16/02/2014

Midia NINJA: Sebuah fenomena jurnalisme alternatif yang muncul dari demosntrasi di Brazil


Pertemuan Midia Ninja

Jurnalisme di Blog Amerika

Oleh  Natalia Mazotte/AM

Sebuah fenomena media muncul di Brazil dalam kebangkitan protes masif yang meluas di seantero negeri tersebut sejak bulan Juni. Sebuah media kolektif Midia NINJA, bersiaran langsung dari jalanan dengan slogan “Tidak ada cut, tidak ada sensor” yang telah menarik perharian dan pengakuan dari ribuan rakyat yang turun ke kalan beberapa minggu silam. 

Lebih dari sekedar referensi, media ini mengambil nama pasukan Jepang dalam sejarah Jepang yaitu NINJA yang merupakan singkatan dari “Narasi Independen, Jurnalisme dan Aksi” dalam bahasa Portugis. Dan kata terakhir membangun nada bagi permukaan mereka dan memunculkan debat apakah kata itu bermakna pemisahan jurnalisme dari aktivisme.  


NINJA utamanya menggunakan HP dan peralatan komunikasi 4G lainnya untuk memproduksi siaran mereka, yang kebanyakan lebih merupakan improvisasi bukan kertas tulisan yang dipersiapkan. Sedangkan, benar adanya bahwa siaran langsung peristiwa publik bukan hal baru, visibelits merupakan tren. Terimakasih pada NINJA yang telah menjangkau lebih dari 100 ribu penonton. NINJA menyebarkan konten mereka melalui media sosial dan menerima respon dari penonton mereka  yang diterima melalui page FB mereka, dan  melampaui jumlah interaksi media besar di Brazil.   Page FB NINJA sudah di like oleh 120.000 orang, yang mana grup ini baru saja dibuka sejak 4 bulan silam.

Daya tarik dan minat NINJA berkembang dan dibuktikan dalam sebuah pertemuan terbuka yang menarik ratusan orang yang mau bergabung dalam tim ini. Selama pertemuan tersebut salah satu dari mereka, bergabung sejak 2 Juli di Universitas Federal Rio de Janeiro, Sekolah Komunikasi, banyak dari peserta menjelaskan kenapa mereka mendukung kelompok ini: “Kami merasa sangat terwakili dengan cara media ini melaporkan.  Versi sejarah yang disediakan lebih dekat dengan kenyataan yang kami saksikan di lapangan.”, ucap salah satu peserta. Komentar mereka pun mendapatkan tepuk tangan meriah.

Bagi salah satu anggota Ninja, Filipe Pecanha, 24 thaun, media independen mulai menarik perhatian lebih dibanding media besar. “Kami adalah bentuk dari titik balik selama protes berlangsung, dan rakyat menunjukkan dukungan mereka pada kerja kami. Media ini merupakan oposisi dari laporan media besar seperti (jaringan TV terbesar di Brazil) Globo, “ Katanya. Pada 22 Juli, Pecanha ditahan oleh polisi militer, saat ia sedang meliput protes di sekitar Istana Guanabara, (kantor Pemerintah Negara Bagian Rio de Janeiro) dan terlibat “aksi kekerasan”. Beberapa jam kemudian, Pecanha dibebaskan bersama dengan Ninja lainnya yang juga ditahan. Keduanya menunggu di dekat kantor polisi hingga keesokan harinya, menunggu yang lain.

Jurnalisme Aktivis

Jenis keterlibatan yang meletakkan reporter di tengah massa aksi, adalah kunci daya tarik kelompok ini, ucap Ivana Bentes, direktur sekolah komunikasi UFRJ. “Ninja bekerja di dalam keributan dan bergairah untuk terlibat dalam partisipasi sosial. Laporannya lebih menarik karena jenis laporannya lebih naratif dibanding berita korporasi lainnya” yang ditawarkan oleh jurnalisme reguler, ucapnya di salah satu pertemuan kelompok.

Juga tanda titik di luar kurva jurnalisme tradisional, yang seringkali mencari untuk mengikuti fakta yang tidak mendapat pengaruh dan berjarak. Di banyak siaran NINJA, penonton bisa terlibat dalam keributan dan menyaksikan reaksi ninja  ketika ada konfrontasi antara polisi dan demonstran, seolah-olah aksi film di dunia nyata.

Bagi Bruno Torturra, jurnalis paling berpengalaman di kelompok ini, laporan naratif NINJA melepaskan diri dari beberapa paradigma klasik dalam jurnalisme di waktu yang sama mereka mereklaim  fungsi utama profesi. “Peran utama kami adalah mereklaim untuk jurnalisme dan komunikasi peran aktivis mereka di mata publik dan menawarkan informasi yang meningkat secara kualitas untuk mempertahankan demokrasi,” katanya. “Saya tidak tahu apakah suatu saat kami akan memiliki buku pedoman pemberitaan ataukah tidak; saya rasa common sense lah yang menjadi panduan kami,” katanya. Terlepas fakta yang ada, salah satu pilar utama jurnalisme, kata Toruturra, adalah ia percaya rakyat akan mengikuti mereka melalui web dan akan membantu menjaga akuntabilitas mereka.

Meski demikian, kekurangan kelompok jurnalistik ini adalah target kritisisme, pendeknya setelah Eduarto Paes dari Rio de Janeiro diundang NINJA untuk sebuah interview. Ribuan rakyat secara online melihat laporan langsung tersebut, tapi setelah selesai, banyak yang mengkritik Ninja memiliki persiapan yang minim dan cara interviewnya yang kurang baik.

Kelompok Ninja merespon kritik tersebut di page Fbnya. “Masih dalam proses, masih mencari pengalaman, masih transparan, ujian nyatanya, langsung dan tanpa cut, itulah yang kami luaskan. Membangun penonton kami dan tim kami. Dan berpkir dengan banyak pilihan benar dan salah, tentang bagaimana memproduksi sebuah jurnalisme yang bergarga dengan kepercayaan serta ekspektasi yang besar dimana rakyat berada di Midia NINJA.”

Profesor Jurnalisme, Sylvia Moretzsohn merasa keberatan dalam sebuah komentar terbarunya: “Sungguh kosong makna dalam kalimat, masih mencari pengalaman, inilah ujian nyata dll, yang bisa diluaskan. Ini bukan sesederhana itu; ini lebih dari itu dan hal ini menuntut persiapan lebih. Tidak cukup dengan haya melempar dirimu seperti ti, keraskepala dalam situasi yang tidak kamu kenal. Sungguh tidak cukup dengan mengabaikan taktik yang kau dapat di pelatihan media. Kau bisa secara sempurna menolak mereka. Tidak ada argumentasi yang pendek untuk melakukannya. Dengan cara seperti ini, kau berhenti melayani apa yang ingin kau kritik.”

Sekali episode ini berakhir, Torturra mengakui bahwa kolektifnya gagal mengintegrasikan masyarakat ke dalam proses interview dan meminta waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri mereka. “Kami butuh melibatkan jurnalis berpengalaman ke dalam percapakan ini untuk memahami dimana letak kegagalan kami,” Katanya.

Namun, meski tensi antara jurnalisme tradisional dan bentuk berita mulai muncul, NINJA terus berkembang. Rafael Vilela, salah satu anggota dari kolektif NINA yang melakukan perjalanan ke Mesir untuk meliput sebuah demonstrasi, mengatakan ia melihat NINJA sebaga sebuah upaya insentif untuk mencari jalan baru dalam jurnalisme. “Dewasa ini konten kami memiliki beragam potensi agar makin berkumandang. Hal terpenting NINJA telah mencapai visibilitas bagi jalan lain dalam juralisme yang tidak ada di media massa, dan mendorong rakyat unutk mencari jalannya sendiri dalam membuat jurnalisme lebih hidup.. Saya telah menjalaninya selama dua tahun,” Katanya.

No comments: