16/06/2012

Tidak pada Kapital, Tidak Pula Birokrasi, Lebih Banyak Sosialisme, Lebih Banyak Revolusi!*


Mutiara Ika Pratiwi**
Rakyat di Venezuela, Bolivia, Ekuador, Nikaragua, dan tentu saja Kuba sedang membangun kemandiriannya. Dinilai dari perlawanan masif mereka dalam menentang konsep dan kebijakan imperialisme (penjajahan modal), terutama Amerika Serikat, serta upaya menciptakan dunia baru di luar sistem kapitalisme, yang dipopulerkan oleh Hugo Chavez-Venezuela sebagai Sosialisme abad 21 (21st Century Socialism, selanjutnya disingkat 21cs).

Usaha membangun dunia baru tersebut bukan lah hal mudah, apalagi dengan beberapa kegagalan pembangunan sosialisme abad 20 (20th Century Socialism, selanjutnya disingkat 20cs). Menurut para pendukung 21cs, sosialisme 20cs didominasi dengan penyerahan kekuasan ke birokrasi yang kemudian menahan laju perubahan dan menghambat kebebasan HAM serta gagal memperhitungkan spesifikasi/kekhususan masing-masing negara. Hal tersebut, paling tidak, tercermin dari kegagalan Uni Soviet, yang, alih-alih membangun sosialisme di negeri-negeri terjajah, justru birokrasi Stalin melegalkan penghukuman bagi mereka yang berbeda pendapat.
Para pendukung 21cs mengklaim bahwa pembangunan sosialisme masa kini akan berbeda dari sebelumnya. Perubahan situasi dunia, seperti runtuhnya ‘sosialisme’ Uni Soviet, berbaliknya Cina ke dalam sistem kapitalisme, ketidakstabilan Amerika Serikat sebagai poros ekonomi global, kemunculan Venezuela dan inisiatifnya membangun kekuatan di Amerika Latin, serta kebangkitan Asia, mereka akui, akan mempengaruhi jalan baru bagi pembangunan sosialisme.
Sejauh mana masing-masing negeri Amerika Latin di atas berada pada jalur “yang benar” menuju sosialisme di abad ini, tidak berada di dalam jangkauan artikel kali ini. Penulis hanya akan menggambarkan pilar-pilar apa saja yang saat ini ada, dan menguntungkan bagi perjuangan rakyat untuk sosialisme tersebut.
Ada 3 pilar utama yang menopang pembangunan gagasan 21c. Pertama, kerjasama kawasan dalam menghadang imperialisme. Nasib bersama di dalam kemiskinan dan kemunduran politik, ekonomi, serta budaya, dirasakan sebagai akibat dari kebijakan neo-liberal yang massif dipaksakan oleh AS ke kawasan tersebut. Di sisi lain, kebangkitan revolusi Bolivarian di Venezuela memberikan kepercayaan diri untuk membangun kembali kekuatan progresif di kawasan tersebut.
Kedua, solidaritas internasional terhadap negara-negara yang terjajah oleh imperialisme.Ketiga, dukungan massa rakyat dalam proses pembangunan sosialisme. Pilar terakhir ini menjadi kunci dari keberhasilan pembangunan sosialisme abad 21 di Amerika Latin. Menarik untuk menganalisa lebih lanjut bagaimana proses partisipasi tersebut dijalankan serta kelemahan-kelemahan dari proses yang telah berjalan.
Kerjasama Kawasan Menghadang Imperialisme
Amerika Latin adalah satu kawasan dimana ekonomi, politik dan sosialnya telah tersubordinasi imperialisme Amerika Serikat (AS) selama lebih dari 100 tahun. Itulah penyebab dari kemiskinan dan kemunduran kawasan tersebut. Dominasi AS di Amerika Latin meliputi lebih dari 40% keseluruhan populasi, artinya, lebih dari 200 juta orang hidup dalam cengkeraman imperialismenya. Oleh karenanya, Kuba dan Venezuela—pencetus gagasanFair Trade Aggrement/Perjanjian Dagang yang Adil—menganggap bahwa perlawanan terhadap dominasi imperialisme merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemandirian di kawasan tersebut.
Kerjasama antar negara yang terjajah oleh imperialisme AS ini berlandaskan prinsip saling melengkapi, solidaritas, dan penghormatan terhadap kedaulatan rakyat. Dimulai dari pembangunan ALBA (Alternative Bolivariana para Las Americas) pada tahun 2004 untuk melawan intervensi pasar imperialisme AS, perubahan orientasi pada MERCOSUR (blok perdagangan minyak), hingga pembangunan Bank Selatan (Banco del Sur)—sebagai antitesa IMF dan World Bank—yang akan aktif berjalan tahun 2011 ini.
Menurut Chavez, kerjasama atas dasar solidaritas ini belum pernah terjadi sebelumnya di Amerika Latin, bahkan di dunia. Kerjasama seperti itu akan memberi kekuatan pada tiap negara untuk keluar dari kemiskinan dan kemunduran sosial budaya. Apalagi di tengah ancaman kudeta militer yang didukung AS menyingkirkan para pemimpin anti-imperialis, seperti yang pernah terjadi di Venezuela (Chavez, 2002), Honduras (Manuel Zelaya, 2009) Haiti (2009) dan Ekuador (Correa, 2010).
Penyatuan kekuatan untuk melepaskan diri dari cengkraman imperialisme AS ini berdampak positif bagi ketahanan ekonomi kawasan Amerika Latin, seperti saat menghadapi krisis global 2008. Jika AS dan Eropa berlomba-lomba melakukan pemotongan subsidi sosial, Amerika Latin justru secara bertahap menaikkan upah minimum, pensiun dan pemenuhan kesejahteraan rakyat yang paling rentan kemiskinan (Ibu tunggal, orang cacat, dsb). Kemajuan paling mencolok terjadi di Venezuela, dan yang paling rendah di Argentina.
Memang, belum semua Negara di Amerika Latin aktif dalam kerjasama kawasan ini. Pada tahun 2006, setelah Kuba dan Venezuela, anggota ALBA bertambah dengan keikutsertaan Bolivia, Nicaragua, Dominika, Ekuador, Antigua and Barbuda, dan St. Vincent. Selain itu menyusul Grenada, Haiti, Paraguay, dan Urugay yang berposisi sebagai pengamat di ALBA. Namun, Meksiko, yang masih menjadi boneka imperialisme AS, dan Kolombia yang hingga saat ini masih menjadi sekutu militer AS, tentu tidak terlibat.
Solidaritas bagi Negeri Terjajah
Selain membangun kerjasama kawasan untuk menghadang imperialisme, solidaritas yang lebih luas terhadap setiap negeri yang dijajah imperialis, juga dilakukan.
Salah satu isu yang massif dikampanyekan terkait kesewenang-wenangan imperialisme adalah stop invasi dan kekerasan militer terhadap rakyat. Chavez secara tegas menolak intervensi militer Israel, yang didukung penuh oleh imperialisme AS, terhadap Lebanon dan Palestina, serta menyatakan rasa hormatnya pada gelombang perlawanan rakyat di Tunisia dan Mesir. Hal itulah yang menyebabkan dia popular di tengah rakyat Arab yang sedang berlawan.
Namun, hal yang mengecewakan adalah respon Chavez terhadap situasi di Libya karena ia mendukung, bahkan menawarkan perlindungan, terhadap Qaddafi. Ia sempat menolak mengecam tindakan Qaddafi merepresi aksi perlawanan rakyat sipil yang menginginkannya turun. Dari data yang dihimpun oleh penulis, tindakan tersebut dilakukan karena belum cukupnya informasi untuk mengetahui situasi yang benar-benar terjadi di Libya. Dia khawatir isu tersebut hanyalah tipuan media mainstream pro imperialis untuk mengambinghitamkan Qaddhafi, seperti yang pernah ia alami pada kudeta 11 April, 2002 di Venezuela.
Tapi toh, seharusnya, tindakan pelanggaran HAM Qaddafi sebelumnya tetap tak bisa dibenarkan bagi Chavez memberikan dukungan padanya. Sepertinya tindakan dukungan ini erat kaitannya dengan kebijakan luar negeri Venezuela yang memfokuskan kampanye pada anti imperialisme AS, sehingga semacam sekadar menghimpun “semua kekuatan negara yang anti AS” tanpa kritik. Hal yang sama dilakukannya terhadap Ahmadinejad  Iran yang juga memiliki rekam jejak pelanggaran HAM di dalam negeri yang tak sedikit. Dalam beberapa hal, sikap dan taktik semacam ini akan kontradiktif dengan proyek sosialisme abad 21 yang berbeda dari sebelumnya.
Selain isu tentang kekerasan militer, pembangunan kerjasama ekonomi juga menjadi perhatian di Amerika Latin. Pada September 2009, diselenggarakan sebuah pertemuan antar negara-negara di Afrika dan Amerika Selatan (Africa-South American Summit/ASA). Afrika adalah kawasan dimana kekayaan sumber daya alam, seperti minyak, telah dimonopoli oleh perusahaan multinasional. Pada abad ke 16 hingga 19, penduduk Afrika juga telah dimobilisasi menjadi budak bagi pertambangan emas, perkebunan kopi, dsb, ke kawasan Amerika Latin, oleh Spanyol. Pertemuan yang dihadiri oleh 61 kepala negara, 49 berasal dari Afrika dan 12 sisanya dari Amerika Selatan, telah menghasilkan beberapa kesepakatan: pembangunan Bank Selatan (Bank of ASA) dan Radio Komunikasi bersama. Pertemuan ini dilandasi oleh semangat untuk membangun solidaritas  kekuatan negara-negara yang dijajah oleh imperialisme.
Dinamika Partisipasi Rakyat Dalam Pembangunan Sosialisme
Krisis kapitalisme internasional yang memuncak pada tahun 2008, membuat beberapa negara di Amerika Latin membuka investasi bagi perusahaan asing demi menjaga kestabilan pendapatan negara. Hal ini dilakukan karena perekonomian negara masih bergantung pada perusahaan kapitalis internasional, sehingga mereka mengakomodir kebijakan seperti kontrak pertambangan dan eksploitasi mineral dengan perusahaan tersebut. Langkah semacam ini tidak populer di mata rakyat yang juga sedang bergerak menolak kebijakan eksploitasi alam tersebut. Dan situasi semacam itu dapat memberi momentum bagi kaum oposisi/sayap kanan untuk melakukan serangan balik.
Ini tergambar di Ekuador ketika Presiden Correa memutuskan menerima perjanjian pertambangan di tahun 2009. Perjanjian ini membolehkan eksploitasi sumber daya mineral oleh perusahaan transnasional tanpa mempertimbangkan pendapat masyarakat sekitar yang akan terkena dampak eksploitasi tersebut. Selain itu, Correa juga memperkenalkan Undang-Undang Sumber Daya Air Bersih yang memungkinkan akses dan privatisasi distribusi air oleh swasta. Parahnya, pemerintah Correa justru menekan gejolak perlawanan masyarakat adat yang menolak kebijakan tersebut, bekerjasama dengan angkatan bersenjata dan polisi.
Situasi di atas menunjukkan kontradiksi perjuangan “anti-imperialisme” di Amerika Latin, sekaligus menunjukkan karakter sebenarnya dari beberapa pemerintahan yang dianggap kiri dalam hubungannya dengan pemenuhan hak-hak dan peningkatan partisipasi langsung rakyat. Berkembangnya pergerakan rakyat adalah aspek penting yang dapat memastikan berjalannya program-program anti-imperialisme, di tengah intervensi AS yang masih kuat dan rongrongan kontra revolusi di dalam negeri saat ini. Sejarah telah membuktikan, betapa mobilisasi gerakan rakyat mampu mengembalikan Chavez, setelah 3 hari sebelumnya di kudeta militer oleh oposisi sayap kanan, Pedro Carmona, pada tahun 2002. Dan, begitu pula yang terjadi di Ekuador, rakyat turun ke jalan untuk mempertahankan Presiden Correa dan demokrasi di Ekuador, dari ancaman kudeta militer pada akhir September tahun kemarin.
Poin positif dari dinamika radikalisasi rakyat dalam revolusi di Amerika Latin adalah: tidak berhenti berlawan, mempertahankan dan memperdalam revolusi, walaupun kekuatan progresif telah berkuasa melalui pemilu demokratik. Mereka terus turun ke jalan untuk menolak kebijakan pemerintahan yang mereka anggap tidak berpihak pada revolusi. Itulah yang dilakukan ribuan orang yang tergabung dalam organisasi buruh, partai politik, dan organisasi massa lainnya di Venezuela di akhir 2010 dan di awal tahun ini. Mereka membentangkan spanduk yang bertuliskan: “Tidak pada Kapital, tidak pula Birokrasi, Sosialisme dan Revolusi yang lebih banyak”, mereka menuntut secepatnya dilakukan perubahan radikal pada Undang-Undang perburuhan, nasionalisasi yang lebih banyak untuk industri vital, dan pemberian wewenang yang lebih besar bagi serikat. Atau di Bolivia, kaum masyarakat adat melakukan protes terhadap kebijakan pembangunan jalan tol yang dilakukan oleh pemerintahan Morales, karena hal itu akan merusak cagar alam dan melewati tanah warga.
Radikalisasi rakyat ini adalah kompas untuk menentukan sejauh mana kebijakan negara memfasilitasi rakyat dan membuka jalan lebih lebar bagi sosialisme abad 21. Pembentukan Dewan Komunitas (communal council) dan penyelenggaraan referendum di Venezuela adalah upaya yang inspratif. Chavez menyatakan bahwa sekitar 30.000 dewan komunitas telah dibentuk di Venezuela untuk mengurangi sistem birokrasi yang korup dan tidak efisien, serta mengajarkan rakyat mengatasi persoalan mereka sendiri di komunitas lokal. Venezuela juga telah menyelenggarakan beberapa kali referendum (seperti di tahun 1999 dan 2004) untuk memfasilitasi pendapat rakyat dalam pengambilan kebijakan publik. Walaupun masih terdapat banyak kekurangan, seperti keterampilan berorganisasi yang masih rendah serta kesenjangan akan pengalaman administrasi, memajukan partisipasi rakyat harus terus menerus dilakukan sebagai syarat sosialisme abad 21 yang berhasil di Amerika Latin. Karena sosialisme adalah kekuasaan rakyat itu sendiri.
*Telah dicetak dalam Koran Pembebasan Edisi II, November-Desember 2011.
**anggota Partai Pembebasan Rakyat, ketua Pusat Pergerakan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional
Sumber  :
-          Latin America and Socialism of the 21st Century
-          Bank of the South to Initiate Operations this Year
-          ALBA : How Much of a trun to the Left in Latin American Governance and Economic Policy?
-          Africa-South America Summit in Venezuela Cements South-South Collaboration
-          What does the War on Libya Mean for the Rise of Latin America
-          Venezuela and Libya: it is not an April 11 coup, it is a February 27 Caracazo
-          Latin America’s Twenty-First Century Socialism in Historical Perspective
-          Latin America : Growth, Stability and Inequalities : Lesson for the US and EU
-          Latin America’s left at the crossroads

No comments: