26/02/2007

Notulensi Diskusi


“PERUBAHAN AMERIKA LATIN: APA MAKNANYA BAGI INDONESIA?”
Galeri Publik, 22 Februari 2007


Moderator:

· Selamat datang dan terima kasih kepada kawan-kawan semua yang sudah hadir pada diskusi SERIAL kali ini. Mulai hari ini, diskusi semacam ini akan kami selenggarakan reguler, mudahan-mudahan dua minggu sekali atau paling sebulan sekali.
· Telah hadir di sebelah saya, Max Lane, seorang pengajar pada Studi Asia di Universitas Sydney, juga seorang Indonesianis yang telah lama mendedikasikan hidupnya untuk menulis dan membantu perjuangan demokrasi di Indonesia. Ia juga turut menjadi pendukung dan anggota Jaringan Solidaritas Australia-Venezuela (AVSN). Sebuah jaringan yang lebih kurang seperti SERIAL yang menghimpun kampanye dan solidaritas terhadap perubahan di Venezuela di bawah Hugo Chavez. Juga di sebelah kanan saya, Budiman Sudjatmiko, ketua bidang Pemuda dan Mahasiswa DPP PDI Perjuangan. Budiman dan beberapa koleganya berencana akan menghadirkan Chavez dan Morales ke Indonesia dalam waktu dekat.
· Panitia menemukan begitu sulitnya mencari narasumber dan yang bersedia berbicara mengenai tema yang terkait dengan perubahan di Amerika Latin. Beberapa Pengajar/dosen Universitas juga membutuhkan waktu untuk lebih mendalami sebelum bersedia menjadi narasumber. Seperti yang kita semua perhatikan bahwa informasi menyangkut Amerika Latin, khususnya pasca rangkaian kemenangan pemimpin-pemimpin anti neoliberalisme, semakin sering mengemuka di berbagai media nasional. Bahkan tokoh-tokoh nasional juga mulai angkat bicara dan menganalisa program-program jalan keluar ala Amerika Latin. Atas dasar inilah SERIAL menyelenggarakan diskusi pada kesempatan ini, guna memberikan kerangka terhadap makna perubahan di Amerika Latin dan manfaatnya bagi Indonesia.
· Saya berikan kesempatan pertama pada saudara Budiman.

Budiman:

Sejarah berproses secara dialektis. Tahun 1950-an Indonesia telah melakukan transformasi spirit (semangat) untuk melawan Nekolim, yakni melalui KAA. Kemudian pasca tahun 1965 kita mengalami kehancuran.ekspor ide. (Padahal) kita tidak hanya ekspor ide anti-imperialisme tetapi juga ekspor senjata ke Aljazair waktu itu melawan Perancis.

Apa saja sinyal-sinyal yang dapat diambil dari AL bagi Indonesia? Seharusnya diskusi SERIAL ini mampu dihadiri oleh audience yang betul-betul belum tahu (awam). Saya telah memutar film Venezuela (The Revolution Will Not Be Televised) ke audiensi pengurus kecamatan PDI-P di Jawa Barat, dalam pendidikan ajaran Tri Sakti Presiden Soekarno. Responnya terhadap film tersebut baik, ini saya kira yang penting, ada masyarakat awam yang juga mengerti…

Mungkin tidak ajaran Bolivarian bisa diamalkan di Indonesia, seperti ajaran Marhaenisme Bung Karno?

Misalnya, di Jawa Tengah masih tersisa pemahaman anti-imperialisme, misalnya dengan istilah rakyat di pedesaan yang akrab dengan “L'exploitation de l'homme par l'homme”, yang sebenarnya berasal dari meniru ucapan Bung Karno, …Kemandirian bangsa, keadilan sosial...

Ada problem-problem yang tak ada di Venezuela jika gagasan tersebut diterapkan di Indonesia .. yakni adanya fundamentalisme, terorisme, etnisitas, dll. Di AL itu relatif dapat dihilangkan. Morales tak melakukan affirmative action, dengan tak hanya melakukan pembelaan terhadap kelompok etnis, tetapi lebih pada keberpihakan kelas…

... Kegagalan perjuangan AL tahun 1950-an adalah menggunakan senjata, kecuali Chile (Allende)... sisa-sisa perjuangan tahun 50-an masih terjaga semangatnya, inilah yang mampu mendorong perubahan di Amerika Latin. 15 tahun paska-kekuasaan militer adalah kekuasaan kanan-tengah. Paska itu, kelompok kanan tengah telah dianggap gagal.

Nah sekarang, di Indonesia kelompok-kelompok status-quo masih berkuasa. Proses untuk memberikan karakter terhadap perjuangan sedang dilakukan, misalnya di Indonesia punya pengalaman Partindo dengan Marxisme-Soekarnois; di Venezuela juga dengan Republik Bolivariannya, dan rencananya akan digantikan dengan Republik Sosialis.

Barangkali yang bisa dilakukan adalah dengan gerilya ide. Apa yang dilakukan PDI-P di tingkat lokal dengan Hasta Prastia, kesepakatan sekitar 149 bupati tentang Pemerintahan Lokal… saya kira merupakan gerilya ide untuk mempermudah langkah ke depan.

Moderator:

· Point penting yang mengemuka dari pendapat Saudara Budiman tadi, selain soal transfer gagasan dan semangat, yang hendak saya kembangkan adalah menyangkut Bolivarianisme dan Marhaenisme, saya fikir Bung Max Lane bisa memberi pendapatnya menyangkut hal itu.
· Juga beberapa aktivitas seperti yang dilakukan PDIP (individu-individu PDIP—red) di Blitar juga melalui Hasta Prastia itu saya pikir perlu di ingat oleh kawan-kawan semua untuk kemudian dituntut penerapannya.
· Saya serahkan pada Bung Max untuk melanjutkannya.

Max Lane:

Kebetulan saya dosen Sejarah Indonesia di Universitas Sidney dan kita bikin Solidaritas Rakyat Australia untuk Venezuela (AVSN). Ya, ¾ penduduk dunia saat ini hidup dengan pendapatan perkapita kurang dari 2 dollar per-hari, intinya, kemiskinan meningkat tiap tahunnya. Dalam kondisi ini perlawanan menentang globalisasi neoliberal telah terjadi dan meluas dimana-mana, namun sebuah pencapaian tertingginya adalah kemenagan Hugo Chavez. Pemerintahan Venezuela adalah bukti bahwa gerakan sosial/gerakan anti globalisasi berhasil merebut kekuasaan.

Di sana memang terjadi secara ‘mudah’, salah satu yang diuntungkan adalah tidak adanya militer yang menguasai bisnis, sehingga pebisnis tidak lagi memiliki alat represif. Bahkan militer di Venezuela adalah militer pro-rakyat. Makanya sandaran politik bisnis-nya hanyalah pihak luar, dan itu relatif lebih mudah dikalahkan oleh dukungan rakyat.

Tahun 1998 Chavez menang karena rakyat sudah muak dengan partai lama (tradisional). Kesadaran muncul karena revolusi membalikkan keadaan menjadi suatu hal yang baru. Di Indonesia, Soekarno belum sempat berkuasa, kekuatan Kiri belum sempat berkuasa, coba dicek aja, siapa yang jadi menteri dari Kiri pada masa itu, cuma sedikit.

Tapi ada persamaan Soekarno dengan Bolivar: yakni sudah bisa membayangkan Sosialisme. Di Venezuela, bangsa dan rakyat miskin adalah sama, Chavez bilang bahwa kelas menengah dan borjuis tidak memiliki kebangsaan. Soekarno juga unik dalam hal ini. Tapi bagi saya Soekarno bukanlah pemersatu, karena konsep persatuan untuk persatuannya… Chavezlah yang lebih berhasil meletakkan dasar persatuan di kalangan rakyat (miskin—red).

Yang tak saya setujui dari Budiman adalah lokalisme… misi-misi, program, tidak boleh lokalis, tetapi harus nasional, agar saling menunjang dan kuat persatuannya.

Ada yang menarik, kesamaan antara Chavez dengan Soekarno adalah NASAKOM. Chavez juga filsafatnya bersandar pada Marxisme, Nasionalisme (Bolivarianisme), dan Agama (Katolik)—berkali-kali ia mengutip Bolivar, Marx, dan Yesus. Tetapi saya tak terlalu setuju bahwa Soekarno adalah penyambung lidah rakyat karena kuatnya kultus terhadap individu. Sedangkan Chavez justru menyadari kelemahan kultus ini dengan berkali-kali mengatakan bahwa “rakyat harus menjadi penyambung lidahnya sendiri. Jangan tergantung pada orang lain, bangun kekuatanmu sendiri.”

Moderator:

· Poin-poin pentingnya patur kita catat antara lain: Venezuela adalah bukti kemenangan gerakan sosial merebut kekuasaan, konsep bagsa adalah rakyat miskin. Soekarno dan Chavez sama-sama ingin menuntaskan revolusi nasional, kecuali bahwa Chavez semakin menggalakkan penyandaran kekuatan pada komunitas/dewan-dewan/organisas-organsiasi rakyat, yang tidak dilakukan oleh Soekarno.
· Sedikit informasi dan ‘gossip’ yang bisa saya sampaikan, yang semakin menegaskan bahwa jarak bukanlah persoalan geografis yang signifikan untuk transfer perubahan. Misalnya di Jogya sudah ada klinik gratis sumbagan dari Kuba dan Venezuela pasca gempa. Juga sedikit off the record: bahwa pemerintah Venezuela juga menawarkan pembangunan pengilangan minyak di Indonesia. Yang artinya akan ‘menghancurkan’ kartel refinery minyak Singapura dan merupakan kesempatan besar bagi transfer teknologi demi membangun basis kemandirian bagsa. Namun, pemerintah SBY-JK tanpaknya tidak berani menindaklanjuti tawaran ini.

Sesi Tanya Jawab I

Isti (STN):

Saya sepakat pentingnya local content bagi perubahan/sosialisme seperti gagasan Budiman, Chavez begitu menang langsung bagi-bagi tanah kepada rakyat miskin. Belajar dari beberapa negara, saya pikir ada 4 syarat untuk kesuksesan reforma agraria:
· adanya political will;
· militer yang mendukung;
· organisasi rakyat yang kuat;
· serta data yang akurat.

Bagaimana local content reforma agrarian untuk Indonesia ?

Shaleh (JSKK):

Perlu melihat kembali perbedaan rakyat AL dengan Indonesia. Masyarakat AL merupakan masyarakat urban. Juga ada perbedaan kebudayaan. Sedangkan masyarakat Indonesia kaum urban hanya di Jakarta saja….

Masa-masa menjelang kemerdekaan, gagasan-gagasan masuk. Ada yang liberal, sosialis, dll. Dalam panitia persiapan kemerdekaan hal-hal itu dibahas. Kemudian dinamakan dengan Pancasila, sehingga pikiran-pikiran itu bisa menyatu. Bung Karno dalam Marhaenisme: persatuan dan kesatuan—kaum marhaenis yang progresif. Kalau kita baca buku-buku Bung Karno: Marhaenisme adalah Marxisme yang dikembangkan di Indonesia .

Sadikin:

Saya mau berkomentar, kenapa SERIAL hanya mengangkat masalah AL, pada hal ada sejarah kita yang butuh kita angkat dan ungkap kembali kontekstualisasinya di Indonesia. Menambahkan Budiman, musuh revolusi Indonesia adalah feodalisme yang masih kuat.

Moderator:

· Sedikit menambahkan komentar. Mengenai Reforma Agraria, pembagian tanah tidak secara langsung untuk individu, karena pekerjaan mengolah tanah selanjutnya lewat koperasi-koperasi. Itu tambahan informasi dari saya.
· Mengenai pentingnya mengangkat sejarah bangsa sendiri. Tentu saja SERIAL tidak menolak hal tersebut mengingat bahwa kaum muda Indonesia saat ini, akibat Soeharto, menjadi sangat sedikit yang mengenal sejarah bangsanya. Saya pikir melalui diskusi AL kita sekaligus mendapatkan tantangan untuk lebih mengenal sejarah bangsa kita sendiri untuk dapat berubah menjadi lebih baik seperti AL lewat Simon Bolivar dan yang lainnya/
· Sekarang saya persilahkan para pembicara untuk menjawab.

Budiman:

Saya pernah diskusi, diundang oleh para tentara dan intelijen, saya ditanya tentang amandemen, yang hasilnya sangat kentara liberal sekali. Saya bilang bahwa yang penting adalah bagaimana nilai-nilai sosialisme yang memang ada di dalamnya tidak hilang. Di pembukaan kan jelas.

Jadi tugas internasional kita adalah penting, misalnya GNB, KAA. Bayangkan, dalam GNB 2006 lalu dasa sila Bandung disebut-sebut oleh Chavez, sementara SBY sama sekali diam tidak ngomong apa-apa tentang sejarahnya sendiri.

Menurut saya, Soekarno tak semata-mata persatuan demi persatuan, tetapi dari pemikirannya jelas, summen bundeling van alle revolutionare chrachten… persatuan rakyat dari kelompok revolusioner. Dalam buku Soekarno juga jelas bahwa kapitalisme dan feodalisme dalam Negara sendiri juga harus dilawan.

Saya melihat masih ada potensi rakyat untuk melakukan perubahan, di desa-desa meskipun masih mistis…masih ada warisan ideologis, konstitusional, yang harus dijaga dan ditingkatkan. Jadi tugas kita inilah yang memang harus membahasakan Marxisme agar mudah dipahami rakyat.

Saya mengambil contoh Hasta Prasetia, ini merupakan awal saja. Ada kesepakatan untuk menerapkan populisme pemerintah daerah yang dipimpin PDI-P, ya meskipun belum berjalan, tapi hanya 5 persen. Tapi ini kan tahapan. Saya melakukan internal struggle, dan tugas kita menciptakan enclave-enclave baru yang masih potensial kita perjuangkan.

Ya, saya sepakat, bahwa reforma agraria bukanlah bagi-bagi tanah, tetapi koperasi-koperasi. Menteri Prakosa kan pernah menggagas hal ini dulu, dan tantangan bagi setiap upaya semacam ini adalah komunis-phobia di kalangan intelektual kita.

Max Lane:

Bukan hak saya untuk membicarakan taktik-taktik perjuangan di Indonesia. Saya hanya membandingna Soekarno dengan Chavez. Sisa-sisa feudal bisa berkembang, Chavez menyadari itu, sehingga ia tidak mau melayani kultus individu. Saat ini, Marhaen itu sudah pindah ke kota (terutama Jawa), masyarakat Indonesia saat ini adalah masyarakat tanpa Industri. Gejalanya sama seperti Venezuela, meskipun disana memang ada industri-industri dasar yang cukup kuat seperti baja, dll. Di Venezuela klas semi-ploretariat jumlahnya semakin besar, di Lakosa jumlah suara terbesar pendukung Chavez adalah kaum miskin perkotaan. Budaya kaum urban sendiri, sebagai korban kehancuran industri tersebut, adalah kebudayaan campur-aduk, belum jelas identitasnya.

Ya, benar. Tanah yang dibagi-bagi Chavez adalah tanah yang tak dimanfaatkan, di Indonesia tak ada tanah yang tak dimanfaatkan. Tapi harus dipahami bagi tani Indonesia yang penting kan bukan tanahnya saja, tetapi juga industri. Karena kebutuhan penduduknya adalah industri, modal asing tak tertarik untuk mengembangkan/membangun industri di Indonesia, kecuali hanya sebagai pasar dan sebagai lahan yang dihisap industri tambang dan mineralnya. Mereka melihat, ngapain bikin industri di Indonesia, pendapatan perkapitanya rendah, pasarnya tidak akan laku.

Jadi ada potensi kita, sumberdaya yang dibarengi mobilisasi tenaga produktif untuk menjadi kekuatan politik. Produktivitas rakyat kita nihil akibat liberalisasi. Sastra seharusnya juga digunakan untuk memobilisasi rakyat banyak.

Budiman:

Yang perlu kita waspadai sekarang adalah UU PMA, yaitu penanaman modal asing selama 99 tahun, dan juga di dalamnya ditegaskan jaminan tidak akan adanya nasionalisasi—SBY sendiri sempat menyatakan hal tersebut di depan media. Nampaknya mayoritas fraksi DPR akan menyetujui.

Moderator:

· Sedikit saya tambahkan menyangkut persoalan nasionalisasi: bahwa tidak benar bahwa nasionalisasi itu menakutkan pemodal asing. Nasionalisasi seperti yang dilakukan Venezuela membuktikan bahwa investor asing masih mempertahankan investasinya walau hanya dengan keuntungan 17% saja—sisanya dikuasai negara. Pertimbangannya ada banyak, antara lain meskipun untuk sedikit—tapi tokh tetap masih untung, dan yang terpenting adalah iklim usaha yang memang bersih—tanpa biaya-biaya siluman—dan produktivitas rakyat yang secara riil meningkat.
· Oya, sedikit mengingatkan kawan-kawan semua, bahwa ketika kita mendiskusikan AL, maka tak bisa tidak, kita akan banyak berbicara soal Venezuela dan Kuba, juga Bolivia. Karena menurut kami, merekalah kunci dan katalisator perubahan di AL saat ini.
· Untuk sesi selanjutnya secara khusus saya ingin mengundang peserta diskusi dari Hubungan Internasional—jika ada? Menurut saya, situasi internasional saat ini memberikan peluang bagi arah politik luar negeri kita. Peluang untuk tidak sekadar menjadi ‘good-boy’-nya Amerika Serikat.

Session tanya jawab II

Sadikin:

Saya ingin bicara spesifik gerakan rakyat dan mahasiswa di Venezuela, apakah mereka buru-buru membangun organisasi atau menyelesaikan diskursus ide terlebih dahulu? Saya mementingkan bahwa ide harus tuntas dulu, kenapa harus buru-buru bangun organisasi.

Rudi (LMND):

Menurut saya, Soekarno lebih tepat jika dibandingkan dengan Arbenz (Haiti) atau Peron (Argentina), yaitu sama-sama kampanye tentang anti-imperialisme, namun kekuatan kontra-revolusioner tidak bisa dibendung. Chavez berbeda karena mampu membendung kontra-revolusioner. Kalau Soekarno, mungkin hanya Barisan Pendukung Soekarno saja dan beberapa organisasi terutama PKI dan ormas-ormasnya yang mendukungnya.

Max Lane:

Saya belum begitu yakin ada kesamaan antara Soekarno dengan Peron atau Arbenz. Yang sama adalah anti-imperialismenya mungkin. Bukan pada cepat jatuhnya. Soekarno kelihatan ambigunya. Karena ia mengaku penyambung lidah rakyat, apa rakyat tak punya penyambung lidahnya sendiri. Sejak kegagalan gerakan rakyat (1965) belum bangkit lagi. Oleh karena itu, saya menghargai upaya PRD yang memulai pergerakan dari nol.

Kelemahan total gerakan Indonesia adalah dalam hal melawan sisa feudal, dan mampu belajar sendiri. Tentang organisasi-organisasi di Venezuela, memang ada partai-partai kader tapi kecil. Pekerja-pekerja organizer di Venezuela merupakan orang yang punya pengalaman banyak. Organisasi-organisasi ini didukung oleh kelompok-kelompok dan individu.

Bagi Indonesia, politik luar negeri kuncinya adalah membangun aliansi melawan AS, yang selama ini menguasai Indonesia dan sumber kekayaannya lewan Exxon dan Chevron, sebagai yang terbesar. Saat ini jargonnya Indonesia sudah ‘bebas’ dari IMF, sudah membayar hutang, tapi harus diingat bahwa Indonesia tetap terikat dengan agreements IMF yang lain. Dan jangan lupa Indonesia masih merupakan anggota IMF.

Budiman:

Periode-periode sejarah ‘45 dan ‘98 adalah tradisi jagoan. Stimulusnya adalah berkelompok semata, tidak berkelompok dan beride. Motivasi menjadi jagoan lapangan menjadi penting. Ambil ide organisasi tertentu, kemudian membikin organisasi baru sendiri. Lihat, kelompok-kelompok Kiri di Indonesia: ide sama, tapi organisasi lain-lain. Hasilnya mencerai beraikan potensi yang ada. Sehingga butuh sebuah organisasi yang mampu menjadi—seperti yang pernah digagas oleh Bung Max ini di era ’90-an—pole of attraction. Selain itu, harus ada individu yang kuat. Saya di PDI-P mencoba berjuang dan menciptakan pole of attraction tersebut.

Sebenarnya dalam tradisi gerakan Morales di Bolivia riwayatnya lebih panjang dan lengkap, yakni gerakan sosial dari bawah, jadi Bolivia juga merupakan pelajaran berharga untuk melahirkan kepemimpinan alternative.

Danial:

Problemnya adalah warisan ideologi, politik, dan organisasi. Ini hilang bahkan sebelum ‘65. Ini dapat dilihat dalam kegagalan KMB. Warisan itu bergeser dari kanan ke tengah. Warisan yang hilang dan paling berharga adalah perlawanan. Soekarno pernah bilang paska-nasionalisasi.

Di Venezuela sejak Chavez berkeliling ke kelompok Marxis, Trotskist, Maois di era ’80-an semangat meluaskan perlawanan ini tak pernah berhenti. Dan mampu mempertahankannya, sehingga menghasilkan kudeta melawan pemerintahan pro neoliberal tahun 1992. Propaganda anti-kudeta terjadi di Caracas. Menurut saya, justru Chavez sangat menekankan pada organisasi..

Togar (KPO-GMKI):

Chavez ada yang memback-up secara politik. Sekarang apakah relevan dengan situasi Indonesia sebagai bentuk inspirasi perubahan, misalnya dalam konteks demokrasi prosedural. Marx banyak dibaca dan dipraktekkan di sana .

Budiman:

Saya tidak setuju kalau warisan hilang, warisan bukan hanya perlawanan tetapi juga metode perjuangan, ide-ide, arsip-arsip. Ini total putus sejak 1965.

Harus ada lanjutan diskusi tentang “bisakah kekuatan Kiri di Indonesia berkuasa”. Menurut saya perlawanan tidak hancur, tapi tidak terpimpin. Gagasan melawan waktu menjalankannya itu hilang. Kesadaran berkuasa itu tidak ada. Masih banyak aktivis takut gerakan untuk kekuasaan.

Surya:

Menurut saya, dalam makna yang terjadi di Venezuela relevansinya bagi Indonesia adalah Chavez berani menyampaikan seuatu yang baru dan membangunnya untuk Venezuela—walaupun pada awalnya ‘sendirian’ (kudeta 1992). Bung Budiman harus tahu, saya sempat bertemu dengan salah seorang anggota PDIP, bernama....... di Sumatra Utara, yang malah menyatakan bahwa tidak ada partai revolusioner selain PRD. Ia juga bilang bahwa PDIP bukan partai revolusioner, bahwa alat konservatif ini tak bisa dipakai rakyat yang butuh alat alternative. Rakyat butuh alat yang baru.

Moderator:

Baiklah kawan-kawan sekalian, saya pikir beberapa target yang mengesankan berhasil kita capai hari ini, yakni, transfer semangat; gagasan dari Amerika Latin, bahkan hingga berhasil memancing kita untuk kemudian lebih lanjut menggali kekayaan sejarah perlawanan kita sendiri, tentu saja untuk perubahan di negeri kita sendiri. Terima kasih atas kehadirannya, kami sangat mengharapkan kawan-kawan yang hadir hari ini juga akan hadir pada diskusi selanjutnya. Kami juga mengundang kawan-kawan yang tertairk untuk menjadi sukarelawan di dalam SERIAL, kita belajar bersama-sama dan menarik manfaatnya untuk kemajuan bangsa kita. Bagi yang tertarik silahkan menghubungi emaila
ada.alternatif@yahoo.com serta kunjungi www.amerikalatin.blogspot.com, seperti yang tercantum di dalam spanduk. Wassalam.

22/02/2007

Perubahan di Amerika Latin (AL); Apa Maknanya Bagi Indonesia?




Pasca rangkaian kemenangan para pemimpin anti-neoliberalisme di sebagian besar negeri di Amerika Latin, konsolidasi kekuatan yang beroposisi terhadap kebijakan neoliberal dan dominasi AS pun cenderung menguat. Panggung politik dan ekonomi dunia unipolar saat ini mulai mendapat tandingan oleh aliansi antara Chavez-Venezuela; Castro-Cuba; Morales-Bolivia; Da Silva-Brazil; Correa-Ekuador; Ortega-Nicaragua bersama pasangnya gerakan rakyat yang menolak neoliberalisme di AL.



Sebuah kerjasama regional dan internasional yang baru pun dibentuk (ALBA). Seiring dengan itu perubahan prinsip-prinsip kerjasama yang lebih berlandaskan pada solidaritas dan kemajuan bersama pun diterapkan, baik lewat mekanisme kerjasama baru (ALBA) maupun di dalam lembaga-lembaga kerjasama yang sudah ada (MERCOSUR). Hal ini terwujud dengan bantuan tenaga medis; permodalan dan teknologi; pengolahan minyak mentah, bibit dan pupuk, dsb.



Terlepas dari perbedaan karakter, konsistensi, dan derajat program-program ekonomi alternatif yang sedang dijalankan di AL, ada satu persamaan semangat yang diterima luas oleh sebagian besar pemimpin kiri AL dan gerakan rakyatnya, yakni: Neoliberalisme bukan jalan keluar, dan dominasi AS harus segera diakhiri. Ada sebuah harapan yang berhembus dari kawasan ini ke berbagai belahan negeri di dunia, yang semakin sulit dibendung, yakni: Ada alternatif selain neoliberalisme.



Alternatif tersebut antara lain berbentuk:



  1. kemandirian politik dan ekonomi (melepaskan diri dari jeratan hutang dan dikte lembaga kreditur neoliberal semacam IMF; menolak AFTA/NAFTA);
  2. kerjasama internasional yang berazaskan solidaritas dan kemajuan bersama (ALBA);
  3. kebangkitan partisipasi rayat yang termarginal (demokrasi baru yang partisipatoris);
  4. pemerataan teknologi dan peningkatan sumber daya manusia (lewat pendidikan dan kesehatan gratis, teknologisasi pertanian, pembangunan pusat-pusat pengolahan minyak mentah, komputerisasi, dsb); serta
  5. perlindungan lingkungan (pada tahap awal dengan pembangunan pusat-pusat energi alternatif dan penghematan konsumsi minyak).

Juga ada gerakan yang dengan sadar dan sistematis tak berhenti melawan sekaligus membangun sebuah sistem kemasyarakatan yang baru; sebuah demokrasi yang baru. Ada politik yang baik, yang dihasilkan dari persatuan rakyat yang berjuang melawan penyingkiran hak-haknya.





Maknanya Bagi Indonesia



Saat ini, semakin ramai pemberitaan menyangkut perubahan di Amerika Latin oleh berbagai media massa dan elektronik di tanah air. Diikuti juga dengan beberapa respon tokoh-tokoh politik nasional terhadap perubahan tersebut. Media massa telah membuat belahan Amerika Latin menjadi dekat dengan negeri kita. Selain itu, berbagai instrument hubungan internasional juga membuatnya tak jauh, sebut saja diantaranya Gerakan Non-Blok; OPEC; PBB, dan G77.



Sebagai pelaksana kebijakan Structural Adjustment Program (SAP) yang setia sejak rezim Orde Baru, Indonesia saat ini-semakin jauh dari cita-cita Soekarno-telah jatuh menjadi salah satu negeri tanpa kedaulatan ekonomi dan politik yang sejati. Dominasi modal asing, ketergantungan ekonomi, kehancuran sumber daya manusia-rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan, dan teknologi, jeratan hutang, de-industrialisasi, antara lain adalah kenyataan pahit yang puluhan tahun terus kita jawab dengan resep-resep neoliberal IMF dan Bank Dunia. Salahkah bila kemudian kita bertanya: ”Apakah itu satu-satunya jalan keluar? ”Bila tidak, maka sampai kapan?” dan kemudian: ”Bagaimana jalan keluarnya?”



Sebagai negeri-negeri yang sama-sama berada di bawah penjajahan ekonomi neoliberal, maka sangatlah besar manfaatnya mengambil pelajaran dari sebuah kawasan (AL) yang dengan sukses mampu melawan dikte ekonomi neoliberal dan dominasi AS. Layaknya perjuangan pembebasan nasional melawan kolonialisme, negeri-negeri di Asia Afrika sekalipun, yang juga berbeda kultur dan sejarahnya, dapat bersatu atas nama semangat kemerdekaan dari kolonialisme.



Disinilah relevansi Amerika Latin coba kami angkat sebagai sebuah cermin perubahan nasib bangsa, demi sebuah Indonesia baru yang bermartabat, setara, dan sejahtera.***



Jakarta, 22 Februari, 2007







powered by performancing firefox

20/02/2007

Undangan Diskusi: "Perubahan di Amerika Latin; Apa Maknanya Bagi Indonesia?"

Solidaritas Rakyat Indonesia untuk Alternatif Amerika Latin
mengundang kawan-kawan untuk menghadiri:
Diskusi Publik Dwi-Mingguan
SERIAL, Bercermin dari Amerika Latin.
Untuk Bulan Februari, akan mengambil tema:
”PERUBAHAN DI AMERIKA LATIN; APA MAKNANYA BAGI INDONESIA ?”

Dengan pembicara:
Max Lane (Pengajar pada Asian Studies, School of Languages and Cultures, University of Sydney / anggota Australian-Venezuelan Solidarity Network)
“Venezuela-Indonesia, Chavez-Soekarno, Sebuah Perbandingan, dan Apa Relevansinya Sekarang?”
Budiman Sudjatmiko (Res Publica/Kabid Pemuda-Mahasiswa DPP-PDIP)
"Mengapa Mempelajari Perubahan di AL Bermanfaat bagi Indonesia ?"

diselenggarakan pada:
Hari Kamis, 22 Februari, 2007;
Pukul 13.30 s/d selesai;
Di Galeri Publik Institut for Global Justice (IGJ)
Jl.Diponegoro No.9 Jakarta Pusat,
Telp 021-31931153 / Fax 021- 3193956

Acara:
Pembukaan
Pertunjukan Film Dokumenter Mexico dan Venezuela
Diskusi
Snack

Tempat terbatas (hanya 50 kursi) dan gratis.
Untuk keterangan lebih lanjut, hubungi:

Contact Person
:
0817-5466310 (Sari)
0815-6077228 (Gede)

19/02/2007

Dapatkan buku dan film "Ada Alternatif! Bercermin dari Amerika Latin "



“Ada Alternatif! Bercermin dari Amerika Latin”

Pada tanggal 15 Agustus 2006 telah dilangsungkan di Jakarta sebuah pertemuan dan diskusi untuk mensosialisasikan kepada umum berdirinya Solidaritas Rakyat Indonesia untuk Alternatif Amerika Latin (SERIAL). Pertemuan dan diskusi tersebut dihadiri oleh berbagai organisasi, individu, perwakilan partai dan pihak Departemen Luar Negeri.

Di samping peluncuran dan diskusi, pada kesempatan ini juga telah diluncurkan sebuah buku baru, yang berisi bahan-bahan atau informasi mengenai situasi yang menarik di Amerika Latin, termasuk model dan strategi alternatif yang dipimpin oleh Venezuela bersama Kuba dan Bolivia saat ini. Di antara bahan-bahan itu terdapat pidato presiden Venezuela, Hugo Chavez, di hadapan parlemen Venezuela tahun 2005.


Buku yang diterbitkan oleh SERIAL ini berjudul "Perubahan Sejati Terbukti Bisa!", dan diterbitkan atas usaha bersama antara Institute for GLobal Justice (IGJ), Lembaga PEMBEBASAN, Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).


Dalam acara tersebut, sekaligus dire-publikasikan sebuah film dokumenter mengenai perjuangan Venezuela melawan imperialisme dan kudeta terhadap Hugo Chavez dalam teks Indonesia, yang berjudul ”Revolution Won’t be Televised”


Buku baru ini dapat diperoleh dengan harga Rp 5.000,-, sedangkan VCD Revolution Wont be Televised seharga Rp. 10.000,-. Bagi yang berminat mendapatkannya, ataupun yang tertarik untuk berpartisipasi di dalam SERIAL silahkan menghubungi alamat-alamat berikut ini:


SERIAL (Solidaritas Rakyat Indonesia untuk Alternatif Amerika Latin)

Jl.Diponegoro No.9 Jakarta Pusat,

E-mail: ada.alternatif@yahoo.com, ada.alternatif@gmail.com.

Telp 021-31931153 / Fax 021- 3193956

Hp. 0815-8126673


Jl. Raya Depok No. 17 Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640

Telp. 021-68240040

HP. 08175466310

Kami juga mengajak anda untuk berpartisipasi menyumbangkan pemikiran mengenai aspek-aspek alternatif yang saat ini sedang meluas di Amerika Latin dalam bentuk tulisan yang akan dimuat di dalam website http://amerikalatin.blogspot.com/.

Terima kasih

13/02/2007

Nasionalisasi Sumber Daya Alam Indonesia; Kapan?

Oleh: Antonius Priyani Widjaya*

KETIKA peringatan hari bumi baru saja berlalu, Bolivia mengumumkan langkah kebijakannya untuk menasionalisasikan sumber daya alamnya (sektor migas). Kebijakan pemerintahan Evo Morales ini bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, nasionalisasi ini bertujuan untuk menjadikan negara Bolivia sebagai "majikan" dari kekayaan sumber daya alamnya dan memaksa (memangkas keserakahan) seluruh perusahaan asing yang menghisap minyak dan gas mereka.

Kebijakan presiden Morales ini menjadi sebuah langkah kontroversi bagi dunia internasional yang didominasi negara-negara barat yang menganut paham ekonomi kapitalis. Aturan ini dianggap "perlawanan" dan "kiri" dalam arus globalisasi hari ini, langkah ini disebut sebagai langkah mundur dalam mainstream skema politik ekonomi internasional yang memiliki corak produksi individualis.

Perusahaan transnasional dan multinasional yang hampir seluruhnya berasal dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa dibuat kalang kabut untuk melakukan negoisasi ulang dengan perusahaan minyak nasional Bolivia (YPFB) tentang peran serta mereka sebagai "mitra" pemerintah Bolivia dalam melakukan eksploitasi sumber minyak dan gas. Bayangkan, renegosiasi untuk menyepakati YPFB yang akan menjadi pemegang saham mayoritas dalam perusahaan-perusahaan energi asing yang beroperasi dinegara itu hanya dilakukan dalam waktu 180 hari saja.

Kebijakan berani dan cerdas bangsa Bolivia ini memberikan pelajaran kepada kita tentang arti sebenarnya dari keberpihakan penguasa kepada rakyat, tentang arti sebenarnya dari tugas negara mengelola kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat, kebijakan ini (secara langsung dan tidak langsung) menaikan posisi tawar pemerintahan Bolivia.

Adalah sebuah kepantasan yang hakiki, bila seluruh kekayaan alam dikelola oleh negara untuk kemakmuran seluruh rakyatnya. Adalah hak dasar seluruh rakyat didalam suatu negara untuk sejahtera, bangkit dan berdaya melalui potensi kekayaan sumber daya alamnya. Adalah tidak melanggar secuil kesepakatan pun di atas bumi ini bila pemerintahan sebuah negara mensejahterakan rakyatnya dari hasil kekayaan sumber daya alam yang syah dimilikinya (berada dalam wilayah negaranya) dan tidak ada larangan sedikitpun bila negara mencerdaskan rakyatnya bukan dari utang luar negeri, dan pemerintah Bolivia secara konkrit melakukannya.


Bagaimana dengan Indonesia ?

Tidak berbeda nasibnya dengan negara-negara Amerika Latin, Sejak jaman kolonial klasik kekayaan alam bangsa ini telah dihisap pihak asing. Sejarah penjajahan bangsa ini menjelaskan kepada kita tentang monopoli dagang hasil bumi Indonesia oleh Serikat Dagang Hindia Belanda. Pengangkangan kekayaan alam nusantara ini kemudian dilakukan dengan kekuatan senjata. Dengan letak geografis yang strategis, Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa dan memiliki jumlah penduduk terbesar ke 4 di dunia, menjadikan bangsa ini target utama kaum imperialisme.

Sejarah Indonesia yang fondasinya dibangun oleh kolonialisme Hindia Belanda menyebabkan tatanan rumit yang membuat keengganan untuk membongkar sistem pembangunan bentukan kolonialis menjadi suatu sistem pembangunan yang lebih mandiri (ketimbang bergantung pada inisiatif negara-negara imperialis). Sejak jaman revolusi sampai hari inipun sejarah mencatat, bahwa rezim berkuasa merupakan kepanjangan tangan kaum imperialis untuk memantapkan kondisi "rust en orde" demi kenyamanan bercokolnya imperialisme di bumi Indonesia.

Fakta ini dapat dilihat di dalam Manifesto Politik Muh. Hatta (Wapres RI pertama) pada tanggal 1 Nopember 1945, berbunyi: "Kita mengetahui, bahwa kedudukan negeri kita meletakkan suatu tanggung-jawab yang besar di bahu kita terhadap keluarga dunia, kita tidak membenci bangsa asing, juga tidak benci kepada bangsa Belanda........ Malahan kita mengetahui dan mengerti benar, bahwa untuk keperluan negeri dan bangsa kita di dalam beberapa tahun yang akan datang ini, kita akan memerlukan pertolongan bangsa asing di dalam pembangunan negeri kita berupa kaum teknik dan kaum terpelajar, pun juga kapital asing."

"Didalam memenuhi keperluan itu kita tidak akan menghindarkan kenyataan bahwa orang yang berbahasa Belanda, mungkin akan lebih banyak dipergunakan karena mereka telah ada disini dan lebih biasa akan keadaan disini. Sehingga pelaksanaan kemerdekaan kita itu belum perlu berarti kerugian besar untuk pihak Belanda, jika diukur dengan mata uang atau jiwa, akan tetapi tentu sekali berarti perubahan yang sebesar-besarnya di dalam kedudukan politiknya."

"Kita yakin, bahwa tanah kita yang kaya-raya ini jika diusahakan dengan sesungguhnya untuk meninggikan derajat penghidupan bangsa kita serta dunia umumnya akan masih banyak benar memberi ruangan untuk tenaga dari seluruh dunia, terutama dari Amerika-Serikat, Australia dan Filipina untuk turut dalam pembangunan negara dan bangsa kita."

"....... Dengan pengakuan kemerdekaan kita, kita akan menanggung segala yang patut kita tanggung menurut kedudukan kita, segala hutang Hindia Belanda sebelum penyerahan Jepang dan patut menjadi tanggungan kita, kita akui sebagai hutang kita. Segala milik bangsa asing dikembalikan kepada yang berhak serta yang diambil oleh negara akan dibayar kerugiannya dengan seadil-adilnya......."

(Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, hal.: 149-150.)

Tentu saja contoh serupa dapat kita temui dalam perjalanan Indonesia pasca kolonialisme Hindia Belanda. Apalagi ketika negeri-negeri imperialis melahirkan lembaga-lembaga seperti World Bank, International Monetary Funds (IMF) hingga World Trade Organisation (WTO) itu semua semakin menggamangkan keinginan untuk menghindar dari kekuasaan imperialisme. Sekarang Imperialisme ditampilkan dengan selubung globalisasi. Seolah-olah globalisasi menjadi sebuah keharusan sejarah.

Pelajaran penting dari sejarah pengelolaan sumber daya alam di negeri ini adalah rakyat tidak berdaya untuk mengakses sumber daya alam, posisi rakyat adalah penonton dan kuli dari penjarahan kekayaan alam di wilayah kelola masing-masing, dan lainnya adalah eksploitasi yang berlebihan dan praktek korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam.

Pelajaran penting dari banyak negara lain tidak menarik bagi para pemimpin kita, karena tidak ada kemauan (dan keberanian) untuk membangun negeri ini dengan mandiri, bebas dari relasi produksi kapitalistik. Membebaskan negeri ini dari penindasan dan penghisapan tidak dapat kita harapkan dari para wakil dan pemimpin, dan hari ini menjadi tugas kita sebagai rakyat untuk menyadarkan sesama sebagai rakyat untuk kritis dan menuntut negara melakukan kewajibannya mensejahterakan kita yang sementara ini masih sebagai rakyatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.**



*) Penulis adalah Aktivis Institut Dayakologi-Pontianak