07/11/2014

Ribuan Perempuan Berjuang untuk HAK di Pertemuan Perempuan Nasional Argentina



Dari 13 – 15 Oktober 2014, Salta, ibu kota provinsi Homonim sebelah barat utara Argentina, akan penuh dengan ribuan perempuan dari penjuru negeri untuk merayakan Pertemuan Nasional Perempuan (ENM)  di Argentina yang ke 29. Pertemuan ini bertujuan untuk mendiskusikan dan membahas ketidaksetaraan gender, kekerasan gender termasuk bentuk femicide yang paling esktrim, budaya perkosaan, dan pelanggaran hak perempuan, seperti beragam bentuk diskriminasi terhadap perempuan seperti diskriminasi di tempat kerja.

Cerita tentang ENM kembali ke tahun 1986, saat pertemuan pertama terselenggara di Buenos Aires di saat Argentina massih tidak memiliki hukum perceraian dan otoritas orang tua yang hanya dipegang oleh ayah saja. Beberapa workshop pun diorganisir termasuk partisipasi politik dan perempuan, Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Identitas, Gereja dan Perempuan, Stereotipe Seksual dalam Pendidikan, Seksualitas, Keluarga Tradisional dan Model Keluarga Baru dan Perempuan Adat.

Banyak perkembangan sejak tahun 1980an, termasuk disahkannya 26.364 Undang- Undang pencegahan dan hukuman terkait perdagangan manusia dan pertolongan kepada korban pada tahun 2008, legalisasi pernikahan sesama jenis di tahun 2010, 26.618 Undang- Undang tentang pernikahan setara (Dalam bahasa Spanyol  Ley de Matrimonio Igualitario, yang memodifikasi hukum perdata) dan pada tahun 2012 disahkannya 26. 743 Undang – Undang yang dikenal dengan Undang-Undang Identitas Gender.

Meski demikian, masih banyak perjuangan yang belum menang, dan isu lama maupun baru masih perlu pendiskusian dan pandangan. Partisipan akan membahas berbagai isu itu dalam 60 workshop yang diorganisir tahun ini. Beberapa workshop membahas beberapa tema seperti stereotipe, termasuk pendiskusian “Perempuan dan Media”, yang fokus pada stereotip di media yang mereproduksi kekerasan simbolik. Panel lainnya termasuk “Perempuan dan Feminisasi Kemiskinan”, dan workshop tentang “Perempuan dan Seksualitas/ Lesbianisme/Biseksualitas”, yang membonkar stereotipe dan phobia/kebencian, yang diciptakan oleh doktrin agama, heteroseksual dan patriarki.

Para partisipan akan mendiskusikan isu kekerasan dalam workshop berjudul “perempuan dan feminiside” dan “Perempuan dan Kekerasan”, yang memunculkan debat yang menghasilkan beberapa tuntutan, termasuk deklarasi darurat nasional kekerasan terhadap perempuan. Para partisipan dalam worksop “Perempuan dan Perdagangan Perempuan/Prostitusi” menyimpulkan bahwa prostitusi bukan sebuah pekerjaan tapi keekrasan pada perempuan dalam bentuk seks,yang dengan demikian tidak ada istilah “klien” tetapi “pengguna prostitusi” yang menekan perempuan masuk ke prostitusi dan keterlibatan negara dalam jaringan prostitusi dan perdagangan manusia harus dibongkar.  

Tema lainnya adalah pertemuan dimana tema identitas dimunculkan dalam diskusi “Perempuan dan Keluarga” dan “Perempuan dan Populasi Masyarakat Pribumi”. Workshop – workshop itu juga memunculkan isu masalah akses dan partisipasi dalam sebuah diskusi berjudul “Perempuan dan Akses Terhadap Tanah, Tempat Tinggal dan Jasa” dan “Perempuan dan Partai Politik”

Sebuah tema yang memiliki workshopnya sendiri dan punya pengaruh lintas manusia adalah Perempuan dan Negeri Sekular. Tentang hal ini ada sebuah alasan mengapa pada tahun 2013 organiser ENM memilih Salta sebagai pertemuan berikutnya untuk ke dua kalinya. Salta adalah sebuah provinsi yang secara virtual bukan negeri sekuler, dimana agama merupakan sebuah subyek mandatori di semua sekolah publik dan gereja Khatolik masih memiliki kekuasaan anakronistik atas politik dan kehidupan sehari- hari. Ini dibuktikan dengan komentar-komentar yang kami temukan ketika memasuki kota ini, termasuk saya seperti “pelacur”, “pulang sana” ... dan bahkan “Pikirkan tentang Tuhanmu sebelum bicara!” Paradigma dominan ini juga ditunjukkan dengan kebingungan dari sekelompok gadis yang mendekati kami dan bertanya tentang apa pertemuan ini dan setelah beberapa menit bicara, ia memberitahu kepad akami bahwa mereka tertarik dengan topiknya, namun mereka menemukan bahwa gagasan mengorganisir diri mereka sendiri unutk mendiskusikan topik ini nyaris tak terpikirkan. Ketakutan warga lokal yang mendekati histeria dalam sebuah “kemunafikan” diciptakan oleh beberapa media lokal, memberi peringatan kepada warga Salta tentang invasi katastropik ke kota tersebut oleh gerombolan perempuan yang bisa menghancurkan keluarga dan institusi lokal.

Ini bukan berarti Salta adalah satu-satunya provinsi di Argentina dimana Gereja Khatolik memegang kendali. Pada faktanya, salah satu peruangan yang pernah hadir – hak aborsi – merupakan kepentingan khusus di peristiwa ini. Sebuah hukum perdata telah dilegalkan tahun ini di Argentina. Dalam legislasi terakhir, awal dari keberadaan manusia dibangun tepat di momen saat embrio tinggal di rahim perempuan dan dalam hal reproduksi, keberadaan orang di hadapan hukum dimulai dengan munculnya embrio. Tidak hanya hukum baru yang tidak mengandung hak perempuan atas pilihan reproduksinya  - yang bisa memberi jalan pada pelegalan aborsi – namun sesungguhnya langkah terbelakang dengan membangun konsespsi tentang awal munculnya keberadaan manusia. Baru – baru ini, hak aborsi di Argentina hanya diperbolehkan pada kasus perkosaan, kesehatan perempuan, atau kasus disabilitas intelektual. Faktanya, bahkan perempuan dalam situasi seringkali tidak bisa mengakses prosedur aborsi aman. Negara tidak menjamin paling tidak, ada satu dokter yang tidak menolak praktek aborsi di setiap RS publik. Inilah mengapa pemisahan gereja dan negara adalah tuntutan berulang yang diekspresikan di diskusi workshop, dalam intervensi artistik dan grafiti di sekitar kota. Para partisipan mengekspresikan tuntutan ini dalam bentuk poster dan nyanyian yang menutup parade di hari Minggu, dengan slogan “Jika Paus adalah perempuan, aborsi pasti akan legal” atau “Letakkan Rosiario di ovarium kita”

Pertemuan pada tahun 2014 ini juga termasuk beberapa isu baru di workshop. Meski topik kekerasan kebidanan telah didiskusikan di pertemuan sebelumnya, tahun ini workshop sepenuhnya mengabdikan dirinya untuk kasus kekerasan. Kekerasan kebidanan didefinisikan sebagai bentuk kekerasan gender dan para partisipan mengekspresikan tunttuan atas regulasi hukum kelahiran dan mengakhiri komodifikasi kehamilan dan kelahiran

Workshop transgender diadakan untuk ke dua kalinya dalam searah ENM. Diskusi ini juga menekankan tuntutan atas pemisahan antara gereja Khatolik dengan Negara, semenjak institusi agama menghambat pengembangan kebijakan inklusiv. Beberapa kesimpulan dari workshop ini, nyatanya, termasuk kenyataan bahwa inlusi nyata terkait masyarakat transgender belum ada sama sekali, terutama di tempat kera, sebuah ruang yang dibutuhkan untuk pemberdayaan ekonomi dan akses atas hidup bermartabat. Bahkan tidak ada inklusi isu transgender yang diakui keberadaannya dalam sistem kesehatan, meski sudah ada hukum identitas gender pada tahun 2008, tidak ada regulasi yang memberi batas waktu pada menteri kesehatan Argentina supaya menjamin hak masyarakat transgender untuk memiliki akses penuh atas layanan kesehatan.
Kesimpulan di tiap workshop dibacakan pada Senin, 15 Oktober 2014. Partisipan juga memilih pertemuan berikutnya di Mar del Plata, provinsi Buenos Aires, karena di tempat inilah beberapa tempat prostitusi ditutup dengan tuduhan perdagangan manusia – dan buka lagi hanya beberapa hari kemudian.  

Masih panjang jalan yang harus ditempuh, tapi prosesnya bisa meningkatkan kesadaran atas ketidak adilan yang demikian tampak, dan tanpa lelah memperjuangkan hak kita sampai mendulang banyak kemenangan hingga bisa menginspirasi banyak orang baik lelaki maupun perempuan untuk bergabung dalam gerakan dan membuatnya lebih besar dari tahun sebelumnya.

Laura Beratti adalah seorang penerjemah dari Argentina, aktivis feminis dan seorang traveler yang fanatik;baru-baru ini ia bergabung di Las Ramonas dan bersama kelompok ini pergi ke Pertemuan Nasional Perempuan (NEM)


No comments: