03/07/2007

Merubah Konstitusi, Belajarlah dari Venezuela!

Oleh:
Nurani Soyomukti,
Penulis buku “Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik
Radikal”; aktif di IRED (Institute of Research anad
Education for Democracy) Jakarta; Sarjana Ilmu Hubungan
Internasional


Isu amandemen terhadap UUD 1945 di negeri ini nampaknya
akan terus berlanjut. Tetapi sayangnya, belum ada jawaban
pasti apakah amandemen terhadap dasar negara kita akan
membawa pada perubahan yang lebih substansial bagi nasib
rakyat, terutama kesejahteraan dan demokrasi politiknya.
Konstitusi merupakan landasan yang paling penting. Tetapi
yang lebih penting juga adalah tindakan yang berani untuk
melaksanakan konstitusi itu. Istilah konstitusi berasal
dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk.
Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah
pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan
suatu negara. Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar
merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya
Gronwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia undang-undang, dan grond berarti tanah atau
dasar.

Hingga detik ini, konstitusi kita tidak pernah dijalankan
secara murni dan konsekuen oleh elit-elit yang wataknya
oportunis dan pragmatis. Masalahnya, keberadaan konstitusi
tidak dibarengi dengan munculnya kesadaran politik yang
berpilar pada gerakan untuk melaksanakan apa yang
diamanatkan konstitusi. Tak heran jika, karena elit
politik tidak terkontrol oleh kesadaran rakyat dan
keterlibatan aktif mereka dalam politik secara massif,
maka mereka menjadi pengkhianat konstitusi. Kita bisa
menilai dari sebuah contoh khasus pengkhianatan terhadap
amanat pasal 33 konstitusi kita yang mengharuskan segala
kekayaan alam yang ada digunakan untuk kemakmuran ran
kesejahteraan rakyat dengan jalan dikuasai oleh negara,
tentunya negara yang dikontrol secara demokratis. Yang
terjadi, kekayaan alam dan tenaga produktif bangsa yang
menguasai hidup orang banyak justru diserahkan pada
mekanisme pasar. Peran negara terhadap perekonomian
dipreteli.

Artinya, sejarah munculnya konstitusi yang melekat pada
perjuangan melawan penjajahan dan menata sebuah masyarakat
yang adil dan makmurpun juga dikhianati. Kelahiran sebuah
revolusi memang menghasilkan suatu konstitusi sebagai
upaya untuk mengatur bagaimana negara akan dibawa.

Konstitusi Venezuela

Apa yang terjadi di negeri ini bertolak belakang dengan
apa yang terjadi di Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo
Chavez. Chavez dan para pendukungnya paham betapa
pentingnya undang-undang (konstitusi) dan bagaimana ia
harus dijaga oleh kekuatan aktif dari bawah. Revolusi di
bawah pimpinan Hugo Chavez telah melahirkan konstitusi
baru yang sebenarnya capaian ini adalah landasan
konstitusional bagi kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya
dalam upaya membawa perubahan struktural Venezuela. Pada
awal naiknya Hugo Chaves dan pembentukan konstitusi baru
tersebut, kesadaran rakyat akan perlunya landasan negara
baru memang cukup tinggi.

Waktu itu, tahun 1998-1999, di mana-mana perdebatan
tentang konstitusi selalu berlangsung. Jika orang luar
negeri melancong ke stasiun kereta bawah tanah di Caracas
(ibukota Venezuela) dan menanyakan pada orang yang
berdiri menunggu kereta di sana, apakah ia membawa buku
saku UUD, ia hampir pasti akan menjawab "Ya." Jurnalis
Barry Lynn dari majalah MotherJones melaporkan bahwa di
hampir tiap sudut Venezuela perdebatan tentang konstitusi
mudah sekali dipicu jika ada seorang saja memberi komentar
tentang interpretasi atas ayat-ayat konstitusi itu. Hampir
tiap orang membawa salinan UUD itu di saku mereka, siap
untuk melayani siapa saja dalam perdebatan.

Rakyat Venezuela, terutama rakyat pekerja dan kaum
miskinnya, sangat mencintai UUD mereka yang baru karena
praktis merekalah yang membuat UUD ini. UUD ini dibuat di
bawah pemerintahan Hugo Chavez, bukan di dalam
gedung-gedung parlemen yang ber-AC, tapi melalui
referendum, pemungutan pendapat rakyat secara nasional.
Dengan demikian, konstitusi ini sangatlah berpihak pada
orang miskin dan rakyat pekerja pada umumnya. 50% isi dari
konstitusi ditulis sendiri oleh rakyat-lewat surat-surat
dan jajak pendapat mengenai apa yang dibutuhkan rakyat.
Konstitusi ini memenangkan 70% suara dalam referendum,
mencakup hak-hak dasar demokratik, sosial dan hak-hak
azasi manusia lainnya yang sangat luas diatas batas-batas
demokrasi parlementer yang dangkal.

Konstitusi Republik Bolivarian Venezuela adalah konstitusi
hasil perubahan Venezuela hingga sekarang. Konstitusi ini
disusun pada tahun 1999 oleh majelis konstitusional yang
dipilih melalui referendum rakyat. Konstitusi 1999 ini
diadopsi pada bulan Desember 1999, menggantikan Konstitusi
tahun 1961-yang telah menjadi, dari 26 konstitusi yang
digunakan Venezuela sejak merdeka pada tahun 1811, dokumen
yang dipaksakan dalam waktu yang paling lama.

Konstitusi tersebut lahiar dari demokrasi rakyat, dan
bukan dari diskusi elit atau tokoh. Konstitusi 1999 ini
merupakan konstitusi pertama yang dibuat dan disetujui
melalui referendum rakyat (popular referendum) dalam
sejarah Venezuela, dan secara ringkas menandai apa yang
dinamakan sebagai “Republik Kelima” Venezuela agar
perubahan sosial ekonomi digariskan dan ditekankan dalam
tiap-tiap halamannya, sebagaimana perubahan resmi terjadi
di Venezuela dari Republik Venezuela (Republica de
Venezuela) menjadi Republik Bolivarian Venezuela
(Republica Bolivariana de Venezuela). Perubahan utama
dibuat dalam struktur pemerintahan dan pertanggungjawaban
Venezuela, sedangkan banyak hak-hak asasi manusia
diabadikan dalam dokumen yang dimaksudkan sebagai jaminan
bagi rakyat Venezuela-yang mencakup pendidikan bebas
hingga tingkat ketiga (tertiary level), pelayanan
kesehatan gratis, akses terhadap lingkungan bersih,
hak-hak minoritas (terutama masyarakat pribumi,
indiginous people) untuk menegakkan budaya, agama, dan
bahasa serta tradisi mereka sendiri di antara kebudayaan
lainnya. Konstitusi 1999 yang berjumlah 350 ayat adalah
yang paling panjang, lengkap, dan komprehensif.
Kebijakan yang berawal dari penentangan terhadap
penindasan neoliberalisme tentu saja merupakan anti-tesis
yang tepat darinya. Neoliberalisme bertahan dengan
segelintir elit yang berusaha mengeruk kepentingan pribadi
dengan menjalankan ekonomi yang dikendalikan oleh
keputusan sedikit orang (oligarki) dan mengorbankan rakyat
mayoritas. Sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh kaum modal,
rakyat dianggap tidak memiliki dan hanya bekerja untuk
kepentingan pemilik modal yang menjalankan kegiatan
produksinya. Maka, upaya untuk merebut hak-hak segelintir
elit dan mengembalikannya pada mayoritas rakyat membawa
dampak yang luas dalam hal perasaan solidaritas untuk
berproduksi secara bersama dan hasilnya dinikmati
bersama.

Beberapa kebijakan politik yang ditempuh oleh Hugo Chavez
dilandaskan pada upaya untuk mengembalikan hak-hak
ekonomi, politik, dan kebudayaan pada rakyat. Yang utama
adalah bagaimana aset-aset dan sumber daya ekonomi yang
ada dapat direbut dari tangan pihak swasta yang digunakan
untuk menumpuk keuntungannya sendiri, dan kemudian
dikuasai negara dan digunakan untuk membiayai
program-program sosial dan publik terutama masalah
kesehatan, perumahan, pendidikan, dan pelayanan-pelayanan
publik lainnya.

Apakah kondisi tersebut terjadi di Indonesia? Sayangnya
tidak. Saat ini para elit, tokoh, dan intelektual kita
sedang gencar membahas perubahan (amandemen) konstitusi.
Nampaknya apa yang dilakukan tidak akan sampai pada
capaian yang berujung pada tujuan sejati dari pada
pembentukan konstitusi (baru) itu sendiri. Anasir-anasir
bahwa tidak ada mentalitas elit, tindakan, dan
kebijakannya akan berubah dari oportunis menuju kerakyatan
juga tidak kelihatan sama sekali.

Yang kita butuhkan sebenarnya adalah tindakan tegas yang
menjadi alternatif dari apa yang selama ini dilakukan.
Kebijakan ekonomi pasar bebas (neoliberal) harus diubah
menjadi kebijakan yang radikal seperti yang dilakukan oleh
Hugo Chavez. Benar bahwa Indonesia bukan Venezuela, tetapi
keumuman kontradiksi neoliberalisme di manapun sama, yaitu
menyengsarakan rakyat baik di Asis, Afrika, Amerika Latin,
bahkan juga di negara-negara maju sendiri. Gerakan ekonomi
harus dibarengi dengan keberanian politik yang bertumpu
pada kedaulatan nasional. Menuju bangsa yang kuat,
mandiri, dan berkeadilan karena syarat-syarat material
Indonesia yang kaya memungkinkan untuk itu.***

No comments: