26/02/2013

Mengenal dan Belajar dari Nasionalisasi Industri di Venezuela

Sekilas tentang  Venezuela dan PDVSA
 
Venezuela adalah negeri di Amerika Latin dengan penduduk berjumlah 27,7 juta orang dan semenjak tahun 1920an perekonomian Venezuela bergantung pada minyak. Pada tahun 2007 tercatat 90% pendapatan ekspor berasal dari minyak, minyak mencakup 50% pendapatan masyarakat, dan 30% produk domestik bruto.

Hampir selama tiga dekade sampai tahun 1970, Venezuela adalah pengekspor minyak terbesar di dunia. Pada tahun 2012,Venezuela menjadi negara peringkat dua di dunia yang memiliki persediaan minyak terbesar setelah Arab Saudi. Tercatat, Venezuela memiliki persediaan minyak sebesar 211,2 miliar barel atau 14,35% proporsi konsumsi minyak mentah dunia.  Venezuela telah menjadi negara produsi minyak terbesar di Amerika Selatan dengan produksi harian sebesar 2,38 juta barel. Sebagian besar minyak Venezuela diekspor ke Amerika Serikat dan Brazil.


Sebelum nasionalisasi migas di Venezuela, selama puluhan tahun hanya sedikit penduduk yang merasakan keuntungan dari minyak. Hal ini dikarenakan, pengelolaan minyak diserahkan oleh kapitalis besar. Minyak di Venezuela dikuasai oleh kapitalis besar, seperti Exxon Mobile yang menadi simbol kapitalis Amerika Serikat. Karena prinsip kapitalisme adalah (1) Kepemilikan pribadi; (2) eksploitasi buruh; (3) profit, maka jangan harap pengelolaan migas diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat.

Semenjak Chaves memenangkan pemilu pada 6 Desember 1998 dengan meraih 56% suara, kebijakan negara terkait pengelolaan kekayaan alam, termasuk migas berubah.  Dalam prosesnya, hal ini tak lepas dari peran serta buruh dan rakyat keseluruhan yang diwadahi dalam revolusi Bolivarian. Chaves menyusun konsitusi Bolivarian yang baru dan membentuk dewan konstituante.  Pada bulan November 2001,  Chavez memperkenalkan 49 keputusan hukum, yang salah satunya adalah menasionalisasi industri dalam negeri, terutama migas. Hal ini tentu saja mengancam kapitalis besar di Venezuela dan elit-elit politik yang diuntungkan olehnya. Namun proses nasionalisasi harus diajalankan. Pada tgl 25 Februari 2002, Chaves membentuk jajaran direktur minyak PDVSA yang baru dalam kerangka mengambil alih kontrol atas perusahaan itu dari tangan elit lama yang memiliki kepentingan lebih dekat pada pemodal asing.  Tentu saja kebijakan tersebut mendapatkan perlawanan dari jajaran eksekutif PDVSA yang tak mau digantikan. Para elit lama ini menyerukan pemogokan untuk mendukung posisi mereka agar tidak digantikan. Mereka didukung oleh stasiun televisi terbesar di Venezuela bahkan mendukung kekuasaan lama. 11 April – 12 April 2002 kudeta dilancarkan namun pada 13 April 2002 rakyat yang mendukung Chaves turun ke jalan dan mengembalikan Chaves sebagai presiden Venezuela. Kudeta gagal.

Setelah kegagalan kudeta tersebut, pihak oposisi tetap diberi ruang oleh pemerintahan Chavez dalam perkancahan politik. Namun, pertempuran belumlah usai. Pihak oposisi, pada bulan Desember 2002 sampai Februari 2003 menyerukan pemogokan dan ‘lock out’ terutama di industri minyak dengan tuntutan Chavez mundur. Namun, serangan para bos tersebut dijawab dengan mobilisasi besar-besaran, dan tetap bekerjanya sebagian besar buruh industri migas, serta tetap berjalannya transportasi umum. Semua tetap beroperasi dengan dukungan buruh, rakyat dan tentara yang berpihak pada Chavez. Setelah upaya sabotase oleh kapitalis besar yang berhasil digagalkan oleh kekuatan rakyat, akhirnya industri minyak berhasil diambil alih. Proses nasionalisasi pun segera dilanjutkan.

Sebelum mengeluarkan kebijakan nasionalisasi, Chaves sempat memerintahkan supaya dilakukan penyelidikan atas penyimpangan pengelolaan migas. Hasil penyelidikan memaparkan fakta bahwa pengelolaan migas sangat merugikan negara dan hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional. Kerugian tersebut diantaranya (1) Lepasnya kontrol negara atas migas; (2) Hilangnya peran negara dalam menetapkan harga, dan penilaian atas royalti serta pajak pendapatan; (3) Hilangnya potensi pemasukan bagi negara dengan adanya privatisasi. Contohnya, akuisisi terhadap sejumlah sistem penyulingan minyak internasional, khususnya di Citgo, Amerika Serikat ; (4) Adanya manipulasi izin operasional perusahaan-perusahaan jasa perminyakan; (5) Penyimpangan pelaksanaan outsourcing, yang semula untuk pengelolaan ladang minyak yang kurang produktif ternyata diperluas ke ladang-ladang yang masih aktif. Pada tahun 2003, jasa yang mesti dibayarkan pada perusahaan-perusahaan kontraktor ini rata – rata mencapai $18,7 AS per barrel atau 52% dari harga jual minyak Venezuela masa itu. Padahal bila melakukan sendiri, PDVSA hanya perlu mengeluarkan biaya sebesar $4 AS per barrel.;(6) Kerja sama yang tidak adil. Hal ini tampak dari kepemilikan saham PDVSA yang minoritas, royalti yang semestinya diterima negara ditekan dari 16,3% menjadi hanya 1%. Selain itu, pajak pendapatannya sama dengan pajak non minya, yaitu hanya sebesar 34%; (7) Sabotase dokumen-dokumen perjanjian kerja sama. Dua buah proyek dalam perjanjian kerja sama yang ditandatangani tahun 1993 adalah Sincor dan Petrozuata. Dalam proyek Sincor semestinya produksi yang diizinkan hanya 114.000 barrel per hari, tetapi kenyataannya 210.000-250.000 barrel per hari. Selain itu, luas wilayah eksploitasi yang semestinya hanya 250 kilometer persegi dengan jumlah cadangan minyak sebesar 1,5 miliar barrel telah diperluas secara ilegal menjadi 324 kilometer persegi dengan jumlah cadangan sebesar 2,5 miliar barrel. Ini pun dengan rencana lanjutan untuk memperluasnya lagi dengan tambahan wilayah eksploitasi 170 kilometer persegi.

Dari kerugian yang dialami oleh negara Venezuela tersebut, rakyat Venezuela lah yang paling dirugikan karena tak satupun rakyat Venezuela menikmati hasil dari pengelolaan minyak tersebut. Produksi minyak yang secara anarkis dilakukan para pengusaha besar itu sama sekali tidak diperuntukkan bagi kebutuhan masyarakat, tapi untuk kebutuhan mengakumulasi keuntungan dan modalnya. Selain itu, eksploitasi minyak yang mereka lakukan benar-benar telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang memperparah efek rumah kaca. Sementara, rakyat Venezuela yang adalah mayoritas justru harus membayar mahal untuk memenuhi kebutuhannya atas minyak.

Mengenal Nasionalisasi Industri di Venezuela 

Kebijakan nasionalisasi di Venezuela adalah untuk melawan kapitalis besar yang selama puluhan tahun mengeruk kekayaan alam Venezuela. Perlawanan terhadap kapitalisme berbasiskan pada tiga hal menuju sosialisme yaitu (1) Kepemilikan sosial; (2) Produksi sosial yang diorganisir oleh buruh dan (3) Produksi berdasarkan kebutuhan masyarakat.

Sementara, konsep nasionalisasi di Venezuela adalah (1) Renegosiasi; (2) Dilaksanakan di bawah kontrol rakyat; (3) Dimanfaatkan untuk peningkatan tenaga produktif rakyat.

(1)    Renegosiasi

Renegosiasi adalah proses negosiasi kembali yang menguntungkan negara ataupun asing. Dalam hal ini, porsi kepemilikan negara menjadi lebih besar, yaitu 60% dan keuntungan dari proyek – proyek migas di bawah PDVSA dan Orronico Belt Project akan dikembalikan ke Venezuela serta membayar kompensasi kepada perusahaan- perusahaan yang dinasionalisasi. Sebelumnya, seperti Orronico Belt Project sendiri adalah sebuah proyek yang bertujuan membangun salah satu cadangan minyak terbesar dunia yang sebelumnya dikontrol oleh enam perusahaan asing yaitu ConocoPhilips, Chevron dan Exxonmobil dari Amerika Serikat, bekerjasama dengan BP dari Inggris, Statoil dari Norwegia dan Total dari Prancis. Tak heran bila kemudian para kapitalis besar ini menentang keras nasionalisasi tersebut.

Konsep renegosiasi dengan pembayaran kompensasi ini dilakukan bukan dengan harga pasar tapi sesuai dengan yang ditentukan pemerintah. Para kapitalis besar tidak tinggal diam, Exxon mobil misalnya langsung menggugat pemerintah Venezuela supaya membayarkan ganti rugi atas nasionalisasi tersebut.

Exxon mobil mendaftarkan dua tuntutan atas nasionalisasi PDVSA ke arbitrase internasional dan dinyatakan kalah. Keputusan pertama adalah di tahun 2008 ketika Royal Court of Justice di London memenangkan Venezuela atas penawaran kompensasinya. Demikian halnya pada 4 Januari 2012 ketika ICC (International Chamber of Commerce), sebuah institusi utama yang mengatasi pertikaian bisnis lintas batas,  yang memutuskan bahwa PDVSA hanya membayar kompensasi sebesar US$907.588.000 sesuai yang ditawarkan oleh pemerintah Venezeula. Jumlah ini lebih ringan dari yang dituntut oleh Exxonmobil karena Exxon mobil menuntut ganti rugi sebesar 12 miliar dolar AS.

Metode nasionalisasi dengan renegosiasi bertujuan untuk menghindari hukuman legal karena tidak mematuhi perjanjian investasi bilateral yang telah ditandatangani oleh Venezuela. Hukum internasional memungkinkan Negara untuk menasionalisasi perusahaan asal mereka memberikan kompensasi  kepada pemilik perusahaan. Venezuela bisa saja melakukan cara yang lebih radikal jika mencabut tanda tangannya dari perjanjian investasi bilateral, meninggalkan ICSID (Pusat Perjanjian Persoalan Investasi Internasional, Pengadilan Bank Dunia tentang Investasi, dll), dan mengamankan likuiditasnya dan aset lain untuk menghindari penyitaan. Namun, hal ini akan lebih meningkatkan permusuhan dalam negara yang sedang mengembangkan industri dan permusuhan dengan TNC di dalam negeri (semua perusahaan transnasional yang ada di Venezuela sekarang adalah General Motors,mitsubishi Daimler – Chrysler,dll)

Metode renegosiasi dengan pembayaran kompensasi ini bukan tanpa pro dan kontra. Beberapa pihak tentu saja masih mengkuatirkan langkah ini tidak akan bisa menghalau kapitalis raksasa untuk menguasai sumber daya alam Venezuela. Namun, terlepas dari itu semua, apa yang kini sedang dijalankan oleh Venezuela tetap layak dijadikan referensi bagi gerakan rakyat di belahan dunia untuk juga merumuskan strategi nasionalisasi di negerinya masing – masing.

Rapat Buruh
Rapat Akbar Buruh Untuk Membahas Proses Produksi di Pabrik

(2)    Pelaksanaan nasionalisasi di bawah kontrol buruh dan rakyat
Kekuatan dari sebuah revolusi adalah di tangan rakyat yang menjadi tenaga revolusi itu sendiri. Karena itu, dalam proses nasionalisasi hendaknya rakyat dan buruh menjadi bagian di dalamnya. Nasionalisasi di Venezuela pun menghendaki hal yang demikian. Dari semenjak awal kebijakan nasionalisasi diterapkan, buruh terutama sebagai penggerak industri migas memainkan peranan penting.

Ketika para eksekutif industri migas, terutama PDVSA menyerukan mogok untuk menentang nasionalisasi pada tahun 2002, para buruh tetap berupaya menjalankan roda industri, menghidupkan instalasi – instalasi minyak. Sebelumnya, karena para bos terbiasa meninggalkan pabrik untuk berlibur, para buruh terbiasa menjalankan pekerjaan pabriknya sendiri. Penggagalan sabotase para bos adalah wujud dari kekompakan dan militansi para buruh yang mendukung nasionalisasi. Apa yang dikerjakan oleh buruh PDVSA ini merupakan awal mula perjuangan untuk kontrol dan manajemen buruh.

Setelah lock out yang dilakukan oleh para bos berakhir, kontrol buruh berhenti di PDVSA. Namun karena memahami pentingnya kontrol buruh, kaum buruh PDVSA mengadakan sejumlah diskusi mengenai isu kontrol buruh. Hasil dari pertemuan ini adalah rancangan proposal supaya co – manajemen (manajemen bersama) di PDVSA segera disahkan,  dan beberapa tuntutan dalam aksi mereka pada tahun 2006 sebagai berikut:
  • bahwa manajemen bersama harus meliputi seluruh aspek dari ekstraksi, distribusi, produksi dan penyimpanan minyak, termasuk kontrol harga atas pembelian dan penjualan
  • bahwa semua pembukuan harus terbuka bagi seluruh wakil-wakil di semua level yang telah dipilih oleh buruh
  • bahwa manajemen bersama harus dijalankan oleh seluruh buruh lewat wakil-wakil mereka di tiap-tiap perusahaan dan pabrik, dan mereka tidak akan berhenti bekerja dan diberi kesempatan untuk tugas-tugas manajemen
  • setiap orang bertanggung jawab kepada dewan buruh, dan harus ketat menjaga tata tertib dan kedisiplinan dan juga mengamankan barang-barang
  • laporan harus dibuat untuk dewan buruh secara berkala
  • seluruh wakil harus tunduk pada ketentuan recall
Kehendak untuk melakukan nasionalisasi aset di bawah kontrol buruh menjadi kehendak bersama kaum buruh. pada Tgl 16 – 18 Juni 2006, diadakan pertemuan yang melibatkan buruh INVEVAL (Perusahaan listrik negara), ALCASA (Pabrik alumunium negara), dan PDVSA (Pabrik minyak negara) dan beberapa perusahaan lainnya. Hasil dari pertemuan tersebut adalah:
  1. Membangun Front Nasional Untuk Mempertahankan Co-Manajemen Revolusioner, perkembangan sosialis dari dalam … di tingkat lokal dan negara.
  2. Mengkarakterisasikan manajemen bersama kita sebagai gerakan yang akan mempengaruhi relasi-relasi kapitalis dan bergerak menuju kontrol buruh, kekuasaan dewan-dewan rakyat dan konstruksi negara sosialis.
  3. Front Nasional mengusulkan co-manajemen tenaga kerja, sosial, dan militer.
  4. proposal-proposal untuk co-management revolusioner harus juga mengikutsertakan proposal bahwa perusahaan-perusahaan mesti menjadi milik Negara, tanpa ada pembagian saham dengan buruh, dan bahwa semua keuntungan akan dibagikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat melalui dewan-dewan perencanaan sosialis. Dewan-dewan perencanaan sosialis ini harus dipahami sebagai badan yang melaksanakan keputusan yang diambil oleh rakyat di dalam majelis-majelis.
  5. Memperjuangkan, mempromosikan dan mensistematisasikan pendidikan sosial dan politik dan ideologi sosialis guna memperdalam Revolusi Bolivarian dengan membentuk posko-posko lokal, regional dan nasional dengan tujuan membangun Jaringan Nasional Pendidikan Sosial Politik Revolusioner.
  6. Membangun solidaritas dan menyebarkan revolusi ke seluruh Amerika Latin dan dunia.
  7. Merangkul kelas-jelas yang tersingkirkan, tereskploitasi, dan tertindas sebagai kelas sekutu dalam perjuangan untuk membangun sosialisme di abad ke-21.
Kehendak mereka supaya pabrik berada di bawah kontrol buruh bertentangan dengan kehendak manajemen. Menurut pihak manajemen, tidak boleh terdapat kontrol buruh di dalam industri-industri yang strategis. Padahal ketika terjadi lock out pabrik oleh pengusaha, pabrik bisa dijalankan oleh kaum buruh. Hal yang ditakutkan oleh manajemen adalah bahwa bila manajemen perusahaan diserahkan di bawah kontrol buruh sepenuhnya melalui koperasi buruh maka sekitar 60% -70% perekonomian akan dipegang oleh koperasi buruh dan bukan oleh negara. Hal ini sebenarnya bisa diatasi bila pengelolaan industri dilakukan secara terpusat secara demokratis, artinya manajemen pengelolaan sebuah industri menjadi bagian perencanaan ekonomi negara. Karena keuntungan industri strategis ini sebaiknya adalah untuk seluruh rakyat, bukan hanya untuk buruh.

Perjuangan untuk diterapkannya kontrol buruh atas industri strategis terus berlangsung. Pada tahun 2005, perusahaan INVEPAL (Pabrik Kertas) yang bangkrut dinasionalisasi dan dijalankan oleh buruh. pemerintah Chavez mengambil alih perusahaan ini dengan suntikan dana sebesar 7 juta dolar AS dengan kepemilikan buruh 51% dan pemerintah sebesar 49%.  Peningkatan hasil produksi akan digunakan buruh untuk membeli saham pemerintah dan hanya menyisakan 1% saja untuk negara. Hal ini menimbulkan kontroversi di kalangan buruh dan aktivis sosialis karena dianggap tiada beda dengan kepemilikan kapitalis. Oleh sebab itulah FRETECO (Front Revolusioner Pekerja Pabrik-Pabrik di Bawah Kendali Buruh) menuntut pengambilalihan penuh oleh pemerintah.

Dalam kerangka mewujudkan kontrol buruh, dibentuk Dewan Buruh yang terdiri dari Majelis Umum Pekerja di pabrik dan Komisi Permanen yang dipilih untuk posisi seperti Keuangan, Formasi Politik dan Sosial, Komisi Tekhnik, Administrasi dan Disiplin, Keamanan dan Kontrol serta Pelayanan. Setiap orang yang dipilih bisa dipecat melalui sidang Majelis Umum Dewan Buruh. Mereka juga merotasi  berbagai jenis pekerjaan, melaksanakan diskusi politik dalam dewan buruh, pendidikan pengembangan kolektif dan pelatihan-pelatihan tekhnik.

Contoh lainnya adalah pabrik CNV yang kemudian dinasionalisasi pada bulan Mei dan berganti nama menjadi INVEVAL. Hambatan datang dari Pemerintah sendiri yaitu Kementerian Ekonomi Rakyat yang menemukan bahwa proposal AD/ART perusahaan tidak menyebutkan partisipasi buruh. Berawal dari situasi itulah, buruh kemudian melakukan aksi massa menuntut kontrol buruh terhadap perusahaan.
Contoh perjuangan buruh dalam menuntut kontrol buruh juga bisa ditmukan di ALCASA (Perusahaan alumunium Venezuela). Edgar Caldera memaparkan bahwa co – manajemen atau model manajemen bersama ini bukanlah alat untuk mendalami mode produksi kapitalis yang menghisap, dimana manusia menghisap manusia. Namun sebaliknya, mesti ditransformasi menjadi mode hubungan sosial yang didasarkan pada prinsip kerja sama, kesetaraan, keadilan, tanggung jawab dan kesejahteraan bersama bagi buruh dan masyarakat secara umum.

Pabrik Aluminium ALCASA bisnis kapitalis yang berdiri sejak tahun 1967 ini mulai melaksanakan praktek manajemen buruh di tahun 2005. Proses ini ditandai dengan pendirian majelis buruh terbuka, pendiskusian 18 poin proposal untuk meluncurkan kembali pabrik serta proses pemilihan manajemen baru melalui pemilihan tertutup. Dari 2700 pekerja di ALCASA, 95% berpartisipasi dalam pemilihan tersebut. Kaum buruh juga memilih 36 juru bicara dan manajemen untuk membuat keputusan. Proses manajemen ini sudah berjalan tiga tahap dan berhasil meningkatkan produksi sekaligus memperbaiki kondisi kerja.

Tahap kedua difokuskan pada pengembangan manajemen dan strategi baru perusahaan. Di tahap ketiga, diskusi dan perdebatan terjadi menyangkut persoalan-persoalan semacam: memanusiawikan tenaga kerja, termasuk pengurangan hari kerja, demokratisasi pengetahuan untuk mengurangi pembagian kerja sosial di dalam pabrik serta desentralisasi keputusan melalui pembangunan dewan-dewan buruh. Untuk itu, mereka membangun pusat pelatihan sosial politik, sehingga kaum buruh dapat terlibat dalam proses yang ada.
Dari realita di atas, kontrol buruh atas industri strategis membutuhkan perjuangan yang luar biasa dari kaum buruh, termasuk dalam hal konsep kontrol buruh itu sendiri. Pernyataan Chavez bahwa nasionalisasi aset industri dengan metode renegosiasi memuat pula kontrol buruh melalui dewan buruh, atau pembentukan co – manajemen di dalam lapangan tidak serta merta terlaksana. Hal itu tetap membutuhkan perjuangan dari kaum buruh itu sendiri, didukung oleh masyarakat. Karena kontrol buruh atas industri strategis tidak lepas dari untuk kepentingan atau kesejahteraan seluruh rakyat.

Aksi Buruh Perusahaan Migas Negara (PDVSA) Menegaskan Kontrol Buruh untuk Kesejahteraan Rakyat
Aksi Buruh Perusahaan Migas Negara (PDVSA) Menegaskan Kontrol Buruh untuk Kesejahteraan Rakyat

(3)    Pemanfaatan nasionalisasi industri untuk peningkatan tenaga produktif rakyat
Dari proses nasionalisasi PDVSA di akhir 2001, pemerintah Chavez mengalokasikan 50% dari keuntungan PDVSA untuk program sosial yang bisa meningkatkan tenaga produktif rakyat. Pemerintah juga mendirikan Fonden (Fund for Economic Development atau Dana untuk Pembangunan Ekonomi) yang akan mengalirkan dana dari hasil surplus cadangan mata uang asing akibat peningkatan harga minyak, untuk alih tekhnologi dan penelitian ilmiah.

Pasca kekalahan kaum oposisi oligarki industri migas di Venezuela, sejak tahun 2003 telah diluncurkan berbagai program sosial untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Program sosial yang terpenting adalah kesehatan melalui Mission Barrio Adentro dan pendidikan melalui Missions Robinson, Ribas dan Sucre. Beberapa program sosial tersebut mendapatkan kontribusi dari pemerintah Kuba.

Pada awal Oktober 2004, pemerintah Venezuela melancarkan program literasi bagi orang dewasa untuk membrantas buta huruf yang dikenal dengan Misi Robinson I yang telah mengajar sebanyak 1,314,788 penduduk Venezuela untuk bisa membaca dan menulis. Setahun kemudian, pada 28 Oktober 2005, pemerintah mendapatkan sertifikasi dari UNESCO sebagai “wilayah bebas buta huruf”. Memang, jumlah angka buta huruf di Venezuela menurun menjadi 7%, dibandingkan dengan negeri Amerika Latin lainnya yang mencapai 11%. Program pembrantasan buta huruf ini hingga sekarang masih terus berjalan.

Dari sini, jelas bahwa sektor industri strategis apabila dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat akan efektif. Namun, ketergantungan Venezuela terhadap industri migas dalam pemenuhan program sosial ini tak lepas dari kritik. Beberapa pihak memberikan masukan bahwa hendaknya Venezuela mulai memikirkan sumber pemasukan selain industri migas.

Kini, Venezuela masih dibayangi dengan sakitnya Chavez yang kini sedang menjalani perawatan intensif di Kuba. Sementara kaum oposisi mulai menguat meski belum signifikan. Dibutuhkan lebih banyak lagi demokrasi dan partisipasi buruh dan rakyat untuk mempertahankan dan melanjutkan revolusi Bolivarian di Venezuela.

Referensi
Bruce Iain, 2008. The Real Venezuela, Making Socialism in the 21st Century. London: Pluto Press
Zely Ariane, 2008. Nasionalisasi di Bawah Kontrol Rakyat. Amerika.latin.blogspot.com. http://amerikalatin.blogspot.com/2012/08/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html.
Belajar Dari Nasionalisasi Migas di Venezuela. Agussutondomediacenter.blogspot.com http://agussutondomediacenter.blogspot.com/2010/12/belajar-dari-nasionalisasi-migas.html
Rob Lyon, 2006. Kontrol Buruh dan Nasionalisasi – Bagian IV.www.militanindonesia.org. http://www.militanindonesia.org/teori/kontrol-buruh/7866-kontrol-buruh-dan-nasionalisasi-bagian-empat.html
Alan Wood, 2007. Nasionalisasi di Venezuela – Apa Artinya Bagi Kaum Sosialis?  http://www.marxist.com/nasionalisasi-venezuela-sosialis.htm

(ditulis oleh Dian Septi Trisnanti, Sekretaris FBLP-Forum Buruh Lintas Pabrik)

No comments: