02/07/2008

Marxisme dan Masa Depan Revolusi Bolivarian

June 26, 2008

diambil dari http://indonesia.handsoffvenezuela.org/?p=149

Oleh Jesus S. Anam

Terpilihnya para kandidat walikota dan gubernur dari Partai Persatuan Sosialis Venezuela (PSUV) telah menyita perhatian seluruh gerakan revolusioner di Venezuela akhir-akhir ini. Ini menunjukkan bahwa rakyat dan kaum pekerja masih tetap kokoh berdiri guna menyelamatkan revolusi.

Survei yang dilakukan oleh Venezuelan Institute for Data Analysis (IVAD) baru-baru ini juga menunjukkan bahwa gelombang massa yang besar masih tetap berada di barisan depan sosialisme. Dukungan atas kebijakan Chavez dan langkah-langkahnya dalam melawan kapitalisme, seperti nasionalisasi pabrik Sidor dan pabrik-pabrik lain, mencapai sekitar 68%. Nasionalisasi di beberapa pabrik semen: setuju 56.0%; tidak setuju 33.3%; abstain 16.0%. Dan mengenai nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor makanan: setuju 50.1%; tidak setuju 42.1%; abstain 7.8%.

Dari hasil survei ini kita bisa melihat bahwa ada suatu lompatan yang luar biasa, yakni terjadi pengambilalihan monopoli-monopoli besar — sebuah lompatan kesadaran yang tinggi dari rakyat dan kaum pekerja. Data ini juga memberi gambaran bahwa ada situasi yang luar biasa bagi rakyat Venezuela untuk menuju kedamaian yang sempurna — sosialisme. Situasi seperti ini telah cukup memberi pembenaran bagi Chavez untuk mengeluarkan kebijakan mengenai nasionalisasi berbagai sektor bisnis: perbankan, monopoli-monopoli besar, dan tanah-tanah industrial. Dengan dasar ini, rencana-rencana demokratik bisa diimplementasikan, seluruh perekonomian Venezuela akan berada di bawah kontrol rakyat dan kaum pekerja; seluruh rakyat dan kepemimpinan revolusioner mengambil kontrol atas ekonomi-ekonomi kunci dan mengorganisir ekonomi-ekonomi kunci tersebut untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat, dan bukan untuk kepentingan segelintir golongan, yakni kaum modal.

Ini merupakan buah terakhir dari penderitaan kaum miskin dan kaum pekerja di Venezuela.

Sebuah kekeliruan yang cukup fatal jika percaya bahwa sosialisme bisa dibangun dengan bertahap, melakukan kompromi-kompromi dengan kaum reformis, dan memberi kelonggaran kepada kaum modal. Gagasan yang mempromosikan suatu ekonomi campuran, di mana baik negara maupun sektor swasta memegang peranan penting, bahwa negara yang kuat bisa menggiring dan menstimuli sektor swasta, tidak ada dalam sosialisme. Gagasan ekonomi seperti ini didasarkan pada pikiran ekonom Inggris abad ke-20, John Maynard Keynes, dan terbukti mengakibatkan kesengsaraan dan memimpin letupan inflasi ke seluruh dunia.

Kaum reformis dan sektor-sektor birokratik di Venezuela mencoba membangkitkan kembali kebijakan Keynesian dari kuburnya. Menghidupkan lagi gagasan mengenai ekonomi campuran, bahwa majikan dan pekerja bisa bersama bekerja membangun sosialisme. Sektor-sektor ini yang akan menekan pemerintahan revolusioner ke arah kanan, memainkan terompet bernada sumbang dan membangkitkan kebingungan mengenai sosialisme, yakni sosalisme yang tidak jelas, jenis kolaborasi antara penunggang kuda dengan kuda tunggangan. Kebijakan tipe ini membawa kepada ledakan inflasi hingga 30 % di Venezuela. Jika mereka, yang berada di sektor birokratik, memaksakan garis politik seperti ini guna mempertahankan dan meindungi kawan-kawannya, yakni kaum modal, mereka akan membawa revolusi Bolivarian menuju jurang ngarai yang amat dalam.

Untuk mematahkan arus yang akan memnghanyutkan revolusi, perlu membangun aliansi yang kuat dari gerakan-gerakan politik Bolivarian dengan gagasan-gagasan yang benar. Tindakan Hugo Chavez debngan membaca buku karya Alan Wood, Bolshevism: Road to the Revolution, merupakan contoh dari kejeliannya untuk mencari gagasan yang tepat guna mengeluarkan Venezuela dari ancaman kaum reformis. Buku Reform or Revolution, Marxisme and Socialism of the twenty-first century, a response to Heinz Dietrich akan berkontribusi besar untuk melawan ide-ide kaum reformis seperti Dietrich dan saatnya mengembalikan ide-ide genuine dari sosialisme ilmiah, atau Marxisme.

Salam Solidaritas!

Konferensi Tingkat Tinggi ALBA Merespon Krisis Pangan Dunia


Presiden (dari kanan ke kiri) Bolivia, Venezuela, Nicaragua, dan Wakil Presiden Kuba, bertemu di Caracas hari rabu pagi untuk memormulasikan tanggapan terhadap krisis pangan dunia, serta mendiskusikan krisis politik di Bolivia.(Marcelo García/MinCI)

[telah dipendekkan dari versi aslinya di http://www.venezuelanalysis.com/news/3380]

April 24th 2008, by James Suggett - Venezuelanalysis.com

Mérida, 24 April, 2008 (venezuelanalysis.com)—Presiden Venezuela Hugo Chávez menghadiri suatu pertemuan luar biasa antar bangsa-bangsa anggota Bolivarian Alternatif untuk Rakyat Amerika (ALBA) di Caracas, pada hari Rabu pagi, untuk mendiskusikan krisis pangan dunia dan krisis politik di bagian timur Bolivia. Pada pertemuan tersebut, Presiden Nikaragua Daniel Ortega, Presiden Bolivia Evo Morales, Wakil Presiden Kuba Carlos Lage, dan Chávez menandatangani serangkaian persetujuan untuk memajukan pengembangan pertanian bersama, mencipatakan jaringan distribusi makanan bersama, dan mendirikan lembaga ketahanan pangan ALBA dengan dana $100 juta.

“Krisis pangan adalah bukti paling hebat kegagalan historis model kapitalisme” tegas Presiden Chávez.

Menggarisbawahi laporan terbaru oleh United Nations World Food Program yang menyebut krisis pangan sebagai “Tsunami yang Hening” dan menuntur suatu respon yang terkoordinir secara internasional, Chávez berkata, “ALBA mengumumkan kehendaknya untuk memikul tanggung jawab, ALBA merespon dengan segera... disinilah kami.”
Wakil Presiden Kuba Carlos Lage menyatakan bahwa krisis ini adalah bagian dari suatu “tata ekonomi internasional yang tidak adil” dimana didalamnya “logika [yang digunakan] adalah profit, bukan pemenuhan kebutuhan rakyat.”

Lage lebih lanjut mengungkapkan fakta bahwa Amerika Seriakt (AS) menghabiskan $500 milyar per tahun untuk Perang Irak, sementara PBB harus memohon sejumlah $500 juta bulan lalu untuk memenuhi kuota pangan darurat.
Menurut Bank Dunia, keresahan sosial telah menjamur di lebih dari 30 negeri, akibat kenaikan harga pangan sebesar 80% selama tiga tahun belakangan. Presiden AS George W. Bush menyetujui $200 juta untuk bantuan darurat pangan global pada 14 April 2008, sementara Venezuela, yang baru saja menghadapi kelangkaan pangan, sudah mengirimkan 364 ton daging, ayam, ham, susu, minyak olive, dan sayuran ke negeri tetangganya Haiti, yang sedang mengalami kerusuhan akibat naiknya harga pangan.

Presiden Morales menegaskan pada hari Rabu bahwa “sudah menjadi tanggung jawab presiden untuk bertindak menjamin kecukupan pangan untuk rakyat.” Morales, dalam pidatonya pada pembukaan Forum Permanen PBB untuk Persoalan Masyarakat Pribumi di New York hari Senin sebelumnya, juga mengritik diversi lahan pertanian menjadi biofuel, yang diakui secara luas berkontribusi terhadap peningkatan harga pangan, “Jika kita tidak mengakhiri sistem kapitalisme, maka mustahil bumi dapat diselematkan,” Morales menyimpulkan.

Kesepakatan untuk pengembangan pertanian yang ditandatangani oleh bangsa-bangsa ALBA pada hari Rabu akan berfokus pada beras, jagung, minyak untuk konsumsi manusia, kacang-kacangan, daging sapi, dan susu, serta peningkatan sistem pengairan. Untuk menghindari spekulasi oleh para calo-calo swasta, kepala negara bersetuju untuk membentuk suatu jaringan distribusi pangan rakyat dengan pengaturan harga. Untuk membiayai proyek ini, para presiden ini setuju memberikan dana $100 juta melalui BANK ALBA, yang masih dalam tahap pembentukan.


Empat orang pemimpin itu juga menandatangani pernyataan bersama pada hari Rabu, untuk menunjukkan solidaritas terhadap Bolivia, yang sedang diserang oleh gerakan pemisahan diri (separatis) yang dipimpin oleh para elit pemilik tanah [Morales], di propinsi yang kaya sumber alam, Santa Cruz, Trija, Beni, dan Pando.
Negeri-negeri ALBA mendeklarasikan “dukungan tak terbatas bai proses perubahan yang demokratik dan berdaulat” di Bolivia, serta dengan tegas mengutuk gerakan sepratis tersebut, menyebutnya sebagai suatu “pelanggaran terang-terangan terhadap konstitusi dan hukum Bolivia.” ...

Morales juga meminta dukungan internasional untuk mengakhiri apa yang disebutnya sebagai “perbudakan” di Bolivia, menindaklanjuti protes para buruh pabrik gula kawasan industri raksasa di Proponsi Santra Cruz terhadap lebih dari 8000 anak-anak yang bekerja di ladang tanpa upah.

Pemerintahan Chávez—yang sudah meredistribusi lebih dari 2 juta hektar (4,94 juta akre) tanah yang sebagian besar dimiliki oleh negara dan sebagian lainnya dari kawasan-kawasan raksasa, serta meningkatkan pembiayaan pemerintah untuk produksi pertanian yang sudah mencapai 728% selama tiga tahun belakangan—mengajukan agar pengembangan pertanian Bolivia menjadi prioritas ALBA, “dengan restu dari Nikaragua, yang juga merupakan daftar yang harus diprioritaskan.”

Ia juga menyatakan bahwa negeri-negeri ALBA sangat beruntung karena mendapat respon yang sangat cepat menghadapi krisis pangan saat ini, namun sekarang “berkewajiban untuk mengintensifkan, membuat lebih dinamis dan mendalam” gagasan ketahanan pangan regional ini. ALBA merupakan suatu blok keadilan perdagangan yang didirikan oleh Kuba dan Venezuela tahun 2005 sebagai suatu alternatif terhadap Persetujuan Perdagangan Bebas Amerika (FTAA) yang dipromosikan oleh pemerintah AS. Sejak saat itu, Bolivia, Nikaragua, dan Dominika telah berganung ke dalam Blok tersebut.***

diterjemahkan oleh Zely A]