27/03/2018

Pasca Pembunuhan Marielle Franco, Kudeta Militer Ada di Depan Mata





Brazil terkunci dalam lautan kebencian, terkhusus kepada kaum miskin, kulit hitam dan kaum kiri – sebuah sentimen yang diperburuk dengan krisis keuangan yang sedang terjadi.

Intervensi Militer di Rio de Janeirto oleh tentara dan Presiden Michel Temer : adalah “sebuah laboratorium bagi Brazil”, ucap komandan operasi tersebut, seperti apa yang sudah diperingatkan oleh Vitor Schincariol, bahwa “kekuatan sayap kanan sedang bertujuan untuk menghentikan organisasi rakyat”

Militer telah mendistribusikan majalah – majalah ke anak – anak di Rio, semenjak hari pertama intervensi dilakukan. Cover majalah tersebut menampilkan monster merah (bahaya ‘merah’) yang mencoba menyerang seorang berkulit putih, anak lelaki berambut merah, yang dilindungi oleh militer. Ini berkaitan dengan pembunuhan seorang aktivis lama dan anggota dewan perempuan berusia 38 tahun, bernama Marielle Franco, dari Partai Sosialisme dan Pembebasan, pada 14 Maret. Tembakan yang membunuh Marielle Franco, dilakukan hanya 30 hari setelah pertama kali militer menduduki Rio de Janeiro, yang rupanya dari polisi federal. Peluru 9mm itu,  diberitakan, diperoleh dari pengiriman dari tim polisi di Brasilia  pada tahun 2006. Kesempatan memperoleh peluru tersebut untuk pembunuhan Marielle Franco, datang baik secara langsung atau tidak langsung, karena korupsi di tubuh polisi federal.  

Empat hari sebelum dieksekusi,, Marielle telah mempublikasikan di media sosial sebuah catatan yang menolak Batalion Polisi Militer 41 Rio de Janeiro. Menurut Marielle Franco, petugas polisi membunuh dua anak muda lalu melemparkan jenasah mereka ke sungai. Batalion 41 adalah batalion paling kejam di negeri tersebut: sudah sangat dikenal luas di favelas di daerah utara, sebagai gerombolan bandit, penyiksa, eksekutor dan penganiaya rakyat tidak bersenjata.

Konteks Pembunuhan
Media mainstream Brazil melukiskan Marielle sebagai seorang aktivis perjuangan yang abstrak, tidak meletakkannya dalam konteks etniknya, latar belakang politik dan kelasnya – yang merupakan alasan kenapa aktivis kulit hitam dan sosialis favela yang militan itu dibunuh.

Tindakan kriminal ini adalah realita menakutkan di Brazil kontemporer ini. Seperti yang dikatakan seorang sejarawan Brazil Vitor Schincariol: “Pembunuhan Marielle bertujuan untuk meletakkan kelompok kiri Brazil di bawah tekanan rasa takut”
Marielle dikenal karena kerap berbicara tentang kejahatan organisasi keamanan publik terhadap penduduk favela, yang mayoritasnya adalah kaum kulit hitam dan miskin, sebuah kota dimana militer mengamankan kota itu selama masa – masa gelap ini.
Dua minggu sebelum ia dibunuh, Marielle Franco telah mengambil bagian dalam sebuah komisi untuk menganalisa intervensi militer Presiden Temer di Rio. Dengan segera, ia mulai melaporkan bukti penyiksaan, hal ini kemudian yang diduga menyebabkan ia dieksekusi.
Komisi Kebenaran Baru
Pada 19 Februari, Komandan Tentara Eduardo Villaas Boas mengatakan bahwa militer mengintervensi kebutuhan keamanan Rio untuk menghindari berkonfrontasi dengan Komisi Kebenaran Baru (antara tahun 2012 dan 2014, sebuauh Komisi Kebenaran telah dibentuk di Brazil untuk menginvestigasi kejahatan militer selama rejim diktator, antara 1964 dan 1985).

Sebuah studi diterbitkan pada 15 Maret, oleh media lokal dan chanel polisi militer resmi yang menampilkan bahwa ada 149 tembakan fatal bulan lalu di Rio, dibandingkan dengan 126 tembakan fatal pada 15 Januari dan 16 Februari di tahun ini. Penembakan dari petugas keamanan berjumlah 133 dari total jumlah bulan lalu. Sementara, antara Januari dan Februari, jumlah tembakan fatal itu adalah 106 tembakan.
Pada bulan September 2017, 48% warga Brazil mendukung kudeta militer. Angka itu telah meningkat menjadi 74% di Rio:”sebuah laboratorium untuk Brazil,” menurut Jendral Braga Neto. Ia memimpin intervensi itu dan menyiratkan keinginannya untuk melakukan militerisasi negara kembali – tidak mengejutkan, setelah beberapa kejadian terakhir, dan kehidupan sehari hari semenjak 2013, ketika Brazil mengalami “musim semi” nya.

Kudeta Militer “Di Depan Mata”
Brazil terkunci dalam rasa kebencian, khususnya terhadap kaum miskin, kaum kulit hitam dan kaum kiri – sebuah sentimen yang diperburuk dengan krisis keuangan. Seolah – olah, setiap jalan mengarah pada intervensi militer. Seluruh negara, kaum kiri militan dan intelektual mengalami persekusi terorganisir oleh sektor publik.
Sudah terkonfirmasi bahwa Kantor Jaksa Umum telah dipengaruhi oleh Rejim Washington, terutama terkait gugatan terhadap mantan Presiden Luiz Inacio Lula da Silva. “Kekuatan kelompok kanan bertujuan untuk menghentikan organisasi – organisasi rakyat,” ucap Schincariol, seorang sejarawan di Universidade Federal do ABC (UFABC) di Sao Paulo.

Video tahun 2015 ini menampilkan pertemuan Katholik di Brasilia yang memperdebatkan tentang keadilan sosial dan perdamaian, seorang Uskup diserang: sebuah kasus histeria menakutkan yang secara sempurna berhasil menggambarkan situasi Brazil saat ini.

Temer mengambil kekuasaan sebagai militer dan boneka AS. Kegagalan total atas langkah ekonominya, terbatasnya legitimasi mandatnya, dan pendiskreditan mantan Presiden Lula secara politik yang digugat di pengadilan, penuh manipulasi oleh Washington (berdasarkan data wikileak Hakim Serio Moro mengambil kurus rahasia di AS), dikombinasikan dengan gejolak sosial yang makin memburuk akibat pembunuhan Marielle Franco yang artinya, saat ini, di Brazil, kudeta militer sudah tampak di depan mata.

Prof. Dr. Schincariol mengobservasi, bahwa “kesenjangan kapasitas militer yang ada antara gerakan hak dan kiri, memicu sebuah perang sipil terbuka yang merupakan tujuan dari kelompok konservatif. Hal ini akan menjadi pembenaran digunakannya kekuatan militer oleh negara. Ini adalah jenis skenario baru dan kekuatan demokratik harus kuatir tentang ini.”

artikel ini diterjemahkan dari https://www.telesurtv.net/english/opinion/After-Francos-Murder-Military-Coup-Now-Imminent-in-Brazil-20180321-0030.html




No comments: