30/08/2006

Resensi: “The Revolution will not Be Televised / Chávez: Inside the Coup”

Sutradara dan Photografer
KIM BARTLEY dan DONNACHA O'BRIAIN
Produksi Irlandia, 2003
Durasi 74 menit

Ketika Kekuasaan Korporasi Media Ditundukkan oleh Kekuatan Rakyat


"Kami (para organisator kudeta) punya sebuah senjata yang mematikan: media." Itulah pernyataan Wakil-Laksamana Victor Ramírez Pérez, di Venevision, sebuah channel televisi swasta Venezuela pada 11 April 2002. Hingga 12 April 2002, untuk kesekian kalinya terjadi kudeta di Amerika Latin dan kudeta media yang pertama kalinya dimuka bumi ini.

Power Production mungkin adalah production house (PH) independen yang beruntung mendapat akses penuh dari Presiden Venezuela Hugo Chávez untuk observasi dokumenter di Venezuela. Dua orang film-maker-nya, Kim Bartley dan Donnacha O’Briain, tak pernah menyangka bahwa perjalanannya ke Venezuela di penghujung 2001, yang semula bertujuan untuk membuat dokumenter profil Chávez, Presiden terpilih Venezuela 1998, seorang tentara yang unik, dicintai rakyatnya itu, akan berpuncak pada tiga hari revolusioner peristiwa kudeta-rahasia dan counter-kudeta di negeri tersebut. Bahkan mungkin tak percaya dapat secara langsung mengabadikan detik-detik ketegangan, sekaligus saksi mata dari simpang siurnya informasi dibalik kejadian 11, 12 dan 13 April 2002 secara langsung dari dalam istana Miraflores Caracas bersama-sama Presiden dan kabinetnya.

Mungkin juga tidak terfikir bahwa film dokumentasi mereka menjadi salah satu informasi paling akurat dari apa yang sesungguhnya terjadi di Venezuela, sehingga memperoleh penghargaan Jury Award, Best Documentary pada Malaga Internatiol Film Festival (Spayol); Needle Award Seattle Film Festival (USA); Le Prix George du Beau Regard International, Best Documentary, FID Marseilles Film Festival (France); Best Feature Documentary, Galway Film Fleadh (Irlandia); The David Wolper Documentary Film Grand Prize, untuk Best Documentary 2003; Pemenang pertama Wine & Country Film Festival (USA); Best Documentary, 3 Continents Film Festival (South Africa); The Silver Hugo Award; Film terbaik dalam Festival Banff (2003); dan Peabody Awards (2003).

Sebuah pengalaman luar biasa yang diperoleh Bartley dan O’Briain di dalam istana Miraflores ketika mereka berhadapan dengan kenyataan bahwa media mainstream di Venezuela lewat rekayasanya memberitakan bahwa Chávezbertanggung jawab atas penembakan massa yang menentangnya, sehingga Chávez harus diberhentikan. Padahal kenyataannya adalah, Chávez dipaksa berhenti dan kemudian ditangkap oleh elit-elit oposisi dibawah koordinasi Pedro Carmona (Presiden dari federasi bisnis terbesar Venezuela) dan Carlos Ortega (ketua serikat buruh kuning CTV yang pro AS), serta didukung dan dilindungi oleh Washington lewat Carl Ford (US State Department), Collin Powell dan George Tennet (Direktur CIA). Disana pula mereka menyaksikan kudeta politik terhadap Chávez oleh oposisi yang berkolaborasi dengan kapitalis media dengan cara memanipulasi liputan demonstrasi 11 April untuk kepentingan menjatuhkan Hugo Chávez.

Pengalaman tersebut membuat Bartley dan O’Briain, di pembukaan filmnya, memberikan pemirsa dasar pengertian tentang keunikan, karisma, dan apa yang sesungguhnya diperjuangkan oleh Chávez hingga ia begitu dicintai rakyat bahkan tentaranya, sekaligus diwaspadai dan dijadikan musuh oleh Amerika Serikat, sehingga harus dijatuhkan. “Di sini, di Venezuela dan di seluruh negeri Amerika Latin, kita sedang dijajah oleh proyek-proyek neoliberal yang jahat dengan klaim mereka bahwa akan ada tangan tersembunyi yang akan ‘menyejahterakan’. Bohong! Bohong! Jutaan kali Bohong! Tentu saja memang ada alternatif, dan di Venezuela kita sedang membuktikannya. Saya harus melawan tekanan internasional yang begitu besar, tapi saya tak perduli. Jika itu berarti suatu saat nanti saya harus masuk neraka untuk mempertahankan rakyat Venezuela, saya tak perduli! Saya akan tetap mempertahankan kalian apapun yang terjadi!”.

Hubungan dan kedekatan Chávez dengan Fidel Castro, memberikannya karakter keras dalam melawan imperialisme AS, diwujudkan dengan menasionalisasi perusahaan minyak PDVSA pada Februari 2002. Sebelumnya perusahaan minyak ini mayoritas dimiliki Carmona dan elit-elit oposisi yang menyediakan 14% pasokan minyak untuk AS. Langkah politik ini membuat berang kaum oposisi dan AS. Hasil-hasil dari nasionalisasi perusahaan minyak adalah re-distribusi kongkrit dari kekayaan nasional yang dilakukan pemerintah Chávez kepada 80% penduduk miskin Venezuela.

Keyakinan Chávez untuk mempertahankan hak-hak kesejahteraan rakyat Venezuela dengan jeli ditelusuri Bartley dan O’Briain lewat footage-footage seperti bagaimana Chavez bertemu, berdialog dan berhubungan dengan rakyatnya. Konstitusi Bolivar 1999 menjelaskan dan menjamin hak-hak rakyat Venezuela sepenuhnya oleh pemerintah. Konstitusi ini menjadi pembicaraan hangat diseluruh sudut kota. Alo Presidente sebuah siaran langsung dari Channel 8, satu-satunya televisi milik pemerintah, adalah upaya Chávez agar rakyat dapat mengakses langsung pemerintahannya. Setiap hari ada 200 surat yang masuk ke istana atau dititipkan rakyat padanya dalam berbagai kunjungannya, dan semua surat itu sepanjang atau sependek apapun teliti dan dibaca oleh Chávez.

Dengan amanat dan dukungan 80% rakyat miskin yang mencintainya, Chavez menegaskan, bahwa itu belum cukup. Karena itu Chaves memanfaatkan media lokal, televisi, radio, konferensi pers dan apa saja yang bisa menjadi jembatan komunikasi pemerintah dengan rakyat untuk menjelaskan keberhasilan-keberhasilan dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pemerintah kepada rakyat. Kenyataan tegas yang dipotret oleh Bartley dan O’Briain ini berhadapan dengan situasi dimana siaran-siaran televisi swasta, yang dikuasai oleh pemodal-pemodal terbesar negeri, terus menerus melakukan black propaganda terhadap Chávez. Channel 8 satu-satunya milik pemerintah, berhadapan dengan 5 televisi swasta milik pemodal yang didukung penuh oleh AS memang bukan perang media yang seimbang.

Dalam waktu hanya 48 jam pasca kudeta oleh militer dan oposisi, Chavez dihantarkan kembali berkuasa oleh mobilisasi rakyat dari kampung-kampung miskin yang berkumpul dan mengelilingi istana presiden Miraflores. Bartley dan O’Briain mampu merangkum proses revolusioner yang sedang terjadi di Venezuela dalam ­footage-footage yang memuncak pada tiga hari yang menegangkan dan bersejarah itu. Rakyat yang bergerak membebaskan Chávez dan memintanya berkuasa kembali bukan hanya pendukung setia Chávez, namun juga mereka yang tidak terima pelecehan yang dilakukan Carmona dan pemerintahan baru bentukan kaum oposan anti Chávez terhadap demokrasi dan hak-hak rakyat yang sudah dijamin di dalam konstitusi Bolivar 1999. Konstitusi ini adalah hasil referendum yang ditentukan sendiri oleh rakyat (bahkan rakyat juga memilih langsung Majelis Perwakilan Nasional).

Pemerintahan oposisi yang membubarkan struktur pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat tersebut akhirnya hanya berumur beberapa belas jam saja. Kemarahan rakyat memuncak dengan represi yang dilakukan aparat pemerintahan baru terhadap aksi demonstrasi para pendukung Chávez. Selama hampir tiga tahun Chávez berkuasa, tak pernah aparatnya merepresi aksi-aksi provokasi kelompok oposisi. Sehingga rakyat semakin paham dan berani bergerak membela Chávez dan hak-hak demokrasi mereka sendiri.

Situasi tersebut mewakili apa yang dikatakan Andres Izzara, seorang (mantan) kepala pemberitaan sebuah TV swasta: “Kami tak dibolehkan lagi menayangkan berita para pendukung Chavez di TV. Mereka memborgol mantan Menteri Pengadilan, mengatur siaran berita resmi mereka, dan mengancam saya dengan pilihan terima atau tinggalkan. Ini melanggar prinsip saya, sehingga saya mengundurkan diri”.

Film berdurasi 74 menit ini, akan menggelorakan sekaligus mengharukan hati pemirsa yang menyaksikan bagaimana dukungan rakyat mendapat sambutan dan tambahan kekuatan dari mayoritas tentara yang tidak mau dibeli oleh kaum oposisi dan AS, yang sadar bahwa demokrasi rakyat sudah dilecehkan. Sehingga upaya mengembalikan kekuasaan pada Chávez, kekuasaan yang sah dan kebijakan yang didukung penuh oleh rakyat, adalah perjuangan mempertahankan hak-hak demokrasi rakyat sendiri. Apa yang sudah ditunjukkan oleh Rakyat Venezuela dan sikap obyektif dari pembuat film dokumenter ini menunjukkan kenyataan bahwa dominasi kekuasaan korporasi media yang anti rakyat dapat ditundukkan dengan kekuatan mobilisasi rakyat. ***

Dunia Lain yang Alternatif Terbukti Bisa

Zely Ariane

… bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus memberikan kekuasaan pada si miskin, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi. Itulah satu-satunya cara mengakhiri kemiskinan.
(Pidato tahunan Hugo Chávez Frias, Presiden Republik Bolivarian Venezuela,
Gedung Parlemen, 14 Januari, 2005)

Dunia saat ini sudah tidak mampu membahagiakan mayoritas orang, bahkan menghancurkan kemanusiaan. Degradasi yang terjadi di segala aspek kehidupan (ekonomi, sosial, politik, budaya dan lingkungan) adalah bencana kemanusiaan yang paling besar memakan korban di penghujung abad 20 dan awal abad 21. Cita-cita kemajuan peradaban rakyat seluruh dunia yang dicanangkan dalam deklarasi universal PBB; dalam resep-resep Negara Kesejahteraan; dan globalisasi neoliberal, kehilangan mujarabnya dihadapan realitas kehidupan dunia di awal abad 21 ini.

Namun, tentu saja, banyak persoalan yang sepertinya mustahil ternyata dapat dipecahkan, layaknya tak ada kenyataan di dunia ini yang tidak dapat dirubah.

Dunia Tempat Kita Hidup Saat Ini

Dunia di dalam globalisasi neoliberal saat ini-tak seindah cita-cita dalam Millenium Development Goals (MDG’s)-tidak bisa mengatasi kematian 11 juta balita miskin setiap tahunnya. Dunia seperti itu yang menyebabkan 1,3 milyar orang hidup kurang dari $1/hari, dan 3 milyar orang hidup dengan $2/hari; 1,3 milyar orang tak punya akses terhadap air bersih; 3 milyar orang tak punya akses terhadap sanitasi; serta 2 milyar orang tak punya akses terhadap listrik.

Seharusnya, hampir 3 milyar jiwa tenaga produktif kaum muda yang berusia di bawah 25 tahun dapat memberi manfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Namun, 85% kaum muda tersebut hidup tidak produktif di negeri-negeri yang miskin teknologi dan industrinya. Dan ironisnya, negeri termiskin justru memiliki persentase kaum muda paling tinggi.

Bahkan Amerika Serikat, tempat dimana globalisasi neoliberal dilahirkan (melalui konsensus Washington), tak kuasa mengusahakan akses kesehatan dasar bagi 45 juta rakyatnya yang sebagian besar Afro-Amerika, padahal AS memiliki akses terhadap teknologi kesehatan terbaru dengan sistem terapi tercanggih. Sehingga angka kematian bayi Afro-Amerika dua kali lebih tinggi dari warga kulit putih AS.

Dunia tempat kita hidup sekarang memberikan kesempatan lebih besar pada 50 individu terkaya untuk berpendapatan melebihi keseluruhan pendapatan 416 juta rakyat termiskin, dan memberi lebih banyak keleluasaan pada beberapa ratus milyuner dunia untuk memiliki kekayaan sama dengan 2,5 milyar orang-orang termiskin di dunia.

Dunia yang tak berperasaan ini juga lebih memilih membelanjakan hingga dua trilyun dolar setiap tahunnya untuk kebutuhan militer daripada akses kesehatan bagi 8 juta lebih kaum perempuan yang menderita sakit jangka panjang akibat komplikasi kehamilan, dan 500.000 di antaranya mati melahirkan setiap tahunnya.

Inilah dunia di mana brutalitas dan kekuasaan modal menang, dengan ratusan basis militernya di seluruh dunia, melalui Bank Dunia, IMF, WTO dan pemerintah-pemerintah pro globalisasi neoliberalnya. Inilah model dunia yang mereka tawarkan sebagai solusi untuk memeratakan pembangunan dan memberikan solusi bagi kemiskinan.

Imperialisme AS, yang Tak (Lagi) ‘Maha Kuasa’

Sejak jatuhnya rejim-rejim Komunis, Washington telah memperluas pengaruhnya terhadap bekas-bekas negeri Komunis, dari Baltik ke Eropa Timur hingga Balkan dan terus menuju Asia Tengah, Selatan dan Tenggara melalui perang, invasi dan berbagai operasi rahasia. ‘Kerajaan’ AS meliputi hampir 50% dari 500 MNC (Multi-National Cooperation) dan Bank-bank tebesar dunia, 120 basis militer di seluruh dunia dan ratusan misi-misi militernya.

Namun, di mana-mana dominasi kekuasaan imperialisme AS sedang ditentang dan dilawan, membuatnya tak lagi ‘Maha Kuasa’. Karena kekuasaan dunia tidaklah ‘unipolar’, maka ‘kerajaan’ AS pun tidaklah selamanya ‘Maha Esa’. Di Irak, pemerintahan baru kolaborator AS terus-menerus memanen perlawanan gerakan rakyat dengan lebih dari 30 konflik bersenjata setiap harinya, demikian halnya yang terjadi di Afganishtan.

Di Amerika Latin, proyek-proyek kekuasaan AS dikalahkan di Venezuela dan Bolivia. Perlawanan rakyat meningkat sangat pesat dalam menentang upaya dominasi imperialisme AS lewat ALCA (Kawasan Perdagangan Bebas Amerika-FTAA), mengalahkan dua kudeta yang diskenariokan oleh AS di Venezuela, melawan “Plan Colombia”, dan menjatuhkan Sanchez de Losada di Bolivia akibat privatisasi gas yang dilakukannya.

Dampak dari perluasan ‘kerajaan’ AS akhirnya menggerogoti ekonomi domestiknya dan dukungan politiknya, seiring dengan meningkatnya angka kematian prajurit dan defisit anggarannya-sementara belanja sosial dan lapangan kerja industri domestik semakin berkurang.

Rakyat Menghendaki Dunia Lain yang Alternatif

Gelombang perlawanan rakyat (di seluruh dunia) terhadap globalisasi neoliberal (imperialisme) juga semakin meningkat. Perangkat-perangkat globalisasi seperti IMF, Bank Dunia, WTO, Paris Club, AFTA, NAFTA, APEC, G8, dan sebagainya serta paket-paket kebijakan penyesuaian strukturalnya mulai terus menerus mendapat penolakan gerakan sosial internasional. Forum-forum dunia di mana para penggagas globalisasi neoliberal secara rutin bertemu dan membicarakan metode-metode pembagian dunia sesuai kebutuhan mereka, terus mendapatkan serangan-serangan demonstrasi massif.

Setelah pertemuan WTO di Seattle tahun 1999, gerakan sosial di dunia mulai bangkit kesadarannya terhadap kejahatan globalisasi neoliberal. Perlawananpun terus berlanjut di berbagai forum WTO, G8, APEC, AFTA dan sebagainya. Sejak saat itu slogan “Another World is Possible” begitu melekat dalam kesadaran gerakan sosial internasional. Berbagai forum sosial dunia menjadi ajang kampanye bagi kebutuhan sebuah dunia baru yang lebih baik, adil, maju dan manusiawi.

Dunia lain tersebut saat ini sedang diperjuangkan oleh gerakan sosial di seluruh dunia dengan berbagai metode dan strateginya. Musuh utamanya juga sudah semakin jelas, yakni neoliberalisme, dan berpotensi menyatukan rakyat yang menjadi korban kejahatannya. Tanpa memandang agama, suku, wilayah dan bahasa, mayoritas rakyat sedunia sudah disatukan oleh penderitaan, kemiskinan, keterbelakangan, ketergantungan yang sama akibat dominasi kekuasaan modal barat (terlebih AS) yang merenggut harkat, martabat dan kemerdekaan umat manusia.

Berbagai perdebatan di seputar model alternatif sudah ramai dibicarakan. Dari model alternatif yang reformatif hingga revolusioner, dengan metode ‘kekuasaan dari bawah’, demokrasi partisipatoris, pengganggaran partisipatif, pemanfaatan ruang elektoral hingga gerilya bersenjata. Terlepas dari perbedaan masing-masng metode, satu hal yang semakin tak dapat dihindari adalah bahwa perubahan (yang sejati) menghendaki persatuan dan jalan pengambilalihan kekuasaan dari tangan pemerintah-pemerintah pro-neoliberal demi sebuah kekuasaan yang kerakyatan; dengan berbagai cara yang selayaknya.

Fidel Castro dalam sebuah pidatonya menegaskan, bahwa dunia saat ini amat sangat menghendaki persatuan, seminimum apapun. Bila tak mau kita wujudkan, maka kita tak akan mendapatkan apapun.

Amerika Latin Memberikan Alternatif

Boleh dikata, Amerika Latin (selanjutnya disingkat: AL) adalah pusat perlawanan terhadap imperialisme paling massif dan paling bertahan di dekade ini. Terlebih lagi, situasi objektif di AL memang cukup “matang” bagi transformasi sosial. Semua indikator ekonomi dan sosial utama menunjukkan tanda-tanda negatif. Jika kita ambil contoh realistis kemiskinan dengan ukuran pendapatan $5/hari saja, lebih dari 70% rakyat AL hidup dalam kemiskinan dan 40%-nya (dengan ukuran pendapatan $2/hari) hidup melarat. Di Argentina, hampir 60% rakyat hidup miskin dan 1/3nya melarat. Brazil, yang terus mengalami resesi dalam tiga tahun belakangan ini sudah membayar utangnya lebih dari $60 milyar, dengan memotong anggaran untuk perumahan, kesehatan, pendidikan dan pembaharuan agraria (baik oleh pemerintahan Cardoso maupun Lula). Ketimpangan sosial semakin lebar diseluruh AL; di bawah program-program pengetatan anggaran yang dilakukan Brazil, Argentina, dan Mexico, lapisan atas masyarakat diuntungkan lewat pajak dan pengupahan yang lebih rendah (murah).

Dalam dua dekade pelaksanaan agenda neoliberalisme di AL, satu dekade terakhirnya berbuah krisis, berdampak paling parah terhadap kaum tani dan kaum tak bepekerjaan. Dan bagian masyarakat yang paling tertindas, terdiskriminasi, dan termiskin di anak benua ini adalah masyarakat suku asli Indian yang bermatapencaharian sebagai petani.

Situasi obyektif ekonomi tersebut tidak melenggang di ruang hampa politik-ditanggapi oleh pengalaman perjuangan yang tak berjeda. Dalam kurun waktu lima tahun, setidaknya terjadi sepuluh kali pergolakan massa (uprising) berskala besar yang melibatkan jutaan rakyat yang aktif. Beberapa pergolakan yang bisa disebut di sini antara lain; di Venezuela tahun 2001 dan 2002 (untuk menggagalkan boikot para penguasa minyak dan kudeta terhadap Chávez yang disponsori AS); di Argentina (2001); di Peru (2002); Bolivia pada tahun 2000, 2003 dan 2005; dan di Ekuador pada tahun 2000 serta 2005. Dalam waktu sepuluh tahun, empatbelas presiden telah disingkirkan oleh pergolakan rakyat tersebut. Jumlah ini hanya mewakili ribuan aksi lainnya yang terjadi di seluruh AL yang, dalam kurun waktu belakangan, diiringi dengan kualitas tuntutan yang terus meningkat.

Perluasan kesadaran anti-imperialisme selain dilandasi oleh kejahatan imperialisme yang merugikan langsung kepentingan sehari-hari mayoritas rakyat AL, juga oleh begitu bengisnya diskriminasi, eksploitasi, dan korupsi, yang dilakukan elit-elit pejabat pemerintah dan pengusaha pro-AS. Di Bolivia, para petani koka melawan pembasmian budidaya koka yang diperintahkan oleh AS; dan mereka juga berhasil melawan privatisasi gas, minyak serta air. Di Venezuela, terkonsolidasinya prajurit-prajurit progressif awal 1980-an (yang dipimpin oleh Chávez) hingga pemberontakan 1992 untuk melawan kekuasaan Carlos Andres Perez yang neoliberal, salah satunya disebabkan oleh ketimpangan sosial dan korupsi pejabat-pejabat pemerintahan yang luar biasa.

James Petras, mantan Profesor Sosiologi pada Universitas Binghamton, New York, USA, menggolongkan perjuangan rakyat di AL ke dalam empat gelombang gerakan dengan karakternya masing-masing. Gelombang pertama, pada fase akhir 1950an hingga awal 1970-an, dimulai dengan kesuksesan Revolusi Kuba dan diakhiri dengan kekalahan kaum populis serta sosialis-dimulailah era kediktatoran militer di kerucut bagian paling selatan benua AL; Gelombang kedua berpusat di Amerika Tengah, dimulai dengan Revolusi Sandinista Nicaragua pada tahun 1979 dan diakhiri dengan kekalahan elektoralnya di tahun 1990-era terkonsolidasinya rezjim-rejim boneka AS di Nicaragua, Guatemala, dan El Salvador; Gelombang ketiga dimulai di akhir 1990-an dan berakhir pada tahun 2002, perpaduan antara gerakan rakyat dan koalisi dengan partai-partai atau pemimpin-pemimpin populis gadungan; Gelombang keempat, yang sedang memperoleh momentumnya, terus menerus saling-mengkonsolidasikan gerakan sosial-politik di seluruh AL, termasuk koalisi kaum tani-indian-pengangguran (kaum miskin kota)-kaum buruh dalam aktivitas ektra-parlementer.
Perkembangan ini makin mengenalkan AL sebagai mata air referensi alternatif sekaligus pengalaman revolusioner modern yang tiada habisnya, sejak usai perang dingin. AL adalah kawasan Dunia Ketiga yang pertama kali berjibaku dengan neoliberalisme. Di kawasan ini pula, varian-varian ideologi kerakyatan berkembang dinamis. Mulai dari teologi pembebasan sampai filosofi pendidikan yang membebaskan (Paulo Freire), dari Revolusi Rakyat bersenjata ala FARC Kolombia, gerilyawan Maoist Arah Kemilau (Sendero Luminoso), penganggaran partisipatif ala Brazil, hingga Revolusi Bolivarian Hugo Chávez.

Sebagai “benua revolusi”, seperti pernyataan Fidel Castro, AL saat ini telah menjadi basis penting bagi perubahan peta politik dunia di abad 21. Walau proses perubahan politik dan perkembangan gerakan rakyat di sejumlah negeri di AL mengalami pasang surut, namun perkembangannya dari hari kehari semakin mengindikasikan kegagalan ideologi neoliberal dan awal kekalahan imperialisme AS. Kemajuan ini juga dicapai berkat keberhasilan gerakan memanfaatkan ruang demokrasi untuk meluaskan pengaruh politiknya. Apalagi, Revolusi Sosialis Kuba 1959 mampu bertahan sebagai katalisator bagi masa depan perjuangan rakyat AL.

Peran Progressif Kuba, Venezuela, dan Bolivia

Kini, bersama Kuba, Venezuela mulai memimpin perubahan di AL lewat kebijakan-kebijakan yang bertolak belakang dengan resep-resep penyesuaian struktural ala IMF dan Bank Dunia. Pada prinsipnya, bercermin dari keberhasilan Kuba dan Venezuela, syarat-syarat awal dan utama untuk keluar dari ‘lingkaran setan’ kemiskinan dan ketergantungan akibat kejahatan neoliberalisme adalah: pertama, demokrasi (partisipasi aktif rakyat) untuk meluaskan kesadaran (ideologi) kolektif melawan imperialisme; kedua, penguasaan sumber-sumber pembiayaan negara; ketiga, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan darurat (mendesak) rakyat untuk meningkatkan tenaga produktif (human capital) nya, dan keempat: program-program peningkatan teknologi (force of production).

Pertama, perluasan kesadaran untuk melawan kejahatan neoliberalisme adalah landasan bagi perubahan sebuah dunia yang alternatif. Secara umum, rakyat AL sudah memenuhi kriteria ini. Kehendak mendesak rakyat atas keadilan ekonomi dan politik (perlawanan terhadap penyingkiran/diskriminasi ras); penolakan terhadap ALCA; penguasaan kekayaan alam; penyediaan lapangan pekerjaan, redistribusi tanah dan permodalan bagi pertanian, sudah semakin sulit ditawar lagi. Ini pula yang menjadi ukuran bagi dukungan, mobilisasi hingga perlawanan terhadap pemimpin-pemimpin pemerintahan yang ada, sekaligus menjadi ikatan persatuan antar gerakan rakyat. Penolakan terhadap penandatangan ALCA di Mar del Plata, Argentina, tahun lalu, adalah bukti penguatan dan perluasan ikatan antar gerakan dan gerakan anti imperialisme di AL.

Partisipasi demokratik rakyat semacam itu begitu dinamis terjadi di Venezuela dan Bolivia saat ini, serta selama puluhan tahun sudah teruji di Kuba. Lingkaran-lingkaran Bolivarian, komite-komite misi sosial, dewan-dewan perencanaan lokal/komunitas, persatuan serikat-serikat buruh, melalui serangkaian referendum rakyat, terus dimajukan dalam bentuk mobilisasi-mobilisasi sosial mempertahankan proses Revolusi Bolivarian Venezuela dari berbagai ancaman imperialisme AS. Di Bolivia, militansi dan mobilisasi serikat-serikat buruh, para petani koka, dan kaum miskin kota El Alto mampu menjatuhkan Sanchez de Losada dan Carlos Mesa serta mendudukkan Evo Morales sebagai pemimpin pemerintahan untuk merealisasikan nasionalisasi perusahaan minyak.

Dalam derajat tertentu, Brazil, khususnya organisasi-organisasi rakyat di Porto Alegre, cukup berhasil meluaskan partisipasi rakyat dalam konsep penganggaran partisipatif (participatory budgeting). Rakyat memobilisasi dirinya untuk mempertahankan (khususnya) hak ekonomi dan sosialnya. Namun sayangnya, Partai Buruh Brazil di bawah Lula, yang mengadopsi konsep ini, justru tidak berkehendak memajukan partisipasi rakyat lebih jauh. Ratusan kaum buruh dan rakyat tak bepekerjaan di represi dan ditembaki dalam beberapa aksi demonstrasi melawan kecenderungan neoliberalisme pemerintahan Lula.

Kedua, penguasaan sumber-sumber pendapatan negara oleh pemerintah. Tujuannya adalah merebut kedaulatan ekonomi dari raksasa-raksasa modal AS, untuk dipergunakan bagi kemajuan tenaga produktif dan kesejahteraan rakyat. Setahun setelah menang revolusi 1959, pemerintah Fidel Castro menasionalisasi kilang-kilang minyak AS, Texaco dan Exxon, serta Shell milik Belanda, juga menasionalisasi seluruh industri pokok-termasuk 382 perusahaan dalam negeri-sektor perbankan swasta asing dan dalam negeri. Demikian halnya yang dilakukan pemerintah Hugo Chávez di akhir tahun 2001, dan Evo Morales di 1 Mei, 2006.

Program-program semacam nasionalisasi, pengambilalihan hingga pemberlakukan pajak yang tinggi bagi investasi dan royalti pendapatan perusahaan-perusahaan asing, adalah program-program yang sangat ditakuti oleh imperialisme. Sejak tahun 1977, sekitar 50 persen perusahaan-perusahaan raksasa di Venezuela memiliki “ikatan” dengan modal AS. Itulah sebabnya AS naik pitam ketika Hugo Chávez merenasionalisasi PDVSA (Perusaaan Minyak Venezuela) di akhir tahun 2001 dan (AS) mulai memimpin konsolidasi oposisi untuk menjatuhkan Chávez. Seperti halnya Eisenhower terhadap Kuba pasca nasionalisasi tahun 1960.

Penguasaan sumber-sumber pendapatan yang penting bagi negara menjadi landasan bagi terwujudnya program-program mendesak rakyat. Di Venezuela, tak kurang dari $2milyar rata-rata pertahun [tahun 2006 bahkan mencapai 4,5 milyar dollar (sekitar 40,5 Trilyun rupiah)] dialokasikan pemerintah [dari keuntungan minyak dan juga dari Dana Pembangunan Nasional (FUNDEN)] untuk program-program sosial (seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, kredit, dan pelatihan kerja).

Ketiga, pemenuhan kebutuhan mendesak rakyat sebagai landasan peningkatan tenaga produktif (Human Capital) nya. Kebutuhan-kebutuhan mendesak tersebut meliputi kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan perumahan (layak pangan, sandang, dan papan). Kuba adalah negeri miskin yang bebas buta huruf dan sehat (mampu menyediakan dana Rp. 1.800.000/orang per bulan untuk jaminan kesehatan gratis). Demikian halnya Venezuela, program-program kesehatan gratis Barrio Adentro I dan II, pendidikan gratis Robinson I dan II, serta Ribas dan Sucre adalah upaya pemerintah memasalkan kesehatan dan pendidikan untuk rakyat.

Keempat, program peningkatan teknologi/tenaga produktif untuk melepaskan ketergantungan dari neoliberalisme. Tentu saja dunia alternatif yang kita inginkan tak mungkin berupa dunia yang kembali pada tradisionalisme masa lalu, ia merupakan sebuah dunia yang modern, efektif dan menyejahterakan. Program semacam itu bukanlah program jangka pendek yang hasilnya bisa dengan cepat dirasakan.

Venezuela baru saja menetapkan sebuah misi baru yakni Misi Ciencia (science) dengan program yang sedang berjalan antara lain: penyediaan perangkat lunak gratis, dan komputerisasi tingkat dasar di seluruh sekolah dasar.

Venezuela juga membangun pabrik-pabrik petrokimia, bekerja sama dengan Iran; mendirikan stasiun hidroelektrik di La Vuettosa; membangun jalan bawah tanah di Los Teques; mendirikan tenaga pembangkit termoelektrik; teknologi penerbagan; laboratorium dengan sistim analisa-ultra-mikro; peralatan-peralatan elektroterapi, hidroterapi, mekanikal terapi, gimnasium, terapi okupasional, defektologi, pelatihan hambatan berbicara, podologi; alat penyulingan gula; pendirian pabrik-pabrik traktor; penggilingan benih; mesin pembajak; pabrik truk, kendaraan; mesin mekanik penggali; bis, kesemuanya sudah dan akan diproduksi di dalam negeri.

Keempat syarat-syarat di atas tentu saja bertentangan dengan resep-resep Washington Consensus. Seperti halnya pelipatgandaan anggaran sosial, yang oleh IMF disebut pemborosan; nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang oleh IMF dianjurkan untuk diprivatisasi; aturan-aturan ketat bagi investasi dan liberalisasi, serta pajak progressif, yang oleh IMF dianjurkan untuk dibuat fleksibel dan ‘bebas’.

Untuk itu Hugo Chávez kemudian menegaskan bahwa alternatif bagi masa depan kemanusiaan di dunia adalah sosialisme (yang menurut istilahnya adalah Sosialisme Abad 21). Dalam pidato pertamanya sebagai presiden Bolivia, Morales menyatakan: “Chávez tidak sendiri, rakyat AL mendukungnya. Inilah sebuah kenyataan baru.” Evo Morales Aymar menyusun kabinet pemerintahannya dengan komposisi sejumlah aktivis gerakan rakyat di dalamnya. Pemerintahan ini juga langsung membangun kerja sama dengan Venezuela dalam hal perminyakan, serta dengan Kuba dalam program pendidikan dan kesehatan, untuk memenuhi kebutuhan rakyat Bolivia.

Kemajuan tersebut, secara langsung maupun tidak langsung, turut menyebarluaskan sentimen populis pada rakyat maupun calon-calon pemimpin Amerika Latin selanjutnya. Olanta Humala, walaupun kalah dari Alan Garcia, mampu memobilisasi dukungan 22% suara (kebanyakan dari mayoritas rakyat miskin Peru); Michelle Bachelet (Chile) juga menggunakan sentimen serupa; pun Lopez Obrador dari Mexico, yang kalah tipis dari lawannya, Felipe Calderon-yang dianggap mewakili kelompok kaum kaya Meksiko. Aliansi Kuba, Venezuela, dan Bolivia memberikan efek domino yang sangat signifikan bagi negeri-negeri Amerika Latin lainnya.

Efek Domino Kolaborasi Kuba, Venezuela dan Bolivia

Bersama Kuba dan Bolivia, Venezuela terus mengkonsolidasikan dan mengkongkritkan potensi-potensi perlawanan pemerintah negara-negara AL terhadap imperialisme. Kemenangan di Mar del Plata, Argentina, menjadi saksi keberhasilan Chavez dan Castro mengkonsolidasikan penolakan terhadap FTAA sekaligus mendeklarasikan ALBA-the Bolivarian Alternative for the Americas (Alternatif Bolivarian untuk Rakyat Amerika). ALBA adalah alternatif kerja sama AL melawan intervensi pasar bebas imperialis AS. Lula, Kirchner, dan Guiterrez berhasil ‘didorong’ menandatangani kesepakatan tersebut.
Kehadiran ALBA, meski masih pada tahap kampanye alternatif, sudah berhasil memagari pimpinan-pimpinan kiri-populis AL yang ragu-ragu untuk bergerak menuju prinsip-prinsip saling melengkapi (ketimbang berkompetisi), solidaritas (ketimbang dominasi), kerja bersama (ketimbang eksploitasi) dan penghormatan kedaulatan rakyat (menggantikan kekuasaan korporasi) bagi kemajuan tenaga produktif negeri-negeri yang lebih miskin, sekaligus menjadi kekuatan tandingan bagi imperialis AS.

Kuba dan Venezuela memelopori bentuk kerja sama tersebut, lewat metode pertukaran dokter dengan minyak; operasi mata gratis bagi penduduk miskin Venezuela ke Kuba setiap minggu-Mission Milagro. Kemudian bentuk ini diluaskan menjadi pertukaran minyak dengan bahan makanan dan pertanian [bahkan sudah mencapai pertukaran bijih besi kualitas tinggi (ore) dan bauksit dengan nikel]; dokter dengan mesin-mesin produksi; bantuan modal untuk pengembangan energi minyak-namun bukan dengan jalan memprivatisasikannya ke korporasi minyak-dan penjualan minyak murah. Kerjasama ini mulai melibatkan Ekuador, Argentina dan Brazil (Petrosur), Colombia dan Paraguay. Semuanya bertujuan demi kemajuan tenaga produktif ekonomi rakyat di AL.

Pemerintah Chávez juga berhasil masuk dan mengubah orientasi MERCOSUR (Argentina-Brazil-Paraguay-Uruguay) dari sekadar blok perdagangan (minyak) yang mengejar profit. Chavez berkata; “Kita membutuhkan MERCOSUR yang memprioritaskan kepentingan rakyat. Kita membutuhkan MERCOSUR yang setiap hari harus bergerak semakin menjauh dari model integrasi korporasi elitis yang kuno, yang hanya mengejar keuntungan finansial namun melupakan kaum buruh, anak-anak, dan martabat hidup manusia.”

Minyak Venezuela memang menjadi sumber dana bagi kemajuan AL saat ini. Petro Caribe dibangun untuk menyediakan minyak yang murah untuk rakyat di wilayah Karibia, dan rencana membangun Petro America yang menyatukan perusahaan-perusahaan energi milik negara di seluruh AL. Termasuk membayarkan hutang Argentina kepada IMF sebesar $2,4 milyar agar “Argentina segera mengakhiri ketergantungannya kepada IMF”. Chávez juga menggagas pembentukan sebuah alternatif lembaga keuangan melawan IMF dan WB, yakni Bank of the South (Bank Selatan), agar negeri-negeri AL dapat meminjam dana tanpa terikat kebijakan-kebijakan neoliberal yang dipaksakan Washington.

Dalam bidang budaya, sebuah stasiun televisi regional Telesur, diluncurkan 24 Juli, 2005, bersamaan dengan peringatan hari lahir ke 222 Simon Bolivar. Telesur bertujuan menghancurkan hegemoni propaganda AS di seluruh benua ini. (Telesur adalah sebuah perusahaan pertelevisian bersama antara Venezuela, Argentina, Kuba dan Uruguay, yang selama 24 jam penuh melakukan siaran sejak akhir Oktober tahun lalu). Direktur informasi Jorge Botero, menjelaskan: “Dunia yang unipolar ini, di mana semua orang berkiblat ke utara dengan hormatnya, yang berakhir pada pembudakan, harus segera diakhiri. Bagi kami, cakrawala sesungguhnya terbentang lebih luas daripada yang dilihat dari Washington, dan karena itulah moto kami adalah ‘Utara Kami adalah Selatan’.”

Arah Angin Perubahan

Itulah pertanyaan besar bagi semua kalangan yang mengikuti perkembangan di AL dari luar. Kekuatan progressif berharap perubahan yang sedang terjadi terus menjauh dari pengaruh-pengaruh neoliberal, terutama dengan dimotori oleh para pemimpin ‘populis-kiri’ terpilih. Sementara kekuatan kanan mulai kalang kabut dan cemas. Sebagian dari mereka mulai menyalahkan pemerintah AS karena “mengabaikan AL dan lebih memperhatikan Timur Tengah”, serta menyesalkan pemerintahan-pemerintahan pro neo-liberal di AL karena melakukan “reformasi ekonomi yang setengah-setengah”-padahal karena reformasi ekonomi semacam itulah rakyat AL menjadi semakin miskin.

Arah perkembangan ke depan ditentukan oleh empat faktor utama berikut: pertama, sejarah karakter dan program masing-masing pemimpin ‘kiri’ terpilih; kedua, kemajuan tenaga produktif untuk menjalankan program-program alternatif di luar syarat-syarat kapitalisme; ketiga, peran pemerintah Venezuela, Kuba, dan Bolivia; dan keempat penguatan serta perluasan gerakan politik rakyat di masing-masing negeri.

Sejarah karakter pemimpin-pemimpin ‘populis-kiri’ yang dipercaya rakyat tersebut berbeda-beda. Misalnya, pemerintahan Lula da Silva di Brazil walau banyak disebut sebagai pemerintahan kiri-tengah atau sosial demokrat, namun kebijakan-kebijakan ekonominya anti-buruh dan rakyat miskin. Pujian Washington, IMF dan Bank Dunia terhadap reformasi ekonomi Brazil yang pro neoliberalisme, harus dicatat sebagai basis historis yang buruk, termasuk membentuk “Sahabat Venezuela” demi menggalang dukungan bagi referendum untuk menghentikan Chávez dari jabatannya di pertengahan tahun 2004. Sementara Nestor Kirchner di Argentina mencapai satu-satunya prestasi ‘terbaik’nya dengan menolak pembayaran lebih dari $140 miliar hutang kepada IMF-yang sebagian kemudian dicicil hingga lunas oleh Pemerintah Hugo Chávez. Namun ada juga Tabare Vazquez, yang tak berhasil didorong oleh demonstrasi rakyat untuk menolak pembayaran hutang luar negeri yang sangat besar.

Bagaimana dengan Lucio Gutierrez (Ekuador) dan Alejandro Toledo (mantan Presiden Peru)? Keduanya dinilai sebagai pemimpin AL yang paling tidak populer di negerinya masing-masing karena mendukung agenda ALCA (FTAA). Gutierrez paling sering menghadapi pemogokan-pemogokan umum di negerinya, dan Toledo terbukti ditinggalkan rakyat pada pemilu Juli lalu.

Sementara untuk Veronica Michelle Bachelet di Cili, cukup jelas bahwa jauh lebih besar harapan ketimbang kenyataan. Walaupun sebenarnya Bachelet berasal dari keluarga yang mendukung pemerintahan Sosialis Salvatore Allende pada 1970-an awal, yang turut ditindas oleh diktator Pinochet. Situasi ini melahirkan simpati, sekaligus harapan bahwa Bachelet dapat menjadi ‘Allende Baru’ bagi Chili. Tapi, seperti pendahulunya, Richardo Lagos, program-program Bachelet masih dalam batas-batas ‘toleransi’ AS.

Terakhir Meksiko, dengan Manuel Lopez Obrador, yang janji program-programnya dianggap mendekati harapan Hugo Chávez, dan yang nyaris memenangkan pemilihan presiden Meksiko, juga memberikan harapan bagi masa depan AL.

Sosialisme Abad 21

Jatuh bangunnya gerakan adalah hal biasa dalam sejarah AL, namun kuatnya gelombang radikalisme menunjukkan bahwa kebangkitan kali ini tidak akan mudah dihancurkan.

Di pembuka abad ini, gerakan rakyat AL-gerakan tani, buruh, kaum miskin tak bepekerjaan, mahasiswa progressif-berhasil mewujudkan persatuan yang bermanfaat. Ini merupakan pelajaran berharga bagi gerakan progressif di seluruh dunia, ketika eksistensi, sektarianisme, dan kompromi yang merugikan, menjadi duri sandungan bagi pembangunan persatuan. Dari perjuangan sektoral dan lokal, gerilya bersenjata di gunung dan perkotaan, perjuangan keserikatburuhan dan hak-hak pengelolaan tanah, dari jalanan hingga gedung parlemen, semuanya semakin mengarah pada perjuangan untuk membangun dan mengkongkritkan model alternatif untuk menggantikan model kekuasaan neoliberal yang sudah bangkrut, menuju sosialisme abad 21.

Revolusi Bolivarian Venezuela sudah menyebarkan kilau bagi perubahan sejati di seluruh AL. Kemajuannya semakin mendiskreditkan model ‘alternatif’ yang ramah dan fleksibel terhadap neoliberalisme. Semakin nyata, kuat dan luas persatuan gerakan, akan semakin nyata, kuat dan luas pula program-program menuju perubahan sejati, sebuah dunia baru yang alternatif, yang tak hanya di AL, bahkan di seluruh dunia.

Kepentingan Rakyat Indonesia

Indonesia merupakan negeri yang luas dan kaya akan sumber daya alam. Sebagai sesama anggota OPEC pemerintah Indonesia dan Venezuela sudah memiliki hubungan sejak lama. Namun, ironisnya, Indonesia yang kaya sumber daya alam dan bahan mentah, saat ini merupakan salah satu negeri dengan tingkat kemiskinan lebih dari 40% dan ketergantungan impor yang sangat tinggi, termasuk pengimpor minyak bumi dan bahan makanan. Resep-resep ekonomi yang dijalankan pemerintah Indonesia, sejak Soeharto hingga kini, adalah resep ekonomi neoliberalisme Bank Dunia dan IMF, sehingga memperdalam kesengsaraan rakyat.

Keragaman budaya, tenaga kerja, dan kekayaan sumber daya alam seharusnya menjadi landasan bagi kemajuan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu rakyat Indonesia membutuhkan cermin jalan keluar atas persoalan kemiskinan dan ketergantungannya. Dan cermin dalam bentuk ekonomi, politik, sosial, dan budaya, yang alternatif, dapat diperoleh dari Amerika Latin.

Adanya blokade dan ketidakobjektifan informasi mengenai wacana/ pemikiran/paradigma alternatif di Amerika Latin, khususnya Venezuela, Kuba dan Bolivia, oleh media-media yang dominan di internasional sangat menghambat perluasan wacana alternatif di tanah air.

Oleh karena itu, sudah saatnya, para akademisi, aktivis-aktivis gerakan sosial, individu-individu yang resah terhadap situasi negeri ini, untuk belajar lebih keras sekaligus bertindak lebih maju dan berani, demi masa depan kemanusiaan nusantara tercinta.***

Catatan: Tulisan ini sekaligus menjadi position paper SERIAL.

Sumber:

1. Zely Ariane, Bangkitnya Sosialisme di Amerika Latin, Feature Koran Tempo dalam tiga edisi;
8, 9, dan 10 Juni, 2006;
2. Zely Ariane, Hugo Chávez Berhasil Melawan AS, Pikiran Rakyat, 26 Mei, 2006;
3. James Petras, Present situation in Latin America, 6Juni, 2003;
4. James Petras, U.S.’s ratings of Latin American regimes, 2 Juni, 2003;
5. James Petras, Imperialism and Resistance in Latin America, 6 November, 2003;
6. James Petras, Empire Building and Rule: U.S. and Latin America, 25 Juni, 2003;
7. Zely Ariane, Memerangi Kemiskinan ala Venezuela, Sinar Harapan, 8 Oktober, 2005;
8. Pidato Dr. Fidel Castro Ruz, Presiden Republik Kuba, di Aula Magna Universitas Havana 17 November, 2005;
9. Tabloid Pembebasan, Edisi VI tahun II Maret 2003;
10. http://www.globalissues.org/TradeRelated/Facts.asp;
11. http://news.bbc.co.uk/1/hi/talking_point/3055286.stm;
12. http://www.economist.com/media/pdf/LulaInterview.pdf;
13. www.prd-online.or.id ;
14. www.venezuelanalysis.com

Hugo Chavez Berhasil ”Melawan” Amerika Serikat

Zely Ariane

Versi asli dari artikel yang dimuat oleh Pikiran Rakyat Jumat, 26 Mei 2006
***

Banyak berita dan informasi mengenai Venezuela di bawah Hugo Chavez saat ini. Ada baiknya sedikit lebih dalam memahami mengapa ia didukung rakyatnya dan dimusuhi AS.

Kronik

Saat ini, hampir di setiap dinding kota Venezuela kita bisa melihat graffiti puji-pujian terhadap Simon Bolivar, Hugo Chavez Frias dan Revolusi Bolivarian.

Sejak Chavez terpilih tahun 1998, Venezuela memulai Revolusi Bolivarian melalui sebuah Konstitusi Republik Kelima yang diakui sebagai konstitusi terbaik di dunia setelah Magna Charta dalam melindungi hak-hak ekonomi, sosial, politik dan budaya rakyat miskin.

Tak kurang 3 juta barrel perhari yang dihasilkan PDVSA-Petroleos de Venezuela-dinasionalisasi oleh pemerintah sejak akhir 2001. Nasionalisasi inilah, yang kemudian, menyulut 'perang' terbuka melawan imperialisme Amerika Serikat. Inilah perang tanpa senjata pertama di abad 21 terhadap kebijakan neoliberalisme AS.

Perlu dicatat bahwa cadangan minyak mentah Venezuela adalah kelima terbesar di dunia dan eksportir minyak utama untuk AS. Kenyataan ini begitu penting dan besar pengaruhnya untuk bisa memahami Venezuela, karena praktis, kekayaan minyaklah yang membentuk setiap aspek kehidupan negeri itu: sejarahnya, ekonominya, politik, termasuk budayanya.

Sebelum Chavez berkuasa, 70% dari hampir 26 juta jiwa rakyatnya hidup miskin. Kebijakan neoliberalisme yang dijalankan pemerintah sejak 1970-an membuat kekayaan minyak dikuasai oleh pemodal-pemodal Chevron Corps; Royal Ducth Shell, Repsol dan Exxon. Akibatnya pendapatan minyak paling besar masuk ke pundi-pundi pemodal dan pejabat di sekeliling partai berkuasa COPEI-Kristen Demokrat-dan Action Democratica (AD).

Situasi ini antara lain menyebabkan pemberontakan menolak kenaikan harga Caracazo, 27 Februari 1989, dan pemberontakan militer progressif di bawah kepemimpinan Kolonel Hugo Chavez Frias (1992). Walau pemberontakan ini gagal, namun inilah awal kemenangan Chavez dalam merebut hati rakyat yang rindu perubahan.

Permusuhan AS-Venezuela

Amerika Serikat: tetangga 'tak ramah' bagi Venezuela. Sejak 1977 sekitar 50% perusahaan-perusahaan raksasa di Venezuela memiliki 'ikatan' dengan modal AS. Akibatnya sungguh penting bagi Amerika Serikat untuk memelihara negeri-negeri di Amerika Latin berada di jalur-jalur Washington Consencus.

Namun sejak pemerintah Hugo Chavez melancarkan perang terbuka terhadap kebijakan neoliberal, melalui berbagai skenario AS mendukung bahkan mensponsori peristiwa-peristiwa politik menjatuhkan Chavez, seperti, boikot produksi minyak 2001; kudeta April 2002 oleh oposisi yg tidak senang dengan kebijakan sosial Chavez dan kedekatannya dengan Kuba; referendum 'pemecatan Chavez' Agustus 2004; hingga belum lama ini seruan pembunuhan terhadap Chavez oleh seorang pendeta terkemuka di AS dan seruan membentuk front dunia anti Hugo Chavez.

Tiga peristiwa pertama tidak berhasil dimenangkan oleh kubu pro AS bahkan kecintaan rakyat pada Chavez dan Revolusi Bolivarian tak bertambah surut.

Revolusi Bolivarian untuk Kesejahteraan Rakyat

Kecintaan rakyat disebabkan oleh dua hal, yakni: dimulainya Demokrasi Partisipasi dan diakhirinya demokrasi Punto Fijo (puntofijismo)-kesepakatan pembagian kekuasaan antara AD dan Copei; serta penggunaan kekayaan negeri untuk kesejahteraan rakyat miskin (Endogeneous Developmen).

Dana Pembangunan Khusus PDVSA 90% diprioritaskan setiap tahun untuk proyek sosial seperti, agroindustri; transportasi; pembangunan dan pembangunan budaya; serta pengadaan listrik. Dalam anggaran 2006 ini, 41% (lebih besar 27% dari anggaran tahun 2005) dari total anggaran dialokasikan untuk program-program sosial. Empat puluh tujuh persen dari total anggaran tersebut berasal dari pemasukan minyak dan 53% dari pendapatan pajak perusahaan-perusahaan besar. UNICEF dan Inter American Development Bank (IADB) mengakui bahwa inilah program sosial yang terbesar dan paling komprehensif di Amerika Latin dan dunia.

Program sosial diterapkan secara simultan dan komprehensif. Misi-misi pendidikan dan kesehatan seperti Mission Robinson, Ribas, Sucre dan Barrio Adentro dilaksanakan bekerjasama dengan lebih dari 30.000 tenaga pengajar dan dokter dari Cuba-karena kaum oposisi memboikot pelaksanaan program ini. Misi Robinson berhasil membebaskan Venezuela dari buta huruf di tahun 2005 lalu (data UNICEF) dan meluluskan 900.000 orang yang drop out sekolah dasar di tahun 2004. Mission Ribas menyekolahkan orang-orang yang drop out SLTA, dan Sucre memberi beasiswa untuk orang miskin masuk ke Perguruan Tinggi. Secara simultan juga membangun 200 Universitas Simon Bolivar di kota-kota. Selama 102 tahun rakyat tak pernah membayangkan program-program sosial ini dapat dinikmati dengan gratis

Ada pula Mission Barrio Adentro yakni pengadaan pelayanan kesehatan gratis dengan pusat-pusat diagnosa dan pengobatan bagi penyakit kronis. Demikian pula mission Mercal-pengadaan dan distribusi makanan lebih murah dari harga pasar di perkampungan miskin, dan mission Vuelvan Caras-kredit tanpa bunga bagi petani. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga meredistribusi jutaan hektar tanah yang tak menganggur untuk lahan pertanian bagi rakyat tak bertanah, serta membangun Bank Perempuan (Banco La Mujer) yang memberikan kredit bagi komunitas kaum perempuan miskin untuk berproduksi.

Hingga jajak pendapan bulan lalu, 60% rakyat masih menghendaki Chavez memimpin. Walau, beberapa persoalan kemiskinan dan pengangguran masih tersisa, namun rancangan program pemerintah tampak sudah memberi basis solusi untuk itu. Seperti pepatah, tak semudah membalikkan telapak tangan.

Apakah hasil Revolusi Bolivarian tersebut tidak berhak membuat rakyat memuji-muji Pemerintahan Chavez dalam berbagai bentuk graffitinya?.***

Memerangi Kemiskinan ala Venezuela

Sinap Harapan, 8 Oktober 2005

Oleh
Zely Ariane

Ketika berada di Caracas, Venezuela, Agustus lalu, gagasan pemerintah negeri itu yang menarik perhatian saya adalah Revolusi Bolivarian, proyek utama pemerintah untuk keluar dari kemiskinan. Ketika membuka “World Festival of Student and Youth” ke-16 di Caracas 6-17 Agustus, Presiden Venezuela, Hugo Chavez Frias, menegaskan revolusi itu adalah proyek pembebasan dari imperialisme, meneruskan perjuangan yang dideklarasikan Simon Bolivar 200 tahun lalu dalam perang mengusir Spanyol dari Amerika Latin.

Carolus Wimmer, ketua komisi luar negeri Parlemen Venezuela menyatakan Revolusi Bolivarian adalah perjuangan pembebasan nasional melalui jalan damai, demokratik dan mandiri. Ini bukan proyek nasionalisme chauvinis yang disenandungkan elite politik semata-mata atas keutuhan sebuah negeri; atau perlindungan terhadap kepentingan ekonominya dari dominasi modal asing. Proyek inilah yang membawa Venezuela ke tahap distribusi kekayaan negeri untuk kesejahteraan rakyat.

Awal 70-an dan akhir 90-an Venezuela mengalami penurunan pendapatan perkapita dan peningkatan ketidaksetaraan paling tinggi di Amerika Latin. Angka kemiskinan mencapai 33% di tahun 1975 dan meningkat tajam 70% di akhir 1995, sementara penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat dari 15% menjadi 45%. Upah minimum merosot hingga 40% di tahun 1980 layaknya upah tahun 1950-an. Orang-orang yang bekerja di sektor ekonomi informal meningkat dari 34,5% di tahun 1985 menjadi 50% di tahun 1999, paralel dengan penurunan keanggotaan serikat buruh dari 26,4% di tahun 1988 menjadi 13,5% di tahun 1995.

Magna Charta

Sejak lima tahun terakhir usaha memberantas kemiskinan paling nyata terjadi di negeri ini setelah Hugo Chavez Frias, seorang nasionalis demokratik, memenangkan Pemilu 1998. Melalui referendum tahun 1999 pemerintah memperbaharui konstitusi Venezuela hingga diakui sebagai salah satu konstitusi paling baik-melebihi Magna Charta-dalam melindungi hak-hak sosial politik mayoritas rakyat yang miskin.

Minyak sebagai pemasukan utama, menjadi sumber pembiayaan program-program memberantas kemiskinan. Venezuela eksporter minyak kelima terbesar di dunia dan menjadi eksporter minyak keempat utama bagi Amerika Serikat dengan mengirimkan 1,52 juta barel/hari. Dimasa pemerintahan Carlos Andres Perez-sebelum Chavez, khususnya di awal tahun 1970-an, bersamaan dengan oil boom, pemerintah menasionalisasi PDVSA-Petroleos de Venezuela.

Namun, peningkatan pendapatan minyak hanya dinikmati segelintir elite dan kroni di sekitar elite kekuasaan. Kondisi ini semakin parah setelah kejatuhan harga minyak pertengahan 1980-an hingga menyebabkan penurunan pendapatan.

Tahun 2001 Hugo Chavez me-renasionalisasi PDVSA karena dianggap mengabaikan tanggung jawab sosial terhadap mayoritas rakyat, tak terkontrol dan bagaikan negara dalam negara. Aturan diperketat bagi perusahaan-perusahaan transnasional yang beroperasi di Venezuela.

Hasil dari perubahan fundamental kebijakan ekonomi ini meningkatkan pertumbuhan hingga 17% akhir 2004-yang tak pernah terjadi sebelumnya. Dana Pembangunan Khusus PDVSA diprioritaskan setiap tahun untuk proyek sosial non-minyak serta pertanian.

Di tahun 2004, 6% pendapatan minyak dialokasikan untuk agroindustri, 21% transportasi, 33% pembangunan jalan, 6% program pembangunan kerakyatan-yang disebut Indigenous Development Program, dan 25% untuk pengadaan listrik.

Pembangunan Sosial

Program pembangunan sosial yang dikenal sebagai missions diterapkan secara simultan dan komprehensif. Mission pendidikan seperti Robinson I dan II memberantas buta huruf - tahun lalu meluluskan 1.230.000 orang, dan berlanjut dengan penuntasan sekolah dasar-meluluskan 900.000 pada tahun yang sama. Lalu mission Ribas yakni penuntasan sekolah lanjutan atas, mission Sucre untuk melanjutkan ke Universitas Bolivarian. Semua ini gratis.

Ada pula mission kesehatan Barrio Adentro I dan II yakni pengadaan pelayanan kesehatan gratis dengan pusat-pusat diagnosa dan pengobatan bagi penyakit kronis. Demikian pula mission Mercal-pengadaan dan distribusi makanan murah di perkampungan miskin, mission Vuelvan Caras-kredit tanpa bunga bagi petani, sampai pembentukan Bank Pembangunan Perempuan yang memberikan kredit bagi komunitas perempuan untuk berproduksi.

Saya melihat bagaimana antusiasme para peserta Misi Ribas yang mayoritas orang tua dan ibu rumah tangga dalam proses belajar. Belajar dengan menggunakan televisi 21 inch dan VHS didampingi seorang fasilitator yang pada umumnya mahasiswa. Pada awalnya fasilitator tidak digaji sama sekali, namun saat ini diberikan insentif 175.000 Bolivar atau Rp 800.000/bulan.

Tampaknya kunci keberhasilan pemerataan kekayaan negeri ini untuk kesejahteraan rakyat terletak pada karakter pemerintah yang berkuasa. Sebuah proyek revolusi pembebasan nasional berfungsi memblokade dominasi modal internasional yang kuat dan anarkis agar tak menghancurkan sendi-sendi ekonomi rakyat. Negara juga berfungsi sebagai pelindung sosial bagi rakyat.

Pemerintah Hugo Chavez meneruskan proyek perlindungan ini lewat kontrol maksimal negeri atas sumber-sumber ekonomi yang penting bagi kemaslahatan umat walaupun di bawah tekanan keras dari Amerika Serikat.

Indonesia, sebagai salah satu negeri yang juga memiliki kekayaan alam yang berlimpah, seharusnya mulai mengkaji model-model pembangunan baru seperti ini.