26/04/2008

Nasionalisasi, Industrialisasi Nasional, dan Pembangunan Komunitas 'Sosialis' di Venezuela;

Tiga Pilihan Berita dari Venezuelananlysis.com

1. Venezuela Nasionalisasi Industri Semen untuk Pacu Sektor Konstruksi

5 April 2008, oleh James Suggett

Mérida, 3 April 2008 - Presiden Venezuela Hugo Chavez mengumumkan pada Kamis lalu bahwa industri semen Venezuela akan dinasionalisasi, menurutnya perusahaan asing mengekspor semen sementara pasar Venezuela menderita harga tinggi dan kelangkaan.

"Cukup sudah" tegas Chavez, sambil menjamin bahwa perusahaan asing akan diberikan kompensasi secara adil.

Nasionalisasi ini akan menjadi satu dari sekian kebijakan dua tahun terakhir yang bertujuan mengembangkan kemampuan Venezuela untuk memenuhi kebutuhan sektor konstruksi, terutama perumahan. Angka pemerintah menunjukkan defisit 2,7 juta rumah di negeri pengekspor minyak itu.

"Kalau mereka yang kaya hendak membangun rumahnya, silakan saja, tapi mereka harus menghormati kami yang lainnya ini." demikian pernyataan Chavez.

Akhir pekan lalu, Presiden Chavez menyerukan percepatan program-program pemerintah untuk mengganti perumahan kumuh yang dikenal sebagai "ranchos", tempat tinggal mayoritas rakyat miskin Venezuela, menjadi "komune sejati dan komunitas kerakyatan...di mana Rakyat hidup dengan kebahagiaan yang sebesar mungkin." Bagian dari rencana ini adalah membangun rumah dengan plastik PVC yang diisi semen, suatu proyek yang dinamakan "Petrocasa" karena didanai oleh keuntungan minyak dan penggunaan bahan-bahan derivatif (hasil turunan - pen) minyak.

Untuk memperkuat industri semen Venezuela, pada bulan Juni 2006 Venezuela dan Iran menandatangani perjanjian ekonomi senilai 9 milyar dolar, termasuk pembangunan Pabrik Semen Cerro Azul. Pada 2007, produksi semen menjadi titik fokus perjanjian ekonomi antara Venezuela dan Kuba dan juga Alternatif Bolivarian bagi Bangsa-bangsa Amerika (ALBA), suatu kesepakatan perdagangan adil (fair trade) hasil inisiatif Venezuela dan Kuba dalam menghindari perjanjian-perjanjian perdagangan bebas (free trade) yang dipaksakan oleh Amerika Serikat.

Rencana-rencana ini naik wacana pada awal janji Chavez, sejak kedua kalinya terpilih pada Desember 2006, untuk "menasionalisasi semua yang diprivatisasi" oleh pemerintahan sebelumnya, sambil memfokuskan pada apa yang disebutnya sebagai "industri strategis" seperti minyak, semen, dan telekomunikasi.

Chavez sebelumnya telah mengancam akan menasionalisasi industri semen pada Juni 2007, dan Agustus tahun itu, sebuah cabang kecil perusahaan semen Kolombia, Argos, diambil-alih dan diberikan tebusan. Presiden berkata Kamis lalu bahwa dengan rampungnya nasionalisasi seluruh sektor tersebut, Venezuela akan menggalakkan "kekuasaan sosial di pabrik-pabrik semen."

Perusahaan semen terbesar ketiga di dunia, CEMEX, yang bermarkas di Meksiko sekaligus penghasil semen utama di Venezuela, menurut harian Venezuela El Nacional tidak memberikan komentar kepada umum.

Namun, pejabat Meksiko menyatakan bahwa pemerintah "akan mengupayakan segala yang masih dalam jangkauannya, untuk melindungi kepentingan sah perusahaan Meksiko di luar negeri."

Departemen hubungan luar negeri Meksiko mengumumkan lewat pernyataan singkat bahwa mereka telah mengontak para pejabat Venezuela "untuk mencari tahu jangkauan dan sifat deklarasi ini," dan telah memanggil Kedubes Venezuela di Meksiko untuk mendapatkan perincian lebih lanjut.

Perusahaan semen Perancis, Lafarge, yang ketiga terbesar di Venezuela setelah Cemex dan Holcim dari Swiss, sejauh ini juga menolak mengomentari soal nasionalisasi.

Menteri Ekonomi Perancis, Christine Lagarde, berkata pada pers bahwa kementriannya "dengan cermat mengikuti perkembangan situasi dan akan meminta penjelasan." Menteri tersebut menegaskan bahwa Venezuela dan Perancis menandatangani kesepakatan pada 2001, yang menjamin "penebusan yang layak dan segera, yang jumlahnya harus sama dengan nilai riil investasi yang bersangkutan" dalam peristiwa nasionalisasi.

Jubir Holcim Peter Gysel berkata, "kami sangat serius akan hal ini," tapi mengklarifikasi bahwa perusahaannya "tenang-tenang saja karena ini bukan pertama kalinya Chavez mengumumkan bahwa sektor ini akan dinasionalisasi," dan berkesimpulan bahwa "kita harus menunggu dan melihat apa yang akan terjadi." Pemerintah Swiss belum berkomentar hingga kini.

Menurut El Nacional, Holcim mencapai rekor harga stok pada 2007 dan investasinya di Venezuela bernilai 1% dari total pendapatan perusahaan dan merupakan 1,5% dari produksinya sedunia, kata Gysel kepada pers Jumat lalu.

Laporan trimester ketiga 2007 oleh CEMEX-Venezuela menunjukkan kenaikan penjualan bersih sebesar 30% dan menyatakan bahwa "investasi publik tetap menjadi motor utama aktivitas konstruksi," terutama dalam bidang perumahan dan infrastruktur.

Nasionalisasi industri semen merupakan kelanjutan dari nasionalisasi di beberapa sektor seperti listrik, perusahaan telekomunikasi utama di negeri itu (CANTV), dan sejumlah proyek produksi minyak. Contohnya, pada Mei 2007, pemerintah secara sebagian menasionalisasi proyek-proyek perminyakan penting di sekitar Sabuk Minyak Orinoco. Semuanya diberikan kompensasi melalui kesepakatan bersama antara pemerintah dan pemilik awalnya.

------

2. Chavez Umumkan 3 Milyar Dolar untuk Revolusi "Energi" Venezuela


31 Maret 2008, oleh Chris Carlson

31 Maret 2008 - Presiden Venezuela Hugo Chavez menyetujui pendanaan dan mengumumkan rencana baru bagi revolusi "energi" dalam acara mingguannya Aló Presidente yang lalu.

Presiden meresmikan sebuah perumahan komunitas "sosialis" baru yang dibangun dari derivat minyak, dan mengumumkan bahwa Venezuela akan menjadi produsen besar derivat minyak seperti pupuk dan plastik pada 2013.

Bersiaran dari negara bagian di pusat negeri, Carabobo, Presiden Chavez memantau komunitas baru berupa 459 rumah yang dibuat dari Polyvinyl klorida (PVC), material plastik hasil produksi migas. Industri petrokimia milik negara Venezuela memproduksi PVC dari produk sampingan (by-products) industri minyak, sehingga lebih murah dari material bangunan tradisional.

Komunitas yang pertama bagi jenisnya itu seluruhnya terdiri dari rumah-rumah yang dibangun perusahaan negara Venezuela, Petrocasa, yang memproduksi bermacam bentuk plastk untuk dicor dengan semen. Venezuela berencana membangun komunitas "sosialis" di penjuru negeri dan sekitar 60.000 rumah sejenis ini per tahun.

"Ini komunitas Petrocasa pertama yang kami resmikan, tapi kami akan mengisi Venezuela dengan rumah-rumah ini," kata Chavez.

Program perumahaan baru ini hanyalah satu bagian dari apa yang oleh Presiden Chavez disebut sebagai revolusi "energi", suatu program untuk mengembangkan berbagai industri yang memproses bahan-bahan baku, seperti industri petrokimia.

Chavez mengumumkan bahwa pemerintah Venezuela akan berinvestasi sebesar 20 milyar dolar selama enam tahun ke depan untuk mengembangkan 52 proyek-proyek industri, dan menyetujui total dana sebesar 2,96 milyar dolar untuk diinvestasikan tahun ini. Presiden menekankan bahwa dalam pemerintahan sebelumnya investasi seperti ini tidaklah mungkin.

"Sebelumnya, untuk membuat investasi seperti ini mereka harus memanggil Dana Moneter International (IMF) atau Bank Dunia (World Bank), atau menyerahkan negeri ini ke investor asing. Kini tak lagi, karena kita telah menciptakan dana pembangunan kita sendiri," katanya.

Investasinya akan berasal dari dana pembangunan nasional Venezuela, Fonden, yang sebagaimana ditunjukkan Chavez, kini memiliki sekitar 35 milyar dolar yang dapat diinvestasikan bagi pembangunan negeri itu. Dana pembangunan nasional dipasok oleh sebagian pemasukan negara yang dialihkan dari cadangan internasional negeri itu.

Chavez menekankan bahwa banyak proyek industri baru ini ditempatkan di wilayah selatan negeri itu untuk memberikan pembangunan ekonomi kepada wilayah-wilayah yang lebih miskin dan kurang berkembang. Pemerintah juga memperkirakan bahwa lebih dari 600.000 lapangan pekerjaan baru akan diciptakan sebagai hasil langsung program itu.

Presiden berbicara melalui satelit kepada pimpinan komunitas terdekat di mana 700 rumah baru lainnya sedang dibangun, tapi ia bersikeras agar pemerintah mempercepat pembangunan perumahan baru, dan mengusulkan dibuatnya pajak baru terhadap keuntungan migas untuk mendanainya.

"Kita harus meningkatkan laju penggantian perumahan kumuh dengan komune-komune sejati dan komunitas-komunitas," kata Chavez,"di mana rakyat dapat hidup sepenuhnya, dengan kebahagiaan sebesar mungkin."

Chavez juga berbicara melalui satelit dengan Menteri Pangan Felix Osorio untuk peresmian "Mercal" baru, yakni pasar-pasar pangan subsidi pemerintah. Ia menjelaskan bahwa Venezuela berupaya untuk swasembada (self-sufficient) cadangan pangannya, dan berterimakasih pada pemerintah Brazil, Argentina, dan Uruguay dalam menyediakan teknologi baru yang dibutuhkan untuk membangun pabrik-pabrik produksi bahan pangan di Venezuela.

Ia menambahkan bahwa Venezuela akan segera swasembada produksi pangan, tapi sebelum produksi domestik dapat mencukupi kebutuhan pangan, mereka akan tetap mengimpor bahan pangan dari tetangga mereka.

"Kami sedang mengupayakan berbagai proyek untuk memproduksi semua ayam yang dapat kita konsumsi. Tapi, untuk sementara waktu, karena produksi nasional kita belum cukup, kita akan menghadirkan produksi terbaik dari Argentina, Brasil, Nikaragua, Kolombia, Ekuador, dan negeri-negeri lainnya," kata Chavez.

Presiden Venezuela itu juga menekankan bahwa pemerintahan Amerika Serikat menjalankan rencana-rencana menciptakan kelangkaan pangan di negeri itu untuk mendestabilisasi pemerintahannya. Ia mengacu kepada kasus-kasus sebelumnya di Nikaragua dan Kuba, di mana pemerintah AS memblokir impor pangan dengan tujuan mendestabilisasi pemerintahan-pemerintahan itu.

"Ketika Bush bicara tentang kelangkaan pangan, ia tidak bicara tentang kenyataan, melainkan keinginannya. Tapi saya jamin bahwa kita akan mengalahkannya, karena kini rakyat Venezuela diberi makan dengan lebih baik; tak hanya dengan makanan, tapi dengan kesehatan, perumahaan, pekerjaan, dan industri," katanya.

-------------

3. Chavez Ancam Nasionalisasi Pabrik Nestle dan Parmalat di Venezuela

13 Februari 2008, oleh James Suggett

Mérida, 13 Februari, 2008

Presiden Venezuela Hugo Chavez mengancam akan menasionalisasi pabrik-pabrik susu Nestle dan Parmalat; dituduhnya bahwa perusahaan transnasional tersebut menyuap para produsen dan mengakibatkan jaringan pabrik pemrosesan susu milik negara dan koperasi tak mendapatkan produk yang dibutuhkan.

"Pemerintahan ini perlu mengencangkan sekrup-sekrupnya," tegas presiden dalam acara Alo Presidente pada hari Minggu. "Jika, misalnya, terbukti bahwa [Nestle dan Parmalat], melalui mekanisme atau tekanan ekonomi tertentu, menahan produksinya dan membuat pabrik-pabrik negara dan koperasi kehilangan pasokan susu yang dibutuhkannya, kita harus menerapkan konstitusi dan mengintervensi dan menasionalisasi pabrik-pabrik itu."

Nestle mengklaim bahwa akan "prematur" bagi perusahaan tersebut merespon ancaman nasionalisasi itu, yang baru didengarnya lewat media, hingga ada suatu "komunikasi langsung, formal dan resmi dari pemerintahan Mr. Chavez." Namun, Nestle berkomentar dalam pers: "kami menjaga hubungan dekat dengan produsen susu Venezuela karena kami adalah pelanggannya, itu wajar...hubungan itu selalu berada dalam aturan-aturan legal yang ditentukan oleh tiap negeri."

Pemerintah Chavez telah menasionalisasi sektor-sektor kunci industri telekomunikasi, listrik dan migas di Venezuela. Keuntungan dari perusahaan yang dinasionalisasi seperti raksasa telekomunikasi CANTV telah disalurkan menuju penurunan tarif secara umum, plus tarif khusus bagi pengorganisir komunitas dan para pengguna berpenghasilan rendah.

Tahun lalu, kelangkaan bahan pangan dasar di Venezuela mencapai 25%, sementara kelangkaan susu mencapai 80% menurut firma polling Venezuela, Datanalisis. Sejalan dengan itu, inflasi harga bahan-bahan dan layanan dasar mencapai 22% pada 2007. Sektor-sektor kaum oposisi menyalahkan kontrol harga pemerintah, nilai berlebih (overvaluing) mata uang Venezuela, dan pengelolaan ekonomi yang tidak efesien oleh pemerintah sebagai permasalahannya. Pemerintah, di lain pihak, mengatakan bahwa mereka memerangi spekulasi harga, penimbunan pangan, dan penyelundupan, yang menurut Chavez pada hari Minggu adalah bagian dari "konspirasi ekonomi" yang mengancam keamanan nasional di saat kapasitas konsumsi Venezuela telah sangat meningkat berkat kesuksesan program-program sosial.

Pada akhir Januari, Institut Pembela Konsumer Nasional (Indecu) dan Angkatan Bersenjata mengawasi penyaluran hampir 2 juta kilogram susu bubuk oleh Nestle ke berbagai kota di 11 negara bagian Venezuela. Juga, Pengawas Lumbung Nasional (National Silos Supervisor) memanggil Parmalat dan Nestle dalam sejumlah pertemuan yang bertujuan "mengambil alih kendali terhadap inventaris negara," demikian lapor Menteri Pangan. Agenda pertemuan tersebut menyertakan evaluasi sistem nasional, rencana distribusi sektor swasta, dan presentasi Sistem Kendali Internal bagi Pangan dan Pertanian.

Selama bulan lalu, pemerintah telah mencabut regulasi harga pada semua kecuali 10 produk pangan dasar, termasuk sedikit peningkatan harga susu dan berbagai keju. Sementara itu, Administrasi Mata Uang Asing (CADIVI) memberikan ijin bagi pembayaran langsung transaksi internasional untuk mempercepat impor susu, yang merupakan sumber utama susu di negeri tersebut.

Nestle, yang mempekerjakan 4000 Venezuela secara langsung maupun tak langsung, adalah salah satu perusahaan swasta yang melalui Kamar Industri Pangan Venezuela pada 2003 menjual produknya dengan potongan harga kepada pasar pangan subsidi pemerintah yang dikenal sebagai Mercal. Ini adalah salah satu kebijakan pemerintahan Chavez yang bertujuan menyediakan makanan bagi mayoritas rakyat miskin negeri tersebut.

Tapi Nestle bukan bagian dari badan usaha terbaru milik pemerintah untuk distribusi pangan, PDVAL, yang dijalankan melalui perusahaan minyak dan listrik negara. Pemerintah justru menandatangani kontrak impor susu selama 12 tahun dengan koperasi Argentina, Sancor, dan juga akan menjual minyak yang diimpor dari Brasil. PDVAL akan mendistribusikan susu yang diproduksi dalam pabrik pengelolahan susu milik negara yang dibentuk oleh pemerintah tahun ini.

Anggaran federal tahun ini berinvestasi besar-besaran dalam sektor pertanian yang sedang berkembang dan dikelola negara, yang beroperasi menurut prinsip-prinsip 'sosialis' seperti partisipasi komunitas dan memprioritaskan kebutuhan manusia di atas keuntungan. Ini menyertakan pembentukan Dana Produksi Minyak Nasional yang diumumkan oleh presiden Sabtu lalu, yang disambut baik oleh Konfederasi Nasional Agrikulturalis Venezuela. Dana ini akan disalurkan kepada "para pengusaha kecil yang memproduksi susu, yang selama ini telah ditelantarkan, untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri."

Chavez memberikan pengumuman yang berkaitan dengan ini pada hari Minggu bahwa kekuatan paramiliter Kolombia semakin menginfiltrasi komunitas Venezuela dan industri-industri swasta. Nestle adalah satu dari sekian perusahaan transnasional yang mempekerjakan pasukan paramiliter untuk merepresi para buruh yang mengorganisir fasilitas-fasilitasnya di Kolombia, demikian menurut Ahli Ilmu Politik Jerman, Dario Azzellini, yang bermarkas di Caracas dan menghadiri siaran Alo Presidente hari Minggu lalu.

Data B

Pemberdayaan Rakyat di Bawah Pemerintahan Anti-Imperialisme Neoliberal;

Sebuah Pengantar Bagi Film Dokumenter 'No Volveran'

oleh Data Brainanta*

Film dokumenter "No Volveran" akan membawa kita menelusuri gang-gang di perkampungan (barrios) untuk menyaksikan perubahan positif dan kemajuan yang dirasakan oleh rakyat miskin dalam masa pemerintahan Chavez. Toko-toko kelontongan didirikan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Barang-barangnya dibeli oleh pemerintah dari pengusaha domestik untuk dijual dengan harga diskon. Pemerintah juga memasok dana dan tenaga ahli yang bersama-sama dengan rakyat melakukan renovasi di wilayah perkampungan. Layanan kesehatan dan program pendidikan gratis digalakkan oleh pemerintah dengan membangun klinik-klinik kesehatan dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar di dalam perkampungan.

Program-program kesejahteraan dan misi-misi anti-kemiskinan semacam ini dilaksanakan secara lebih intensif dan mendalam setelah pemerintahan Chavez menguasai sepenuhnya perusahaan minyak negara, PDVSA, pada akhir 2002 - yakni ketika percobaan kudeta dan sabotase ekonomi oleh oposisi berhasil digagalkan. (Wilpert, 2003a; Raby, 2006 )

Sebelum ini, Chavez menghadapi perlawanan dari oposisi dalam pemerintahan saat akan mengeluarkan kebijakan kerakyatan. Pada tahun 1999 dijalankan misi anti-kemiskinan 'Plan Bolivar 2000' yang merupakan kerjasama sipil dan militer dalam memperbaiki kondisi rakyat miskin. Angkatan Darat dan rakyat bekerjasama memperbaiki dan membangun rumah-rumah; angkatan laut membantu nelayan memperbaiki kapalnya; dan angkatan udara menyediakan transportasi gratis ke penjuru negeri bagi yang memerlukan. (Wilpert, 2003b)

Chavez pertama kali memenangkan kursi kepresidenan dalam pemilu 1998 di saat Venezuela berada dalam krisis ekonomi dan politik berkepanjangan. Dua presiden sebelumnya berjanji untuk mengeluarkan rakyat dari krisis dengan mengambil kebijakan anti-neoliberal; namun ketika berkuasa mereka berbalik arah menjalankan kebijakan neoliberalisme.

Akibatnya rakyat tidak percaya lagi dengan seluruh elit politik yang berkuasa. Kekecewaan rakyat ini sempat meledak jadi kerusuhan yang dikenal sebagai Caracazo pada tahun 1989. Antara ratusan hingga ribuan orang dinyatakan tewas direpresi oleh aparat negara.

Chavez tampil sebagai pendatang baru dalam perpolitikan, namun rakyat telah menaruh simpati padanya sejak upaya kudeta gagalnya pada 1992. Menurut Chavez, ia beserta pengikutnya terdorong melakukan kudeta karena tidak sudi lagi disuruh menembak rakyat sendiri, sebagaimana yang terjadi saat kerusuhan Caracazo (Harnecker, 2005).

Menyadari bahwa perjuangan bersenjata tidak akan membawa hasil, Chavez mengambil jalan elektoral dan membangun koalisi lebar bernama "Kutub Patriotik" - Polo Patriotico - dengan pihak-pihak yang terpinggirkan secara politik.

Janji-janji utamanya saat kampanye adalah (1) memutuskan hubungan dengan sistem politik lama yang dikenal dengan sebutan "puntofijismo"; (2) memberantas korupsi; dan (3) menuntaskan kemiskinan di Venezuela (Wilpert, 2003b). Di samping itu ia juga berjanji akan memanfaatkan kekayaan minyak untuk menuntaskan permasalahan sosial, menaikkan upah dua kali lipat, dan menolak pembayaran hutang luar negeri (Sylvia, 2003) - untuk yang terakhir ini ia melunakkan posisinya. Program-program ini disajikan dengan sentimen anti-kolonial dan kedaulatan nasional ketika rakyat Venezuela dihadapakan pada kenyataan bahwa krisis yang ada disebabkan oleh dikte kekuatan ekonomi asing, padahal negeri mereka kaya akan minyak dan mineral.

Pemutusan hubungan dengan rejim puntofijismo merupakan aspirasi luas rakyat Venezuela yang sudah muak dengan pemerintahan yang didominasi oleh dua partai besar (AD dan Copei) yang korup dan telah berkuasa selama setidaknya tiga dekade. Kedekatan dengan dua partai ini dipandang oleh mata rakyat sebagai suatu aib - barangkali seperti halnya kedekatan dengan Golkar atau Suharto di masa puncak reformasi.

Ketika Chavez menjabat sebagai presiden, langkah politik awal yang ia jalankan adalah melaksanakan penulisan konstitusi baru untuk merombak total rejim lama. Perlu dicatat bahwa perubahan atau penulisan ulang konstitusi bukanlah hal baru di Venezuela. Dari tahun 1811 hingga 1961 Venezuela telah memiliki 26 konstitusi - jumlah ini terbesar di Amerika Latin. Konstitusi 1961 sendiri digantikan pada 1999 dan pernah beberapa kali direformasi pada tahun 80an dan 90an (Wilpert 2003c).

Di bidang ekonomi, Chavez berhasil mengembalikan kedaulatan nasional, terutama melalui penguasaan komoditas minyak. Langkah awal Chavez setelah menjabat adalah melobi negeri-negeri anggota OPEC untuk menuruti jatah produksi dan mengontrol harga minyak di kisaran $22 dan $28 perbarel. Sebelum Chavez berkuasa, Venezuela terkenal sebagai anggota OPEC yang 'nakal' karena seringkali melanggar jatah produksi.

Kebijakan ini segera mengembalikan harga minyak dunia mencapai $27 per barel untuk pertama kalinya sejak 1985. Walauapun langkah ini memulihkan pendapatan negara, Chavez diprotes oleh pimpinan PDVSA yang telah terbiasa memproduksi minyak sebanyak mungkin melebihi jatah kuota OPEC dan beroperasi layaknya perusahaan multinasional. (Wilpert, 2003a)

Kebijakan migas Chavez lainnya adalah mengembangkan industri perminyakan sehingga Venezuela akan lebih banyak mengekspor produksi hasil olahan minyak daripada sekedar minyak mentah (crude oil). Nasionalisasi industri minyak ini diharapkan akan memicu berkembangnya industri-industri di sektor lain.

Dengan sumber daya berada di bawah kendali negara, Venezuela bukan saja mampu menjalankan program-program kesejahteraan, tapi juga membantu negeri-negeri Amerika Latin lainnya. Program PetroCaribe misalnya bertujuan menyediakan minyak dengan kredit terjangkau kepada negeri-negeri Karibia yang tak menghasilkan minyak.

Perkembangan ini tentunya menjadi ancaman bagi legitimasi status quo imperialisme AS. Para pendukung imperialisme yang menguasai media raksasa internasional tidak henti-hentinya mendiskreditkan pemerintahan Chavez, menuduhnya sebagai suatu kediktatoran yang menindas kebebasan berpendapat. Sabotase ekonomi seperti penimbunan bahan pangan dilakukan oleh kaum pro-imperialis dalam negeri. Sementara administrasi Bush terus melancarkan dan mendanai aksi-aksi subversif untuk menjatuhkan Chavez dan mengisolasi Venezuela.

Dalam 'No Volveran' kita dapat menyaksikan bagaimana rakyat Venezuela siap dan rela berkorban untuk mempertahankan proses yang berlangsung. Stasiun televisi dan radio komunitas didirikan rakyat sebagai tandingan media raksasa yang dikuasai kaum Oposisi pro-AS.

Dalam satu bagian dokumenter, kita dibawa menemui para buruh pabrik keramik Sanitarios Maracay yang mengambil alih pabriknya setelah ditinggal lari oleh pengusahanya. Karena ini mereka mengalami berbagai permasalahan seperti kekurangan tenaga ahli, kalah berkompetisi dengan perusahaan lain maupun sabotase yang dilakukan oleh pengusaha. Kini mereka berjuang agar pemerintah menasionalisasi pabrik tersebut. Bagian ini menarik karena kita dapat mendengar langsung permasalahan yang dihadapi oleh buruh saat mengambil alih pabrik yang ditinggalkan.

Proses deindustrialisasi merupakan fenomena yang tak asing di Indonesia. Produk-produk murah dari Cina dan ketersediaan buruh murah di Vietnam memicu penutupan pabrik-pabrik tekstil baik karena bangkrut maupun pindah. Di wilayah industri di Indonesia pun terjadi peristiwa di mana buruh yang ditinggal lari pengusahanya mengambil alih pabrik dan coba mengoperasikannya sendiri. Namun, karena permasalahan yang kurang lebih serupa dengan kasus Sanitarios Maracay, langkah tersebut tidak dapat bertahan lama dan kadang berakhir dengan pencurian barang-barang dan mesin.

Yang menarik di Venezuela adalah buruh-buruh tersebut mampu bertahan dan bahkan mendapat dukungan pemerintah. Pemerintahan Chavez bahkan menasionalisasi - walau hanya setengahnya - beberapa pabrik yang ditinggalkan oleh pengusaha seperti Invepal dan Inveval. Meskipun masih terbatas, ini merupakan upaya industrialisasi nasional yang bertujuan membalikkan proses deindustrialisasi yang mengakibatkan pengangguran.

Sejalan dengan ini, konon pemerintahan Chavez berencana untuk membangun industri dan pabrik-pabrik baru yang dikelola secara kolektif dan tergabung dengan masyarakat sekitarnya dalam struktur teritorial dewan komunal. (Carlson 2007) Sejauh mana proses ini telah berjalan masih menjadi pertanyaan.

"No Volveran" merupakan suatu perayaan tentang sosialisme sebagaimana yang sedang dibangun oleh pemerintahan revolusioner Chavez. Walau demikian baru pada 30 Januari 2005, dalam pidatonya di depan Forum Sosial Dunia ke 5, Presiden Chavez mengumumkan bahwa sosialisme abad 21 sedang dibangun di Venezuela. Sebelumnya, dan hingga kini, Chavez menggerakkan rakyat Venezuela dengan mengangkat ideologi Bolivarian, yakni nasionalisme dan anti-penjajahan asing yang diilhami oleh pahlawan anti-kolonial Amerika Latin, Simon Bolivar. Karena sisa sentimen anti-komunis warisan perang dingin, istilah sosialisme masih terdengar sangar di beberapa kalangan masyarakat di Amerika Latin.

Dokumenter ini merupakan satu amunisi dalam 'pertempuran ide' melawan paradigma imperialisme neoliberal yang telah terbukti menyengsarakan rakyat. Venezuela-Chavez memberikan harapan dan inspirasi tentang apa yang dapat dicapai oleh pemerintahan yang berdaulat dan pro-rakyat. Ia juga memberikan contoh bahwa perjuangan untuk kepentingan rakyat dapat dilakukan lewat kebijakan-kebijakan pemerintah (dari atas) yang sinergis dengan pengorganisiran rakyat (dari bawah).

Di Brazil, contohnya, gerakan Tani Tanpa Lahan (Landless Peasant Movement - MST) bergerak dalam kerangka konstitusional dan mendapat dukungan yang berarti dari pemerintahan Lula. Pertumbuhan organisasi mereka mengalami percepatan dan penguatan di bawah pemerintahan yang lebih akomodatif dibandingkan dengan masa kediktatoran militer yang represif.

Dalam kasus Venezuela, kondisi rakyat miskin jauh lebih membaik setelah Chavez menjabat presiden. Kenaikan Chavez pada 1998 merupakan manifestasi dari kehendak luas rakyat Venezuela - kecuali unsur-unsur pendukung rejim puntofijismo - untuk suatu pembaharuan politik dan jalan keluar dari krisis berkepanjangan. Wilpert (2005) bahkan mencatat bahwa Chavez pada pemilu 1998 dan 2000 pada dasarnya dimenangkan oleh suara kelas menengah yang juga menjadi korban krisis neoliberal.

Yang menjadi pertanyaan penting adalah bagaimana kita dapat menghadirkan pemerintahan semacam itu di Indonesia? Jawaban ini tidak dapat sekedar mencontoh Venezuela namun membutuhkan suatu diskusi mendalam tentang situasi obyektif di Indonesia. Sebagai penutup, perkenankan saya mengutip komentar Chavez kepada Fidel Castro yang menyatakan bahwa ia "mengagumi revolusi Kuba, tapi Venezuela harus mencari jalannya sendiri."

*penerjemah teks "No Volveran";
salah satu penerjemah teks "The Revolution Will Not Be Televised"
aktivis Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS)

Catatan Akhir

Carlson C, “What is Venezuela’s Constitutional Reform Really About? | venezuelanalysis.com,” http://www.venezuelanalysis.com/analysis/2890. (2007)
Artikel ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan dapat dibaca di website SERIAL.

Harnecker M and Chavez H, Understanding the Venezuelan Revolution: Hugo Chavez Talks to Marta Harnecker (Fordham University Press, 2005).
Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Raby D L, Democracy and Revolution: Latin America and Socialism Today (Pluto Press, 2006).

Sylvia R D and Danopoulos C P, “The Chavez Phenomenon: Political Change in Venezuela,” Third World Quarterly 24, no. 1 (February 2003): 63-76.

Wilpert G, “The Economics, Culture, and Politics of Oil in Venezuela | venezuelanalysis.com,” http://www.venezuelanalysis.com/analysis/74. (2003a)

Wilpert G, “Venezuela's Mission to Fight Poverty | venezuelanalysis.com,” http://www.venezuelanalysis.com/analysis/213. (2003b)

Wilpert G. “Venezuela’s New Constitution | venezuelanalysis.com,” http://www.venezuelanalysis.com/analysis/70. (2003c)

Wilpert G, “Venezuela: Participatory Democracy or Government as Usual? | venezuelanalysis.com,” http://www.venezuelanalysis.com/analysis/1192. (2005)

NO VOLVERAN: Tayangan Pendakian Seperempat Menuju Puncak

Proses sosial politik di Venezuela, semenjak pemerintahan Chavez (tahun 1999), sudah cukup sering di muat dalam pemberitaan-pemberitaan media internasional, juga di Indonesia. Di samping berita tentang perang Irak, nuklir Iran, pengisolasian rakyat Palestina, kejadian-kejadian dalam panggung politik Venezuela sering mengetengahkan adegan yang bernilai penting secara politik, tidak hanya bagi negerinya, juga bagi dunia internasional. Kudeta pemerintahan terhadap Chavez (April 2002), pemogokan perusahaan minyak nasional, konflik Chavez dengan media swasta (khususnya RCTV), kegagalan referendum konstitusi (akhir 2007), pertarungan lewat arbritrase dengan salah satu perusahaan minyak internasional, adalah beberapa peristiwa yang mendapat sorotan secara internasional. Kejadian-kejadian tersebut tidak bisa dipungkiri akibat kebijakannya pemerintahan Chavez yang bertentangan dengan kebijakan neoliberal yang berlaku umum saat ini.

Perkembangan yang terjadi di Venezuela adalah perkembangan yang makin progresif, kendati referendum konstitusi kedua kalinya pada akhir tahun 2007 yang diusulkan oleh kekuatan Chavez mengalami kekalahan. Terbukti dengan makin banyaknya perusahaan dan sektor usahanya dimana kepemilikan negara makin besar.

Sebuah film dokumenter berjudul “No Volveran”, dibuat menjelang dan saat pemilihan presiden Venezuela tahun 2006, dimana Chavez kemudian terpilih kembali sebagai presiden, menampilkan perkembangan gerakan rakyat yang telah beranjak lebih maju dibanding dari periode sebelumnya. Bila Chavez sebelumnya, sebagaimana diungkapkan dalam buku Martha Harnecker “Memahami Revolusi Venezuela”, harus berupaya kuat dan kesulitan dalam mengorganisir rakyat, maka film ini menyuguhkan kita sebuah bentuk kegigihan rakyat mengorganisir diri, dan memperjuangkan tuntutannya ke pemerintah. Jika pada tahun 2004, manajemen buruh, manajemen sendiri, ko-manajemen, dan produksi oleh asosiasi produser masih sebatas tuntutan dan impian, maka sejak tahun 2005 telah menjadi kenyataan.
Salah satunya, yang menjadi sentral dalam film ini, adalah perjuangan buruh Sanitarios Maracay, produksinya berupa jamban keramik. Jangan bandingkan dengan perjuangan/aspirasi buruh di pabrik tersebut dengan Indonesia. Bahkan diantara gerakan buruh lainnya di Venezuela, gerakan buruh tersebut merupakan paling maju. Mereka menuntut nasionalisasi 100% terhadap pabrik tempat mereka bekerja, yakni negara menguasai penuh namun operasional/manajemen dibawah kontrol buruh. Sementara itu bentuk kepemilikan lainnya atas perusahaan-perusahaan yang diambil alih masih pada tahap separuh dimiliki oleh buruh dan separuhnya oleh negara, seperti Invepal (kertas). Dalam bentuk kedua ini, maka peningkatan keuntungan usaha sebagian akan menjadi milik buruh yang bekerja di pabrik tersebut. Belajar dari sistem manajemen buruh Yugoslavia (Michael Lebowitz, 2006) bentuk seperti yang terakhir ini juga masih mengandung persoalan, ketika terjadi persaingan antar pabrik, atau masih berpeluangnya terjadi kontradiksi antara pencari pekerjaan, komunitas yang lebih luas dengan buruh yang langsung bekerja di pabrik tersebut. Bentuk manajemen/kepemilikan lainnya yang ditampilkan adalah kepemilikan saham antara koperasi dan pemerintah. Tentu, bentuk ini lebih mundur dibanding dengan dua bentuk yang diatas, terlebih lagi koperasi tersebut masih memperkerjakan buruh yang bukan menjadi pemilik/anggota koperasi.

Membandingkannya dengan Indonesia

Membandingkan dengan Indonesia, tentu akan banyak perbedaan. Selain perbedaan lokasi geografis dan demografisnya, perbedaan yang paling penting adalah perbedaan kemajuan/konteks gerakan dan karakter pemerintahan yang ada di Venezuela dan Indonesia. Sejak terjadi gerakan protes rakyat mengguncang struktur kelas mapan namun direpresi oleh pemerintah pada tahun 1989, yang dipicu oleh kenaikan harga minyak, yang dikenal dengan peristiwa Caracazo, gerakan rakyat makin masuk ke tengah panggung politik, terutama setelah kemenangan Chavez sebagai presiden pada tahun 1998. Pemerintahan Chavez telah berhasil menulis ulang/memenangkan referendum konstitusi yang lebih pro-manusia (rakyat) tahun 1999, melaksanakan program-program ambisius yang meningkatkan indeks kualitas sumber daya manusia lewat bebagai misi, seperti Misi Barrio Adentro (kesehatan), Misi Robinson (melek huruf), perumahan, dan lain-lain.

Sementara di Indonesia, gerakan rakyat masih menjadi figuran dalam panggung politik nasional. Di luar keberhasilannya membukakan ruang yang lebih demokratis, membukakan panggung politik bagi para pemain baru untuk bersimbiosis-mutualisme dengan pemain sebelumnya, tidak banyak yang bisa dicatat atas prestasi gerakan rakyat di Indonesia, kalau tidak boleh dibilang mengalami kemunduran semenjak pemerintahan Megawati.

Apa yang disuguhkan dalam film No Volveran layaknya sebuah tayangan apa yang terjadi dalam jarak seperempat menuju pucak dalam sebuah pendakian. Di sisi lain, kita baru seperempat pendakian dari bawah kaki gunung. Tentunya, vegetasi gerakan, kesegaran cuaca bagi pemikiran rakyatnya dan keindahan yang tertampil akan mengalami perbedaan kualitas dari kedua ketinggian tersebut.

Kembali ke Realitas Kita

Dengan kondisi gerakan di Indonesia yang masih figuran dan lemah, maka tentu menjadi tugas adalah memperbesarnya. Saat ini, tentu gerakan di Indonesia tidak terilusi akan tercapainya kemenangan dengan segera. Sebagaimana dikatakan oleh Meyer (nama samaran seorang progresif Rusia), kita tidak terilusi kemenangan, kita tidak akan menang saat ini. Pekerjaan sekarang adalah menjatuhkan otokrasi. Tidak menjatuhkan otokrasi karena prospek kemenangan masih jauh adalah tindakan yang salah dan bukan karakter organisasi progresif (David Shubb). Kendati pendapat tersebut dia ungkapkan pada tahun 1905, relatif memiliki ketepatan dengan Indonesia saat ini.

Kelompok yang tidak terilusi jelas melihat bahwa Pemerintahan SBY-Kalla tidak saja bukanlah pemerintahan populis (yang melandaskan kekuasaannya dengan memberi sogokan-sogokan kepada rakyat tanpa upaya serius meningkatkan kapasitas rakyatnya), namun lebih ekstrim dari itu dia adalah pemerintahan pro-investor. Hal tersebut tampak diantaranya dalam kasus Lapindo dimana dana APBN diporot untuk membayar apa yang seharusnya menjadi tanggungan Lapindo Brantas Inc, atau pelajaran dari dihentikannya kasus BLBI.

Isu nasionalisasi bagus untuk diketahui, dan perlu untuk dipahami. Namun memprioritaskan isu nasionalisasi dengan konteks pemerintahan yang ada sekarang, bukanlah tindakan yang efektif, sesuai dengan ketinggian pendakian kita saat ini. Prioritas utama adalah memblejeti pemerintahan yang tidak pro rakyat, dan menarik rakyat luas untuk masuk dan mendukung kelompok gerakan. Dengan membesarnya kekuatan rakyat, (dan menghasilkan pemerintahan yang progresif), barulah tuntutan nasionalisasi menjadi realistis dan memiliki pijakan.
Apa yang disungguhkan oleh film No Volveran adalah gambaran gerakan yang akan terjadi di depan, jika saja kita berhasil melanjutkan pendakian, dengan keberhasilan membangun kekuatan yang lebih besar, dengan kerja-kerja yang terukur kemajuannya sepanjang rute pendakian.

Ditulis oleh;
Pius Tumangger, anggota Aliansi Muda Progresif.

19/03/2008

Peluncuran Hands off Venezuela Indonesia

NO VOLVERAN
Revolusi Venezuela Sekarang

… Inilah Revolusi Bolivarian Venezuela;.
untuk pertama kalinya rakyat menaruh minat pada politik,
dan mengambil kendali di kehidupan mereka…
Akhiri penderitaan; akhiri kemiskinan; sekarang juga!
Akhiri sistem ini pada akarnya. Hidup Sosialis!

Mengundang kawan-kawan

HADIR, BERDISKUSI, DAN BERSOLIDARITAS

Acara:
Peluncuran Hands Off Venezuela (HOV) Indonesia dan Pemutaran Film NO
VOLVERAN "Revolusi Venezuela Sekarang"

Diskusi Publik dengan tema:
"Arah Ekonomi Baru, Demokrasi Baru, dengan Revolusi"

Pembicara:
Eko Prasetyo (Resist Book - Yogyakarta)
Zely Ariane (HOV Indonesia, KPRM - PRD)
Sadikin Gani (Rumah Kiri)

Waktu
Jum'at, 28 Maret 2008, Pk. 13:00 - Selesai

Tempat
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Lt.1
Jl. Diponegoro No. 76 Jakarta.

Informasi
Jesus S. Anam Hp. 02517104542, Sadikin Hp. 081573218225, Zely Hp.
08158126673, Arfi Hp. 085263548807, Arif Hp. 081578503444, Adi Hp.
081315921593.

Term Of Reference
Peluncuran Hands Off Venezuela (HOV) Indonesia dan Pemutaran Film NO
VOLVERAN "Revolusi Venezuela Sekarang"

Jakarta, 28 Maret 2008

Latar Belakang
Distorsi dan penyelewengan informasi oleh berbagai media atas Revolusi
Bolivarian di Venezuela telah melahirkan Hands Off Venezuela, sebuah
kampanye solidaritas untuk Revolusi Bolivarian. Kampanye ini telah
menyebar ke perbagai negara dan sekarang telah memiliki pendukung di
lebih dari 30 negara di dunia. Prinsip dasar dari kampanye ini adalah:

1. Bersolidaritas dengan Revolusi Bolivarian.
2. Menentang intervensi imperialis di Venezuela.
3. Membangun hubungan dengan gerakan revolusioner dan gerakan
serikat buruh di Venezuela.

HOV – Indonesia dibangun sebagai upaya memperluas dukungan atas
Revolusi Bolivarian, propaganda program-program sosialis
(pencapaiannya, proses-prosesnya, dll.) di Venezuela, dan sebagai
wahana belajar bagi gerakan-gerakan revolusioner dan gerakan-gerakan
buruh di Indonesia menuju terwujudnya revolusi di Indonesia.

Tujuan
Kampanye ini bersifat terbuka bagi siapa saja, baik secara individu
maupun kelompok, yang setuju dengan tujuan-tujuan dari kampanye.
Tujuan-tujuan dari kampanye tersebut adalah:

1. Mendukung penuh Revolusi Venezuela, yang telah berulangkali
terbukti menjalankan mandat demokratiknya, dengan berjuang membebaskan
penindasan yang terjadi di Venezuela.
2. Mempertahankan Revolusi dari serangan imperialisme dan agen-agen
lokalnya, yakni oligarki Venezuela.
3. Mendukung konfederasi serikat pekerja, UNT, sebagai corong yang
sah dari gerakan buruh.
4. Memberikan informasi yang benar tentang Venezuela yang selama
ini diselewengkan oleh banyak media, dan memobilisasi dukungan yang
sebanyak-banyaknya bagi tercapainya tujuan-tujuan tersebut.

Selain hal-hal yang telah disebut di atas, HOV – Indonesia bisa
menjadi gerakan bersama guna mengeksplorasi revolusi Indonesia dengan
belajar dari kasus Venezuela.

Peserta

1. Organisasi
2. Individu

Materi

1. Pemutaran Film ( Sinopsis terlampir)
2. Diskusi Panel

Waktu dan Tempat

Tanggal 28 Maret 2008, jam 13.00 – selesai
Gd. LBH lt. 1 Jl. Diponegoro No. 76 Jakarta

Lampiran

Sinopsis Film Dokumenter No Volveran

No Volveran adalah sebuah dokumenter tentang Revolusi: suatu perubahan
radikal atas kepemilikan alat produksi, transformasi kesadaran dan
kebudayaan, serta peningkatan tenaga produktif, yang sedang berkembang
di Venezuela. Melalui apa yang disebut `revolusi damai', proses itu
sedang memobilisasi rakyat untuk membuat mungkin apa yang selama ini
dianggap mustahil oleh banyak orang: mengambil alih industri pokok di
bawah kontrol buruh; mendistribusi kekayaan negeri; melakukan
referendum; melunasi utang luar negeri; memutus hubungan dengan IMF;
mengorganisasikan kekuatan rakyat miskin untuk mengurus negeri dan
kehidupannya sendiri; dan seterusnya, dan seterusnya.
Film berdurasi 90 menit, produksi tahun 2007, ini gempita dengan
kegembiraan rakyat terhadap revolusi. Untuk pertama kalinya dalam
sejarah Venezuela, rakyat memiliki kekuatan untuk memerintah dan
menentukan masa depan kehidupan mereka sendiri.

"… Rakyat telah bangkit, dan mereka tak akan diintimidasi lagi.
Kami akan korbankan segalanya untuk mempertahankan proses ini."
"... banyak ibu rumah tangga berkata, kalau perlu jual tv untuk
beli senapan, itu (pun) akan dilakukan."
"… kami sekarang punya harga diri, dan kami bukan lagi kaum
terpinggir dan terlupakan, melainkan rakyat masa depan... kami adalah
pemimpin…"

Pendidikan gratis, kesehatan gratis, pembangunan perumahan sehat,
makanan sehat dan murah, dan seterusnya, tidak didapatkan rakyat oleh
karena belas kasih atau derma dari orang kaya atau pemerintah. Hak-hak
tesebut didapatkan karena mobilisasi rakyat mempertahankan proses
Revolusi: menggagalkan kudeta dari oposisi sayap kanan (April 2002)
dan boikot para pemiliki bisnis dan industri (Desember 2002),
mengalahkan referendum pemecatan terhadap Hugo Chavez, Presiden
Venezuela (Agustus 2004); memilih Chavez kembali sebagai Presiden
(Desember 2006); membentuk dewan-dewan komunal dan dewan-dewan buruh
sebagai instrumen revolusi.

Revolusi oleh rakyat Venezuela kini dianggap sebagai satu-satunya
jalan untuk dapat merubah nasib, sehingga mereka berbondong-bondong
mempertahankannya, dan mengatakan TIDAK pada Kekuatan Lama (No Volveran).

"...Inilah saatnya, membangun gerakan massa dan menyingkirkan klas
penguasa, agar semua punya kesempatan berkembang secara spritiual,
fisik, ekonomi dan segala aspek kehidupan. Dalam kapitalisme kita tak
bisa."

Sampai Menang.***


04/03/2008

[Debat} Bulan di Atas Kuba

Tempo, Edisi. 01/XXXVII/25 Februari - 02 Maret 2008

Bulan di Atas Kuba
Setelah hampir separuh abad berkuasa, Fidel Castro akhirnya mundur. Pemimpin baru di persimpangan jalan. Jenderal Raul Castro, adik Fidel, salah satu calon penggantinya.

TAK ada yang abadi. Begitu juga penguasa Kuba Fidel Castro dan kekuasaannya. "El Comandante"- begitu Castro disebut-membuat pernyataan penting pada Selasa pekan lalu: dia tak mau lagi dipilih sebagai Presiden Kuba pada sidang Majelis Nasional. Berita itu dirilis lewat situs berita resmi milik Partai Komunis Kuba, Digital Granma Internacional. "Saya tak akan menerima posisi sebagai Presiden Dewan Negara dan Panglima Militer," tulis Castro. Sidang majelis dilangsungkan Selasa pekan ini.

Sejak pertengahan 2006, Castro sakit dan harus operasi di bagian perut. Sejak itu dia tak pernah lagi tampil di depan umum. Tak jelas apa penyakitnya, hanya disebut-sebut dia mengalami pendarahan usus. Itu tampaknya menjadi alasan mundur. Meski tak lagi berpidato, dia masih kerap tampil di televisi serta pada sejumlah foto resmi.

Lelaki berjanggut yang badannya berayun-ayun ketika berpidato itu kini lebih banyak melakukan "refleksi dan meditasi". Sejak pekan lalu, setiap hari ada satu tulisannya di situs Granma. Refleksi Fidel mencakup soal politik, ekonomi, dan ideologi. Terakhir, misalnya, dia menulis tentang politik Amerika lewat lima seri tulisan. Meski kini hanya menulis, Fidel mengatakan tak akan meninggalkan politik. "Ini bukan ucapan selamat tinggal," ujarnya. Dia ingin tetap berjuang sebagai prajurit. Bukan prajurit bersenjata, tapi prajurit ide.

Reaksi pertama tentu datang dari Presiden Amerika Serikat, musuh tradisional Fidel. Saat George W. Bush berkunjung ke Rwanda dan lima negara Afrika lain pekan lalu, ia ingin ada transisi demokratik di Kuba. "Bukan sekadar suksesi di dalam kediktatoran, " ujarnya. Tentu ucapan itu sudah kerap didengar Fidel dari mulut Presiden Amerika.

Sejak berkuasa, Fidel menyaksikan sepuluh Presiden AS naik-turun ke Gedung Putih. Pada 1959, lelaki yang lahir di Biran, Kuba Timur, itu memimpin 800 personel, mengalahkan 30 ribu prajurit diktator Fulgencio Batista. Setelah melancarkan gerilya, dia menduduki Havana, mengusir Batista, lalu menjadi legenda. Pemberontakan itu semula didukung Amerika, belakangan Fidel menyatakan pemberontakan itu sebagai kemenangan komunisme.

Sejak itu, Amerika yang merasa tertipu mencoba menjatuhkan Fidel. Embargo ekonomi dilancarkan, tetapi "El Comandante" bertahan dengan merapat ke Uni Soviet. Lalu, berbagai upaya pembunuhan atas dirinya diorganisir CIA, termasuk peristiwa Teluk Babi pada 1961. Semua gagal dan hanya membuat dia kian membenarkan sikap menindas "elemen kapitalisme dan imperialisme" di Kuba. Ujungnya, Fidel Castro menjadi diktator.

Tekanan Amerika juga membuat Kuba harus mencari akal untuk bertahan. Mungkin itu sebabnya Fidel Castro tetap menggenjot ideologi komunisme. Lihatlah di Calle Obispo, sepotong jalan di kawasan kolonial Old Havana. Ada plakat besar tertempel di museum Komite Pertahanan Revolusi, organisasi warga yang dibentuk Fidel pada 1960. Museum itu baru didirikan tahun lalu. Plakatnya berbunyi: Sr Bush: este pueblo no puede ser enganado ni comprado (Tuan Bush, rakyat kami tak bisa ditipu atau dibeli). Di dinding terpatri pidato-pidato Fidel dan jumlah anggota Komite, yang sampai 2007 mencapai 8,4 juta dari 11 juta warga Kuba.

Setelah Uni Soviet bubar, Kuba memang kerepotan. Ekonominya menciut 35 persen sepanjang 1989-1993. Banyak yang menduga Kuba bakal runtuh, toh negeri cerutu itu bertahan. Fidel segera menyatakan "periode khusus" ketika Kuba boleh menerima modal asing, mempromosikan turisme, terutama hotel, pertambangan nikel, telekomunikasi, dan minyak bumi. Ekonomi sedikit membaik, tapi Fidel terpaksa menghentikannya pada 1996. Akibat modal masuk itu, ada jurang pendapatan di tengah rakyat.

Dibanding Cina dan Vietnam, dua negara komunis yang melaju setelah mencangkok kapitalisme, Kuba memang lebih lambat. Untunglah ada Hugo Chavez, pemimpin Venezuela, yang mengidolakan Fidel. Venezuela lalu ibarat Uni Soviet bagi Kuba. Keduanya melakukan ekonomi barter. Chavez meminta 20 ribu dokter, guru olahraga, dan ahli keamanan dari Kuba untuk bekerja di negerinya. Sebagai balasan, Venezuela mengucurkan minyak sejumlah 92 ribu barel per hari ke Kuba, dan menyetor US$ 800 juta pada 2006, dan US$ 1,5 juta (setara Rp 14 miliar) pada 2007.

Berkat Venezuela, ekonomi Kuba kembali bergerak. Negeri itu bisa punya energi listrik lumayan baik. Apalagi, ketika bantuan kredit dari Cina datang. Kuba mengganti armada bus reot mereka dengan buatan Cina yang lebih hemat bahan bakar. Meski begitu, negara itu masih terbebat problem pendapatan rendah. Biaya hidup pun melangit.

Gaji seorang buruh pabrik, misalnya, berkisar 400 peso. Dokter? Jangan kaget, hanya 700 peso. Angka itu pun kalau ditukar ke dolar di pasar gelap hanya berkisar US$ 17-30 (setara Rp 150-180 ribu). Peso hanya cocok membeli sembako bersubsidi. Setiap bulan, lewat Komite Pertahanan Revolusi, warga dijatah 2,25 kilo beras per orang. Ditambah setengah liter minyak goreng. Kalau stok lagi ada, warga bisa kebagian kedelai, gula, sardin, daging, sabun dan pasta gigi. Ini semua cuma bisa bertahan sepekan.

Meski begitu, soal kesehatan dan pendidikan, Kuba boleh menepuk dada. Mereka bisa menggratiskan rumah sakit dan sekolah, tetapi ada masalah besar juga. Dengan ekonomi morat-marit, sekolah kini kekurangan guru. Banyak tenaga pengajar pindah ke sektor turisme. Di sektor itu duit lebih menjanjikan. Soal fasilitas kesehatan pun kini terancam gawat. Gedung rumah sakit banyak yang lapuk. Peralatan medis dan obat pun terbatas.

Banyak pengamat mengatakan, jika Fidel mundur, maka Kuba bakal berubah. Namun, jika Raul Castro, 76 tahun, yang menggantikannya maka perubahan mungkin tak terlalu besar. Raul adalah adik kandung Fidel, kini adalah pejabat presiden, sejak sang abang absen 19 bulan karena sakit. Dia juga Menteri Pertahanan. Meski dikenal pragmatis, Raul adalah motor dari Partai Komunis Kuba. Pada Juli lalu dia berjanji membuat "perubahan struktural dan konseptual", tapi belum begitu jelas ke mana arah ekonomi dan politik Kuba nanti.

Jika Raul tidak naik, calon kedua menjadi penting. Namanya Carlos Lage, anggota Politbiro dan Ketua Dewan Menteri Negara. Umurnya 51 tahun. Artinya, ketika Fidel dan kawan-kawannya menggulingkan Batista, dia baru tiga tahun. Karena itu, Lage termasuk generasi muda yang tak terkait pengalaman politik kaum tua. Sebagai penasihat ekonomi Fidel, dia diharapkan menjadi motor perubahan.

Sejak Raul Castro pegang kendali, politik Kuba sedikit lebih lega. Para seniman dan penulis agak relatif bebas. Raul juga pernah minta maaf kepada bekas pejabat yang terkena "revolusi kebudayaan" pada 1970-an. Tapi, memang, kritik hanya boleh dilakukan terbatas. Warga boleh menghujat isu ekonomi, dan korupsi birokrasi. Soal politik belum boleh disentil. "Kalau kami bicara jelek soal Fidel, kami bisa di penjara," ujar Rodrigo, warga Havana.

Fidel dan revolusi Kuba kini berada di persimpangan. Rakyat akan mencatat dia sebagai pemimpin setia kepada revolusi. Dia bukan pemimpin korup dan kaya-raya seperti diktator lain. Fidel adalah pemimpin yang tak bisa berpisah dari rakyat, seperti cintanya kepada revolusi. Dan, revolusi baginya tak lain adalah pengabdian absolut memenuhi kebutuhan rakyat.

Suatu kali, setahun setelah menggulingkan diktator Batista pada 1959, filsuf dan sastrawan Prancis Jean-Paul Sartre bertandang ke Kuba. Perjalanan itu akhirnya dibukukan dalam Sartre on Cuba, yang terbit sekitar 1961. Di sana, terekam satu dialog menarik antara Fidel dan filsuf eksistensialisme itu. Sartre bertanya, apakah Fidel akan memenuhi semua permintaan rakyat?

+ "Ya, karena semua permintaan merefleksikan kebutuhan."

- "Bagaimana jika mereka meminta bulan?"

Fidel terdiam. Dia mengisap cerutunya dalam-dalam.

+ "Kalau itu mereka minta, berarti rakyat memang membutuhkannya. "

Fidel baru saja menyatakan "pensiun" pekan lalu. Mungkin, dia mengingat kembali dialog setengah abad lampau. Seperti bulan, kebutuhan rakyat kini tampak terang: perubahan di Kuba.

Nezar Patria (Granma, Economist)

________

-Tanggapan Coen HP-

Dear all,

Membaca laporan Nezar ini, aku seperti membaca laporan
media-media kapitalis liberal, tentang peralihan
kekuasaan di Kuba. Media seperti The Independent atau
Guardian banyak menulis, bahwa perubahan yang kini
terjadi di Kuba, belumlah seperti yang diinginkan.

Coba baca tulisan Rory Carroll di the Guardian pada
25 February, "The dearth of suspense underscored the
authorities' tight control over the island and its 11
million people, many of whom hanker for relief from
poverty harsher than that experienced in eastern
Europe before the fall of the Berlin wall."

Media-media ini juga menilai peralihan kekuasaan di
Kuba tak lebih seperti peralihan kekuasaan di sebuah
kerajaan, atau khas seperti peralihan kekuasaan di
Korsel. Mereka menghendaki peralihan kekuasaan
berlangsung secara "normal" dan "damai."

Kita tentu saja mahfum argumen seperti ini sangatlah
politis, tidak ilmiah. Dimanapun, jika terjadi
peralihan kekuasan yang damai, rejim baru tentu
berusaha melanjutkan kebijakan rejim lama. Coba lihat
dari rejim Clinton yang demokrat ke rejim Bush yang
Neocon, keduanya sama-sama agresor dan menjalankan
kebijakan ekonomi yang sama: neoliberal. Atau
peralihan kekuasaan dari Tony Blair ke Gordon Brown,
apa perbedaan signifikannya? Juga dari Gus Dur ke
Megawati lantas ke SBY, beda substansialnya apa?

Kecuali perubahan kekuasaan itu berlangsung radikal
seperti dari Orde Soekarno ke Orde Soeharto, jelas ada
perubahan kebijakan yang juga radikal. Atau dari
Batista ke Castro.

Nezar juga menulis bahwa setelah berkuasa, Castro
kemudian menjadi diktator. Patut ditanyakan, dalam
pengertian seperti apa kata Diktator yang dimaksud
Nezar? Kalau menggunakan teori pembagian kekuasaan
atas tiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif, maka benar bahwa Castro berkuasa secara
diktator. Tapi, Kuba memang tidak mengadopsi demokrasi
liberal, apalagi jika itu bermakna th way of american
politics.

Saya pernah menulis agak panjang soal demokrasi di
Kuba ini di Jurnal terbitan insist Yogyakarta pada
2005, di mana saya menunjukkan bahwa partisipasi
rakyat dalam setiap jenjang pemilihan umum di Kuba
sangatlah tinggi. Dan mereka yang terpilih dalam
Pemilu, tidak selalu merupakan calon dari Partai
Komunis Kuba.

Selain itu, Nezar menulis bahwa hubungan antara
Venezuela dan Kuba ibarat hubungan antara Uni Sovyet
dan Kuba. "Venezuela lalu seperti ibarat Sovyet kedua
bagi Kuba," tulisanya. Aah, tentu ini pengibaratan
yang berlebihan. Dalam kasus hubungan Kuba-Sovyet,
posisi Kuba adalah subordinat, sementara dalam
hubungan Kuba-Venezuela, hubungan keduanya adalah
setara. Secara politik bahkan keduanya sangatlah
berbeda, walaupun Chavez merupakan pengagum Castro.

Di bagian lain, Nezar menulis bahwa Kritik hanya boleh
dilakukan secara terbatas dan para seniman dan penulis
baru merasa lebih bebas ketika Raul Castro menjabat
sebagai acting president. Nezar mungkin kekurangan
informasi. Dari segi penerbitan buku, misalnya, Kuba
sangatlah produktif. Kita ambil contoh sejak
dimulainya pelaksanaan Festival Buku pada 1982, selalu
diramaikan oleh besarnya animo penerbit dan
pengunjung. Pada pelaksanaan Cuban Book Fair yang
ke-17 tahun ini, misalnya, jumlah penerbit yang
berpartisipasi sebanyak 145 dimana 90 di antaranya
berasal dari luar negeri. Coba bandingkan dengan
jumlah partisipan penerbitan buku di Indonesia.

Mau tahu berapa jumlah buku yang terbit setiap tahun
di Kuba? Pada masa krisis ekonomi tahun 1990an,
jumlah buku yang terbit "cuma" 50 juta eksemplar. Kini
berdasarkan laporan Cuban Books Institute, jumlah buku
yang terbit pasca krisis hanya bertambah "sedikit"
menjadi 60 juta eksemplar. Cuban Institute sendiri
tahun ini hanya bisa menjual buku lebih dari 8 juta
eksemplar. Dari segi topik, kecuali buku-buku mesum,
hampir semua buku ilmiah yang terbit di Barat bisa di
jumpai di Kuba.

Setelah memuji soal prestasi Kuba di bidang pendidikan
dan kesehatan, Nezar menulis bahwa jumlah guru di Kuba
semakin berkurang. Masak iya? Hingga kini, Kuba adalah
negara dengan jumlah guru terbesar di Amerika Latin.
Dari segi komposisi jumlah guru-murid, untuk tingkat
sekolah dasar dari setiap 20 murid dilayani oleh satu
orang pengajar. Untuk tingkat sekolah menengah, satu
orang pengajar melayani 15 murid. Bahkan, di negara
seperti AS, komposisi seperti ini tak akan bisa
ditemukan.

Lalu soal gedung-gedung rumah sakit yang lapuk dan
peralatan yang terbatas. Nezar melupakan satu hal,
bahwa selama lebih dari 40 tahun Kuba diembargo secara
ekonomi oleh AS untuk semua bidang, termasuk fasilitas
medis. Tapi, kalau Nezar pernah menonton film Sicko
karya Michael Moore, tentu Nezar bisa melihat dengan
jelas betapa fasilitas kedokteran di Kuba yang masih
diembargo itu, sangatlah modern. Lebih dari itu,
gedung rumah sakit yang megah, bukan ukuran yang
akurat bagi kelayakan pelayanan medis. Indonesia tentu
contoh terbaik soal ini.

Lantas soal gaji yang cekak. Bung Nezar, orang memburu
uang setinggi-tingginya, karena takut akan resiko yang
mengancam masa depan hidupnya. Takut, jika ia sakit
tak mampu membiayai pengobatannya, takut jika anaknya
gede tak mampu menyekolahkan karena biaya pendidikan
yang melangit, atau takut jika ia tak mampu membeli
barang-barang luks seperti mobil, baju-baju mewah,
emas perhiasan, yang merupakan simbol jati diri
kemodernan. Tapi, jika pendidikan gratis, kesehatan
gratis, dan simbol kemodernan adalah solidaritas,
empati, dan kejujuran, lantas buat apa memburu harta
bertumpuk?

Pada akhirnya, terima kasih untuk laporan Nezar ini.
Saya kira, ini laporan tentang Kuba yang relatif
berimbang. Dan kini, Raul Castro telah resmi menjadi
presiden Kuba, tanpa arak-arak panser dan demonstrasi
massa yang brutal.

-C