penutup, perkenankan saya mengutip komentar Chavez kepada Fidel Castro yang menyatakan bahwa ia "mengagumi revolusi Kuba, tapi Venezuela harus mencari jalannya sendiri."

*penerjemah teks "No Volveran";
salah satu penerjemah teks "The Revolution Will Not Be Televised"
aktivis Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS)

Catatan Akhir

Carlson C, “What is Venezuela’s Constitutional Reform Really About? | venezuelanalysis.com,” http://www.venezuelanalysis.com/analysis/2890. (2007)
Artikel ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan dapat dibaca di website SERIAL.

Harnecker M and Chavez H, Understanding the Venezuelan Revolution: Hugo Chavez Talks to Marta Harnecker (Fordham University Press, 2005).
Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Raby D L, Democracy and Revolution: Latin America and Socialism Today (Pluto Press, 2006).

Sylvia R D and Danopoulos C P, “The Chavez Phenomenon: Political Change in Venezuela,” Third World Quarterly 24, no. 1 (February 2003): 63-76.

Wilpert G, “The Economics, Culture, and Politics of Oil in Venezuela | venezuelanalysis.com,” http://www.venezuelanalysis.com/analysis/74. (2003a)

Wilpert G, “Venezuela's Mission to Fight Poverty | venezuelanalysis.com,” http://www.venezuelanalysis.com/analysis/213. (2003b)

Wilpert G. “Venezuela’s New Constitution | venezuelanalysis.com,” http://www.venezuelanalysis.com/analysis/70. (2003c)

Wilpert G, “Venezuela: Participatory Democracy or Government as Usual? | venezuelanalysis.com,” http://www.venezuelanalysis.com/analysis/1192. (2005)

NO VOLVERAN: Tayangan Pendakian Seperempat Menuju Puncak

Proses sosial politik di Venezuela, semenjak pemerintahan Chavez (tahun 1999), sudah cukup sering di muat dalam pemberitaan-pemberitaan media internasional, juga di Indonesia. Di samping berita tentang perang Irak, nuklir Iran, pengisolasian rakyat Palestina, kejadian-kejadian dalam panggung politik Venezuela sering mengetengahkan adegan yang bernilai penting secara politik, tidak hanya bagi negerinya, juga bagi dunia internasional. Kudeta pemerintahan terhadap Chavez (April 2002), pemogokan perusahaan minyak nasional, konflik Chavez dengan media swasta (khususnya RCTV), kegagalan referendum konstitusi (akhir 2007), pertarungan lewat arbritrase dengan salah satu perusahaan minyak internasional, adalah beberapa peristiwa yang mendapat sorotan secara internasional. Kejadian-kejadian tersebut tidak bisa dipungkiri akibat kebijakannya pemerintahan Chavez yang bertentangan dengan kebijakan neoliberal yang berlaku umum saat ini.

Perkembangan yang terjadi di Venezuela adalah perkembangan yang makin progresif, kendati referendum konstitusi kedua kalinya pada akhir tahun 2007 yang diusulkan oleh kekuatan Chavez mengalami kekalahan. Terbukti dengan makin banyaknya perusahaan dan sektor usahanya dimana kepemilikan negara makin besar.

Sebuah film dokumenter berjudul “No Volveran”, dibuat menjelang dan saat pemilihan presiden Venezuela tahun 2006, dimana Chavez kemudian terpilih kembali sebagai presiden, menampilkan perkembangan gerakan rakyat yang telah beranjak lebih maju dibanding dari periode sebelumnya. Bila Chavez sebelumnya, sebagaimana diungkapkan dalam buku Martha Harnecker “Memahami Revolusi Venezuela”, harus berupaya kuat dan kesulitan dalam mengorganisir rakyat, maka film ini menyuguhkan kita sebuah bentuk kegigihan rakyat mengorganisir diri, dan memperjuangkan tuntutannya ke pemerintah. Jika pada tahun 2004, manajemen buruh, manajemen sendiri, ko-manajemen, dan produksi oleh asosiasi produser masih sebatas tuntutan dan impian, maka sejak tahun 2005 telah menjadi kenyataan.
Salah satunya, yang menjadi sentral dalam film ini, adalah perjuangan buruh Sanitarios Maracay, produksinya berupa jamban keramik. Jangan bandingkan dengan perjuangan/aspirasi buruh di pabrik tersebut dengan Indonesia. Bahkan diantara gerakan buruh lainnya di Venezuela, gerakan buruh tersebut merupakan paling maju. Mereka menuntut nasionalisasi 100% terhadap pabrik tempat mereka bekerja, yakni negara menguasai penuh namun operasional/manajemen dibawah kontrol buruh. Sementara itu bentuk kepemilikan lainnya atas perusahaan-perusahaan yang diambil alih masih pada tahap separuh dimiliki oleh buruh dan separuhnya oleh negara, seperti Invepal (kertas). Dalam bentuk kedua ini, maka peningkatan keuntungan usaha sebagian akan menjadi milik buruh yang bekerja di pabrik tersebut. Belajar dari sistem manajemen buruh Yugoslavia (Michael Lebowitz, 2006) bentuk seperti yang terakhir ini juga masih mengandung persoalan, ketika terjadi persaingan antar pabrik, atau masih berpeluangnya terjadi kontradiksi antara pencari pekerjaan, komunitas yang lebih luas dengan buruh yang langsung bekerja di pabrik tersebut. Bentuk manajemen/kepemilikan lainnya yang ditampilkan adalah kepemilikan saham antara koperasi dan pemerintah. Tentu, bentuk ini lebih mundur dibanding dengan dua bentuk yang diatas, terlebih lagi koperasi tersebut masih memperkerjakan buruh yang bukan menjadi pemilik/anggota koperasi.

Membandingkannya dengan Indonesia

Membandingkan dengan Indonesia, tentu akan banyak perbedaan. Selain perbedaan lokasi geografis dan demografisnya, perbedaan yang paling penting adalah perbedaan kemajuan/konteks gerakan dan karakter pemerintahan yang ada di Venezuela dan Indonesia. Sejak terjadi gerakan protes rakyat mengguncang struktur kelas mapan namun direpresi oleh pemerintah pada tahun 1989, yang dipicu oleh kenaikan harga minyak, yang dikenal dengan peristiwa Caracazo, gerakan rakyat makin masuk ke tengah panggung politik, terutama setelah kemenangan Chavez sebagai presiden pada tahun 1998. Pemerintahan Chavez telah berhasil menulis ulang/memenangkan referendum konstitusi yang lebih pro-manusia (rakyat) tahun 1999, melaksanakan program-program ambisius yang meningkatkan indeks kualitas sumber daya manusia lewat bebagai misi, seperti Misi Barrio Adentro (kesehatan), Misi Robinson (melek huruf), perumahan, dan lain-lain.

Sementara di Indonesia, gerakan rakyat masih menjadi figuran dalam panggung politik nasional. Di luar keberhasilannya membukakan ruang yang lebih demokratis, membukakan panggung politik bagi para pemain baru untuk bersimbiosis-mutualisme dengan pemain sebelumnya, tidak banyak yang bisa dicatat atas prestasi gerakan rakyat di Indonesia, kalau tidak boleh dibilang mengalami kemunduran semenjak pemerintahan Megawati.

Apa yang disuguhkan dalam film No Volveran layaknya sebuah tayangan apa yang terjadi dalam jarak seperempat menuju pucak dalam sebuah pendakian. Di sisi lain, kita baru seperempat pendakian dari bawah kaki gunung. Tentunya, vegetasi gerakan, kesegaran cuaca bagi pemikiran rakyatnya dan keindahan yang tertampil akan mengalami perbedaan kualitas dari kedua ketinggian tersebut.

Kembali ke Realitas Kita

Dengan kondisi gerakan di Indonesia yang masih figuran dan lemah, maka tentu menjadi tugas adalah memperbesarnya. Saat ini, tentu gerakan di Indonesia tidak terilusi akan tercapainya kemenangan dengan segera. Sebagaimana dikatakan oleh Meyer (nama samaran seorang progresif Rusia), kita tidak terilusi kemenangan, kita tidak akan menang saat ini. Pekerjaan sekarang adalah menjatuhkan otokrasi. Tidak menjatuhkan otokrasi karena prospek kemenangan masih jauh adalah tindakan yang salah dan bukan karakter organisasi progresif (David Shubb). Kendati pendapat tersebut dia ungkapkan pada tahun 1905, relatif memiliki ketepatan dengan Indonesia saat ini.

Kelompok yang tidak terilusi jelas melihat bahwa Pemerintahan SBY-Kalla tidak saja bukanlah pemerintahan populis (yang melandaskan kekuasaannya dengan memberi sogokan-sogokan kepada rakyat tanpa upaya serius meningkatkan kapasitas rakyatnya), namun lebih ekstrim dari itu dia adalah pemerintahan pro-investor. Hal tersebut tampak diantaranya dalam kasus Lapindo dimana dana APBN diporot untuk membayar apa yang seharusnya menjadi tanggungan Lapindo Brantas Inc, atau pelajaran dari dihentikannya kasus BLBI.

Isu nasionalisasi bagus untuk diketahui, dan perlu untuk dipahami. Namun memprioritaskan isu nasionalisasi dengan konteks pemerintahan yang ada sekarang, bukanlah tindakan yang efektif, sesuai dengan ketinggian pendakian kita saat ini. Prioritas utama adalah memblejeti pemerintahan yang tidak pro rakyat, dan menarik rakyat luas untuk masuk dan mendukung kelompok gerakan. Dengan membesarnya kekuatan rakyat, (dan menghasilkan pemerintahan yang progresif), barulah tuntutan nasionalisasi menjadi realistis dan memiliki pijakan.
Apa yang disungguhkan oleh film No Volveran adalah gambaran gerakan yang akan terjadi di depan, jika saja kita berhasil melanjutkan pendakian, dengan keberhasilan membangun kekuatan yang lebih besar, dengan kerja-kerja yang terukur kemajuannya sepanjang rute pendakian.

Ditulis oleh;
Pius Tumangger, anggota Aliansi Muda Progresif.