13/02/2007

Nasionalisasi Sumber Daya Alam Indonesia; Kapan?

Oleh: Antonius Priyani Widjaya*

KETIKA peringatan hari bumi baru saja berlalu, Bolivia mengumumkan langkah kebijakannya untuk menasionalisasikan sumber daya alamnya (sektor migas). Kebijakan pemerintahan Evo Morales ini bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, nasionalisasi ini bertujuan untuk menjadikan negara Bolivia sebagai "majikan" dari kekayaan sumber daya alamnya dan memaksa (memangkas keserakahan) seluruh perusahaan asing yang menghisap minyak dan gas mereka.

Kebijakan presiden Morales ini menjadi sebuah langkah kontroversi bagi dunia internasional yang didominasi negara-negara barat yang menganut paham ekonomi kapitalis. Aturan ini dianggap "perlawanan" dan "kiri" dalam arus globalisasi hari ini, langkah ini disebut sebagai langkah mundur dalam mainstream skema politik ekonomi internasional yang memiliki corak produksi individualis.

Perusahaan transnasional dan multinasional yang hampir seluruhnya berasal dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa dibuat kalang kabut untuk melakukan negoisasi ulang dengan perusahaan minyak nasional Bolivia (YPFB) tentang peran serta mereka sebagai "mitra" pemerintah Bolivia dalam melakukan eksploitasi sumber minyak dan gas. Bayangkan, renegosiasi untuk menyepakati YPFB yang akan menjadi pemegang saham mayoritas dalam perusahaan-perusahaan energi asing yang beroperasi dinegara itu hanya dilakukan dalam waktu 180 hari saja.

Kebijakan berani dan cerdas bangsa Bolivia ini memberikan pelajaran kepada kita tentang arti sebenarnya dari keberpihakan penguasa kepada rakyat, tentang arti sebenarnya dari tugas negara mengelola kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat, kebijakan ini (secara langsung dan tidak langsung) menaikan posisi tawar pemerintahan Bolivia.

Adalah sebuah kepantasan yang hakiki, bila seluruh kekayaan alam dikelola oleh negara untuk kemakmuran seluruh rakyatnya. Adalah hak dasar seluruh rakyat didalam suatu negara untuk sejahtera, bangkit dan berdaya melalui potensi kekayaan sumber daya alamnya. Adalah tidak melanggar secuil kesepakatan pun di atas bumi ini bila pemerintahan sebuah negara mensejahterakan rakyatnya dari hasil kekayaan sumber daya alam yang syah dimilikinya (berada dalam wilayah negaranya) dan tidak ada larangan sedikitpun bila negara mencerdaskan rakyatnya bukan dari utang luar negeri, dan pemerintah Bolivia secara konkrit melakukannya.


Bagaimana dengan Indonesia ?

Tidak berbeda nasibnya dengan negara-negara Amerika Latin, Sejak jaman kolonial klasik kekayaan alam bangsa ini telah dihisap pihak asing. Sejarah penjajahan bangsa ini menjelaskan kepada kita tentang monopoli dagang hasil bumi Indonesia oleh Serikat Dagang Hindia Belanda. Pengangkangan kekayaan alam nusantara ini kemudian dilakukan dengan kekuatan senjata. Dengan letak geografis yang strategis, Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa dan memiliki jumlah penduduk terbesar ke 4 di dunia, menjadikan bangsa ini target utama kaum imperialisme.

Sejarah Indonesia yang fondasinya dibangun oleh kolonialisme Hindia Belanda menyebabkan tatanan rumit yang membuat keengganan untuk membongkar sistem pembangunan bentukan kolonialis menjadi suatu sistem pembangunan yang lebih mandiri (ketimbang bergantung pada inisiatif negara-negara imperialis). Sejak jaman revolusi sampai hari inipun sejarah mencatat, bahwa rezim berkuasa merupakan kepanjangan tangan kaum imperialis untuk memantapkan kondisi "rust en orde" demi kenyamanan bercokolnya imperialisme di bumi Indonesia.

Fakta ini dapat dilihat di dalam Manifesto Politik Muh. Hatta (Wapres RI pertama) pada tanggal 1 Nopember 1945, berbunyi: "Kita mengetahui, bahwa kedudukan negeri kita meletakkan suatu tanggung-jawab yang besar di bahu kita terhadap keluarga dunia, kita tidak membenci bangsa asing, juga tidak benci kepada bangsa Belanda........ Malahan kita mengetahui dan mengerti benar, bahwa untuk keperluan negeri dan bangsa kita di dalam beberapa tahun yang akan datang ini, kita akan memerlukan pertolongan bangsa asing di dalam pembangunan negeri kita berupa kaum teknik dan kaum terpelajar, pun juga kapital asing."

"Didalam memenuhi keperluan itu kita tidak akan menghindarkan kenyataan bahwa orang yang berbahasa Belanda, mungkin akan lebih banyak dipergunakan karena mereka telah ada disini dan lebih biasa akan keadaan disini. Sehingga pelaksanaan kemerdekaan kita itu belum perlu berarti kerugian besar untuk pihak Belanda, jika diukur dengan mata uang atau jiwa, akan tetapi tentu sekali berarti perubahan yang sebesar-besarnya di dalam kedudukan politiknya."

"Kita yakin, bahwa tanah kita yang kaya-raya ini jika diusahakan dengan sesungguhnya untuk meninggikan derajat penghidupan bangsa kita serta dunia umumnya akan masih banyak benar memberi ruangan untuk tenaga dari seluruh dunia, terutama dari Amerika-Serikat, Australia dan Filipina untuk turut dalam pembangunan negara dan bangsa kita."

"....... Dengan pengakuan kemerdekaan kita, kita akan menanggung segala yang patut kita tanggung menurut kedudukan kita, segala hutang Hindia Belanda sebelum penyerahan Jepang dan patut menjadi tanggungan kita, kita akui sebagai hutang kita. Segala milik bangsa asing dikembalikan kepada yang berhak serta yang diambil oleh negara akan dibayar kerugiannya dengan seadil-adilnya......."

(Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, hal.: 149-150.)

Tentu saja contoh serupa dapat kita temui dalam perjalanan Indonesia pasca kolonialisme Hindia Belanda. Apalagi ketika negeri-negeri imperialis melahirkan lembaga-lembaga seperti World Bank, International Monetary Funds (IMF) hingga World Trade Organisation (WTO) itu semua semakin menggamangkan keinginan untuk menghindar dari kekuasaan imperialisme. Sekarang Imperialisme ditampilkan dengan selubung globalisasi. Seolah-olah globalisasi menjadi sebuah keharusan sejarah.

Pelajaran penting dari sejarah pengelolaan sumber daya alam di negeri ini adalah rakyat tidak berdaya untuk mengakses sumber daya alam, posisi rakyat adalah penonton dan kuli dari penjarahan kekayaan alam di wilayah kelola masing-masing, dan lainnya adalah eksploitasi yang berlebihan dan praktek korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam.

Pelajaran penting dari banyak negara lain tidak menarik bagi para pemimpin kita, karena tidak ada kemauan (dan keberanian) untuk membangun negeri ini dengan mandiri, bebas dari relasi produksi kapitalistik. Membebaskan negeri ini dari penindasan dan penghisapan tidak dapat kita harapkan dari para wakil dan pemimpin, dan hari ini menjadi tugas kita sebagai rakyat untuk menyadarkan sesama sebagai rakyat untuk kritis dan menuntut negara melakukan kewajibannya mensejahterakan kita yang sementara ini masih sebagai rakyatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.**



*) Penulis adalah Aktivis Institut Dayakologi-Pontianak

No comments: