Dari 13 – 15 Oktober 2014, Salta, ibu kota provinsi Homonim sebelah barat utara Argentina, akan penuh
dengan ribuan perempuan dari penjuru negeri untuk merayakan Pertemuan Nasional
Perempuan (ENM) di Argentina yang ke 29.
Pertemuan ini bertujuan untuk mendiskusikan dan membahas ketidaksetaraan
gender, kekerasan gender termasuk bentuk femicide yang paling esktrim, budaya
perkosaan, dan pelanggaran hak perempuan, seperti beragam bentuk diskriminasi
terhadap perempuan seperti diskriminasi di tempat kerja.
Cerita tentang ENM kembali ke tahun 1986, saat pertemuan pertama
terselenggara di Buenos Aires di saat Argentina massih tidak memiliki hukum
perceraian dan otoritas orang tua yang hanya dipegang oleh ayah saja. Beberapa
workshop pun diorganisir termasuk partisipasi politik dan perempuan, Perempuan
dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Identitas, Gereja dan Perempuan, Stereotipe
Seksual dalam Pendidikan, Seksualitas, Keluarga Tradisional dan Model Keluarga
Baru dan Perempuan Adat.
Banyak perkembangan sejak tahun 1980an, termasuk disahkannya 26.364 Undang-
Undang pencegahan dan hukuman terkait perdagangan manusia dan pertolongan
kepada korban pada tahun 2008, legalisasi pernikahan sesama jenis di tahun
2010, 26.618 Undang- Undang tentang pernikahan setara (Dalam bahasa Spanyol Ley de Matrimonio Igualitario, yang
memodifikasi hukum perdata) dan pada tahun 2012 disahkannya 26. 743 Undang –
Undang yang dikenal dengan Undang-Undang Identitas Gender.
Meski demikian, masih banyak perjuangan yang belum menang, dan isu lama
maupun baru masih perlu pendiskusian dan pandangan. Partisipan akan membahas
berbagai isu itu dalam 60 workshop yang diorganisir tahun ini. Beberapa workshop
membahas beberapa tema seperti stereotipe, termasuk pendiskusian “Perempuan dan
Media”, yang fokus pada stereotip di media yang mereproduksi kekerasan
simbolik. Panel lainnya termasuk “Perempuan dan Feminisasi Kemiskinan”, dan
workshop tentang “Perempuan dan Seksualitas/ Lesbianisme/Biseksualitas”, yang
membonkar stereotipe dan phobia/kebencian, yang diciptakan oleh doktrin agama,
heteroseksual dan patriarki.
Para partisipan akan mendiskusikan isu kekerasan dalam workshop berjudul “perempuan
dan feminiside” dan “Perempuan dan Kekerasan”, yang memunculkan debat yang
menghasilkan beberapa tuntutan, termasuk deklarasi darurat nasional kekerasan
terhadap perempuan. Para partisipan dalam worksop “Perempuan dan Perdagangan
Perempuan/Prostitusi” menyimpulkan bahwa prostitusi bukan sebuah pekerjaan tapi
keekrasan pada perempuan dalam bentuk seks,yang dengan demikian tidak ada
istilah “klien” tetapi “pengguna prostitusi” yang menekan perempuan masuk ke
prostitusi dan keterlibatan negara dalam jaringan prostitusi dan perdagangan
manusia harus dibongkar.
Tema lainnya adalah pertemuan dimana tema identitas dimunculkan dalam
diskusi “Perempuan dan Keluarga” dan “Perempuan dan Populasi Masyarakat Pribumi”.
Workshop – workshop itu juga memunculkan isu masalah akses dan partisipasi
dalam sebuah diskusi berjudul “Perempuan dan Akses Terhadap Tanah, Tempat
Tinggal dan Jasa” dan “Perempuan dan Partai Politik”
Sebuah tema yang memiliki workshopnya sendiri dan punya pengaruh lintas manusia
adalah Perempuan dan Negeri Sekular. Tentang hal ini ada sebuah alasan mengapa
pada tahun 2013 organiser ENM memilih Salta sebagai pertemuan berikutnya untuk
ke dua kalinya. Salta adalah sebuah provinsi yang secara virtual bukan negeri
sekuler, dimana agama merupakan sebuah subyek mandatori di semua sekolah publik
dan gereja Khatolik masih memiliki kekuasaan anakronistik atas politik dan
kehidupan sehari- hari. Ini dibuktikan dengan komentar-komentar yang kami temukan
ketika memasuki kota ini, termasuk saya seperti “pelacur”, “pulang sana” ...
dan bahkan “Pikirkan tentang Tuhanmu sebelum bicara!” Paradigma dominan ini
juga ditunjukkan dengan kebingungan dari sekelompok gadis yang mendekati kami
dan bertanya tentang apa pertemuan ini dan setelah beberapa menit bicara, ia
memberitahu kepad akami bahwa mereka tertarik dengan topiknya, namun mereka
menemukan bahwa gagasan mengorganisir diri mereka sendiri unutk mendiskusikan
topik ini nyaris tak terpikirkan. Ketakutan warga lokal yang mendekati histeria
dalam sebuah “kemunafikan” diciptakan oleh beberapa media lokal, memberi
peringatan kepada warga Salta tentang invasi katastropik ke kota tersebut oleh
gerombolan perempuan yang bisa menghancurkan keluarga dan institusi lokal.
Ini bukan berarti Salta adalah
satu-satunya provinsi di Argentina dimana Gereja Khatolik memegang kendali. Pada
faktanya, salah satu peruangan yang pernah hadir – hak aborsi – merupakan kepentingan
khusus di peristiwa ini. Sebuah hukum perdata telah dilegalkan tahun ini di
Argentina. Dalam legislasi terakhir, awal dari keberadaan manusia dibangun
tepat di momen saat embrio tinggal di rahim perempuan dan dalam hal reproduksi,
keberadaan orang di hadapan hukum dimulai dengan munculnya embrio. Tidak hanya
hukum baru yang tidak mengandung hak perempuan atas pilihan reproduksinya - yang bisa memberi jalan pada pelegalan
aborsi – namun sesungguhnya langkah terbelakang dengan membangun konsespsi
tentang awal munculnya keberadaan manusia. Baru – baru ini, hak aborsi di
Argentina hanya diperbolehkan pada kasus perkosaan, kesehatan perempuan, atau
kasus disabilitas intelektual. Faktanya, bahkan perempuan dalam situasi
seringkali tidak bisa mengakses prosedur aborsi aman. Negara tidak menjamin paling
tidak, ada satu dokter yang tidak menolak praktek aborsi di setiap RS publik. Inilah
mengapa pemisahan gereja dan negara adalah tuntutan berulang yang diekspresikan
di diskusi workshop, dalam intervensi artistik dan grafiti di sekitar kota. Para
partisipan mengekspresikan tuntutan ini dalam bentuk poster dan nyanyian yang
menutup parade di hari Minggu, dengan slogan “Jika Paus adalah perempuan,
aborsi pasti akan legal” atau “Letakkan Rosiario di ovarium kita”
Pertemuan pada tahun 2014 ini juga termasuk beberapa isu baru di workshop. Meski
topik kekerasan kebidanan telah didiskusikan di pertemuan sebelumnya, tahun ini
workshop sepenuhnya mengabdikan dirinya untuk kasus kekerasan. Kekerasan kebidanan
didefinisikan sebagai bentuk kekerasan gender dan para partisipan
mengekspresikan tunttuan atas regulasi hukum kelahiran dan mengakhiri
komodifikasi kehamilan dan kelahiran
Workshop transgender diadakan untuk ke dua kalinya dalam searah ENM. Diskusi
ini juga menekankan tuntutan atas pemisahan antara gereja Khatolik dengan
Negara, semenjak institusi agama menghambat pengembangan kebijakan inklusiv. Beberapa
kesimpulan dari workshop ini, nyatanya, termasuk kenyataan bahwa inlusi nyata
terkait masyarakat transgender belum ada sama sekali, terutama di tempat kera,
sebuah ruang yang dibutuhkan untuk pemberdayaan ekonomi dan akses atas hidup
bermartabat. Bahkan tidak ada inklusi isu transgender yang diakui keberadaannya
dalam sistem kesehatan, meski sudah ada hukum identitas gender pada tahun 2008,
tidak ada regulasi yang memberi batas waktu pada menteri kesehatan Argentina
supaya menjamin hak masyarakat transgender untuk memiliki akses penuh atas layanan
kesehatan.
Kesimpulan di tiap workshop dibacakan pada Senin, 15 Oktober 2014.
Partisipan juga memilih pertemuan berikutnya di Mar del Plata, provinsi Buenos
Aires, karena di tempat inilah beberapa tempat prostitusi ditutup dengan
tuduhan perdagangan manusia – dan buka lagi hanya beberapa hari kemudian.
Masih panjang jalan yang harus
ditempuh, tapi prosesnya bisa meningkatkan kesadaran atas ketidak adilan yang
demikian tampak, dan tanpa lelah memperjuangkan hak kita sampai mendulang
banyak kemenangan hingga bisa menginspirasi banyak orang baik lelaki maupun
perempuan untuk bergabung dalam gerakan dan membuatnya lebih besar dari tahun
sebelumnya.
Laura
Beratti adalah seorang penerjemah dari Argentina, aktivis feminis
dan seorang traveler yang fanatik;baru-baru ini ia bergabung di Las Ramonas dan
bersama kelompok ini pergi ke Pertemuan Nasional Perempuan (NEM)
No comments:
Post a Comment