15/06/2014

Doktrin Syok Olahraga : Dave Zirin di Piala Dunia, Olimpiade dan Demokrasi Brazil




Rabu, 11 Juni 2014
Oleh Andalusia Knoll
Review: Tarian Brazil dengan Iblis: Piala Dunia, Olimpiade dan Perjuangan untuk Demokrasi
Oleh Dave Zirin (Haymarket Books, Mei 2014)

Sebuah street art, menggambarkan seorang anak lelaki menangis dengan sebuah piring berisikan bola, street art itu menjadi populer seiring dengan Piala Dunia di Brazil. Mural itu dilukis sesaat setelah seorang komentator olah raga Dave Zirin menulis buku terbarunya Tarian Brazil dengan Iblis: Piala Dunia, Olimpiade dan Perjuangan untuk Demokrasi, buku tersebut memuat penjelasan tentang gambaran sejarah yang mudah menguap. Dalam bukunya, Zirin mengulas kembali warna warni FIFA dibalik publisitasnya di seluruh dunia, yang menyingkap kematian, penindasan, penggusuran dan korupsi yang memberi jalan bagi Piala Dunia 2014 dan ajang Olimpiade di Rio de Jeneiro pada tahun 2016 mendatang. 

Dalam kritiknya terhadap Piala Dunia, sebagaimana buku dan artikel yang ia tulis sebelumnya, Zirin memiliki kemampuan luar biasa yang membuat olahraga menarik bagi mereka yang tidak pernah menjadi penggemar berat olah raga ini. Tarian Brazil dengan Iblis menyingkap sejarah fasis Olimpiade, sebuah sejarah suram Piala Dunia di masa kediktatoran militer dan menginspirasi ribuan rakyat berjuang mempertahankan rumahnya di pemukiman miskin, yang disebut favelas.


Bagi siapa saja yang mengetahui sejarah Brazil maupun sepak bola, Zirin membantu pembaca untuk memahami keduanya. “Hubungan antara sepak bola dan Brazil tidaklah selalu soal olah raga sebagai identitas nasional”, tulis Zirin. Ia melanjutkan, Olahraga adalah semacam jaringan di dalam sebuah negara dengan beragam kultur yang terjaling bersama dalam kekerasan dan keindahan”

Dalam sebuah bab berjudul “Tidak Ada Dosa di Bawah Khatulistiwa,” Zirin menjabarkan sejarah brutal Brazil selama 3 abad perbudakan terhadap 3,5 juta rakyat asli Brazil dan Afrika, separuh dari mereka tewas. Keturunannya adalah separuh dari jumlah penduduk. Penduduk asli Brazil dan berkulit hitam masih sering diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, sementara pemerintahnya bangga menjadi bangsa multikultur dimana rasisme sudah tidak eksis. Menurut Zirin, keberagaman bintang bola Brazil memainkan visi keharmonian rasial dan imej mereka yang telah dimarketkan.

Setiap bab diperkenalkan dengan kutipan dari buku Eduardo Galeano berjudul Bola di Matahari dan Bayangan, Zirin menggambarkan bagaimana olah raga rakyat telah dikomodifikasi, dijual dengan harga tertinggi dan diekspor. Zirin memberikan sejarah penting tentang bintang bola, stadion dan timnya. Ia memperkenalkan kita pada Pele, bintang bola Afro – Brazil yang tampangnya dijadikan sampul perangko kala diktator militer Brazil dan Pele adalah atlete pertama yang memasarkan namanya sendiri sebagai merk. Saat Pele diminta berkomentar tentang kemiskinan di Brazil, Zirin menulis bahwa Pele memberikan respon standar, “Tuhan membuat kemiskinan dan dengan kemiskinan itu Tuhan memberikan bakat atletik supaya bisa membawa kegembiraan dalam kesulitan hidup mereka”. Meski demikian, berdasarkan artikel Zirin, kebijakan pemerintah baru-baru ini mendorong Pele mempertanyakan mengapa pemerintah lebih banyak menghabiskan dana untuk insfrastruktur piala dunia dibanding sekolah dan Rumah Sakit.

Zirin juga memperkenalkan kepada kita sebuah legenda bola, Socrates, yang sudah meninggal, namun tetap vokal menyuarakan sikap oposannya terhadap dekadensi Piala Dunia,jika saja ia masih hidup. Pada tahun 1980an, Socrates mengepalai tim sepak bola komunis, Corinthians, yang secara terbuka mendukung pesan politik yang melawan kediktatoran militer dan membuat keputusan secara kolektif. “Akan ada banyak uang publik yang menghilang masuk di kantong orang. Stadion akan dibangun dan mereka akan tinggal di sana untuk sisa hidup mereka tanpa pernah menggunakannya,” ucap Socrates, saat ditanya pada tahun 2011 tentang Piala Dunia 2014 yang akan menimbulkan kemiskinan di Brazil.

Bagi mereka yang tidak sadar tentang sejarah dua ajang olah raga (Piala Dunia dan Olimpiade), Zirin menggambarkan asal usul keduanya yang berbeda: Olimpiade dibentuk pada tahun 1896 sebagai kontes permusuhan antar kekuatan imperial, sementara Piala Dunia lebih sederhana di awal pembentukannya, dilahirkan oleh FIFA, yang hanya dibentuk untuk membantu meregulerkan aturan sepak bola. Meski mempunyai asal usul yang berbeda, Zirin menginformasikan kepada kita bahwa keduanya memberi legitimasi kepada kediktatoran militer dan fasis dimana Obor Olimpiade lahir di masa rejim Nazi, sementara Piala Dunia lahir di bawah kediktatoran brutal Argentina, masing-masing ajang olahraga permainan ini muncul dengan keriuhan, dan tanpa mengakui pertumpahan darah di sekitarnya.

Zirin memberitahu kita bahwa ini bukan hanya sekedar skenario masa lapau, namun juga transformasi pasca 9/11 dimana permainan ini dijadikan “kuda troya neoliberal” yang mengantarkan pada represi politik dan pembangunan infrastruktur penjagaan. Selama Olimpiade 2012 di China dan Permainan 2014 di Rusia, sedikit perhatian yang diberikan oleh Pemerintah terkait pelanggaran HAM. Dalam persiapan pertandingan Olimpiade di Vancouver (2010), pemerintah juga memukul mundur hak sipil yang punya pendapat berbeda. Piala Dunia 2022 ditakdirkan untuk Qatar, yang hadir di bawah kritik tajam atas kekerasan terhadap buruh, stadion tempat bermain Piala Dunia dibangun oleh buruh migran yang diperbudak, ratusan buruh mati dalam proses pembuatan stadion tersebut.

“Banyak negeri berubah, namun skenario tetap sama: profit luar biasa dan pajak untuk sponsor dan firma sekuriti, dana publik yang dihabiskan untuk membangun stadion baru dan pemotongan subsidi gila-gilaan yang membuat rakyat jatuh miskin ketika pesta usai”, tulis Zirin. Ia juga mempertanyakan mengapa sedikit reporter bisa melakukan liputan mendalam dan investigatif tentang apa yang terjadi di balik perhelatan besar itu.

Dalam buku Tarian Brazil dengan Iblis, Zirin mendedikasikan seluruh bab tersebut untuk Lula Inacio Da Silva, adalah presiden Brazil yang datang dari kekuatan serikat buruh dan berhasil berkuasa dengan dukungan dari gerakan sosial termasuk gerakan masyarakat tak bertanah, yang kemudian berbalik menjadi kekasih neoliberal. Adalah Lula yang berhasil mendekati FIFA dan komite Olimpiade Internasional sehingga Brazil bisa menjadi tuan rumah dua mega even sekaligus yang hanya berselang dua tahun. Zirin menulis bahwa dua ajang olahraga besar ini dianggap sebagai nyanyian Lula yang membuat Brazil menerima penghormatan dan pengakuan agak terlabat pada skala global.

“Tragisnya, Piala Dunia dan Olimpiade bukanlah simbol keberhasilan. Mereka berjalan saling bergandengan tangan dengan korupsi, kekerasan, tindakan kekerasan keamanan dan serangkaian prioritas pengeluaran yang membuat Lula muda memerah”, tulis Zirin. Pengganti Lula, Dilma Rouseff, yang datang dari latar belakang kiri dan pernah dipenjara selama kediktatoran militer tahun 1970an, juga menunjukkan politik neoliberalnya dengan membolehkan korupsi merajalela selama pembangunan Stadion Piala Dunia.

Zirin juga secara kreatif menuliskan prosa yang personal dan politis dengan menggambarkan perjalanan melalui favelas untuk mencari patung Michael Jackson yang dipersembahkan ketika bintang pop itu bepergian ke Brazil untuk membuat video klip kontroversialnya “They dont care about us”. Zirin mengakui dan mendiskusikan ketakutannya semenjak kunjungan pertamanya ke favelas di kota Rio, sebuah ketakutan yang bertransformasi menjadi apresiasi halus atas pembungkaman kreatif terhadap warga favela dalam ketertundukannya bukan hanya pada gambaran diri mereka dan tempat tinggal mereka yang terkriminalkan, namun juga cara mereka yang inovatif dalam menghentikan bola menghancurkan tempat tinggal mereka. Sebagai contoh, masyarakat Providencia, warganya menciptakan sebuah instalasi foto yang memotret semua warga yang sedang digusur karena lahannya hendak didirikan real estate untuk persiapan Olimpiade. Zirin juga menulis tentang pengawasan dan polisi yang diperintahkan untuk mengamankan warga favela, bukan hanya untuk alasan keamanan  Piala Dunia namun juga supaya lebih mudah menggusur warga favela agar real estate bisa berdiri di atas hak warga favela yang diabaikan dan sekarang menjadi properti utama. Satu isu yang tidak diangkat oleh Zirin, dan menonjol dalam cakupan alternatif Piala Dunia, adalah perdagangan seks yang meluas jelang Piala Dunia.

Dalam bukunya ini, Zirin tidak pernah mengimplikasikan keinginannya agar pembaca berhenti menonton pertunjukan olahraga atau bahkan memboikot Piala Dunia. Apa yang ia mau dari para pembaca adalah memahami pertumpahan darah dan perampasan yang terjadi untuk mewujudkan Piala Dunia dan Olimpiade di Brazil. Zirin akan berada di Brazil selama minggu pertama Piala Dunia dan berbagai komentar politik cerdasnya terkait proses pertandingan yang sedang berlangsung. Bagi semua yang tertarik mendengarkan suara di luar stadion, buku ini layak dibaca bagi siapa saja ketika momen gembira dan seruan GOOOOOOOOL tidak lagi memenuhi layar televisimu hingga bulan depan.

Andalusia Knoll  adalah jurnalis  freelance di kota Mexico yang akan berada di bRazil selama Piala Dunia untuk meliput gerakan rakyat selama Piala Dunia. Kau bisa mengikuti twiternya di @andalalucha


No comments: