04/03/2008

[Debat} Bulan di Atas Kuba

Tempo, Edisi. 01/XXXVII/25 Februari - 02 Maret 2008

Bulan di Atas Kuba
Setelah hampir separuh abad berkuasa, Fidel Castro akhirnya mundur. Pemimpin baru di persimpangan jalan. Jenderal Raul Castro, adik Fidel, salah satu calon penggantinya.

TAK ada yang abadi. Begitu juga penguasa Kuba Fidel Castro dan kekuasaannya. "El Comandante"- begitu Castro disebut-membuat pernyataan penting pada Selasa pekan lalu: dia tak mau lagi dipilih sebagai Presiden Kuba pada sidang Majelis Nasional. Berita itu dirilis lewat situs berita resmi milik Partai Komunis Kuba, Digital Granma Internacional. "Saya tak akan menerima posisi sebagai Presiden Dewan Negara dan Panglima Militer," tulis Castro. Sidang majelis dilangsungkan Selasa pekan ini.

Sejak pertengahan 2006, Castro sakit dan harus operasi di bagian perut. Sejak itu dia tak pernah lagi tampil di depan umum. Tak jelas apa penyakitnya, hanya disebut-sebut dia mengalami pendarahan usus. Itu tampaknya menjadi alasan mundur. Meski tak lagi berpidato, dia masih kerap tampil di televisi serta pada sejumlah foto resmi.

Lelaki berjanggut yang badannya berayun-ayun ketika berpidato itu kini lebih banyak melakukan "refleksi dan meditasi". Sejak pekan lalu, setiap hari ada satu tulisannya di situs Granma. Refleksi Fidel mencakup soal politik, ekonomi, dan ideologi. Terakhir, misalnya, dia menulis tentang politik Amerika lewat lima seri tulisan. Meski kini hanya menulis, Fidel mengatakan tak akan meninggalkan politik. "Ini bukan ucapan selamat tinggal," ujarnya. Dia ingin tetap berjuang sebagai prajurit. Bukan prajurit bersenjata, tapi prajurit ide.

Reaksi pertama tentu datang dari Presiden Amerika Serikat, musuh tradisional Fidel. Saat George W. Bush berkunjung ke Rwanda dan lima negara Afrika lain pekan lalu, ia ingin ada transisi demokratik di Kuba. "Bukan sekadar suksesi di dalam kediktatoran, " ujarnya. Tentu ucapan itu sudah kerap didengar Fidel dari mulut Presiden Amerika.

Sejak berkuasa, Fidel menyaksikan sepuluh Presiden AS naik-turun ke Gedung Putih. Pada 1959, lelaki yang lahir di Biran, Kuba Timur, itu memimpin 800 personel, mengalahkan 30 ribu prajurit diktator Fulgencio Batista. Setelah melancarkan gerilya, dia menduduki Havana, mengusir Batista, lalu menjadi legenda. Pemberontakan itu semula didukung Amerika, belakangan Fidel menyatakan pemberontakan itu sebagai kemenangan komunisme.

Sejak itu, Amerika yang merasa tertipu mencoba menjatuhkan Fidel. Embargo ekonomi dilancarkan, tetapi "El Comandante" bertahan dengan merapat ke Uni Soviet. Lalu, berbagai upaya pembunuhan atas dirinya diorganisir CIA, termasuk peristiwa Teluk Babi pada 1961. Semua gagal dan hanya membuat dia kian membenarkan sikap menindas "elemen kapitalisme dan imperialisme" di Kuba. Ujungnya, Fidel Castro menjadi diktator.

Tekanan Amerika juga membuat Kuba harus mencari akal untuk bertahan. Mungkin itu sebabnya Fidel Castro tetap menggenjot ideologi komunisme. Lihatlah di Calle Obispo, sepotong jalan di kawasan kolonial Old Havana. Ada plakat besar tertempel di museum Komite Pertahanan Revolusi, organisasi warga yang dibentuk Fidel pada 1960. Museum itu baru didirikan tahun lalu. Plakatnya berbunyi: Sr Bush: este pueblo no puede ser enganado ni comprado (Tuan Bush, rakyat kami tak bisa ditipu atau dibeli). Di dinding terpatri pidato-pidato Fidel dan jumlah anggota Komite, yang sampai 2007 mencapai 8,4 juta dari 11 juta warga Kuba.

Setelah Uni Soviet bubar, Kuba memang kerepotan. Ekonominya menciut 35 persen sepanjang 1989-1993. Banyak yang menduga Kuba bakal runtuh, toh negeri cerutu itu bertahan. Fidel segera menyatakan "periode khusus" ketika Kuba boleh menerima modal asing, mempromosikan turisme, terutama hotel, pertambangan nikel, telekomunikasi, dan minyak bumi. Ekonomi sedikit membaik, tapi Fidel terpaksa menghentikannya pada 1996. Akibat modal masuk itu, ada jurang pendapatan di tengah rakyat.

Dibanding Cina dan Vietnam, dua negara komunis yang melaju setelah mencangkok kapitalisme, Kuba memang lebih lambat. Untunglah ada Hugo Chavez, pemimpin Venezuela, yang mengidolakan Fidel. Venezuela lalu ibarat Uni Soviet bagi Kuba. Keduanya melakukan ekonomi barter. Chavez meminta 20 ribu dokter, guru olahraga, dan ahli keamanan dari Kuba untuk bekerja di negerinya. Sebagai balasan, Venezuela mengucurkan minyak sejumlah 92 ribu barel per hari ke Kuba, dan menyetor US$ 800 juta pada 2006, dan US$ 1,5 juta (setara Rp 14 miliar) pada 2007.

Berkat Venezuela, ekonomi Kuba kembali bergerak. Negeri itu bisa punya energi listrik lumayan baik. Apalagi, ketika bantuan kredit dari Cina datang. Kuba mengganti armada bus reot mereka dengan buatan Cina yang lebih hemat bahan bakar. Meski begitu, negara itu masih terbebat problem pendapatan rendah. Biaya hidup pun melangit.

Gaji seorang buruh pabrik, misalnya, berkisar 400 peso. Dokter? Jangan kaget, hanya 700 peso. Angka itu pun kalau ditukar ke dolar di pasar gelap hanya berkisar US$ 17-30 (setara Rp 150-180 ribu). Peso hanya cocok membeli sembako bersubsidi. Setiap bulan, lewat Komite Pertahanan Revolusi, warga dijatah 2,25 kilo beras per orang. Ditambah setengah liter minyak goreng. Kalau stok lagi ada, warga bisa kebagian kedelai, gula, sardin, daging, sabun dan pasta gigi. Ini semua cuma bisa bertahan sepekan.

Meski begitu, soal kesehatan dan pendidikan, Kuba boleh menepuk dada. Mereka bisa menggratiskan rumah sakit dan sekolah, tetapi ada masalah besar juga. Dengan ekonomi morat-marit, sekolah kini kekurangan guru. Banyak tenaga pengajar pindah ke sektor turisme. Di sektor itu duit lebih menjanjikan. Soal fasilitas kesehatan pun kini terancam gawat. Gedung rumah sakit banyak yang lapuk. Peralatan medis dan obat pun terbatas.

Banyak pengamat mengatakan, jika Fidel mundur, maka Kuba bakal berubah. Namun, jika Raul Castro, 76 tahun, yang menggantikannya maka perubahan mungkin tak terlalu besar. Raul adalah adik kandung Fidel, kini adalah pejabat presiden, sejak sang abang absen 19 bulan karena sakit. Dia juga Menteri Pertahanan. Meski dikenal pragmatis, Raul adalah motor dari Partai Komunis Kuba. Pada Juli lalu dia berjanji membuat "perubahan struktural dan konseptual", tapi belum begitu jelas ke mana arah ekonomi dan politik Kuba nanti.

Jika Raul tidak naik, calon kedua menjadi penting. Namanya Carlos Lage, anggota Politbiro dan Ketua Dewan Menteri Negara. Umurnya 51 tahun. Artinya, ketika Fidel dan kawan-kawannya menggulingkan Batista, dia baru tiga tahun. Karena itu, Lage termasuk generasi muda yang tak terkait pengalaman politik kaum tua. Sebagai penasihat ekonomi Fidel, dia diharapkan menjadi motor perubahan.

Sejak Raul Castro pegang kendali, politik Kuba sedikit lebih lega. Para seniman dan penulis agak relatif bebas. Raul juga pernah minta maaf kepada bekas pejabat yang terkena "revolusi kebudayaan" pada 1970-an. Tapi, memang, kritik hanya boleh dilakukan terbatas. Warga boleh menghujat isu ekonomi, dan korupsi birokrasi. Soal politik belum boleh disentil. "Kalau kami bicara jelek soal Fidel, kami bisa di penjara," ujar Rodrigo, warga Havana.

Fidel dan revolusi Kuba kini berada di persimpangan. Rakyat akan mencatat dia sebagai pemimpin setia kepada revolusi. Dia bukan pemimpin korup dan kaya-raya seperti diktator lain. Fidel adalah pemimpin yang tak bisa berpisah dari rakyat, seperti cintanya kepada revolusi. Dan, revolusi baginya tak lain adalah pengabdian absolut memenuhi kebutuhan rakyat.

Suatu kali, setahun setelah menggulingkan diktator Batista pada 1959, filsuf dan sastrawan Prancis Jean-Paul Sartre bertandang ke Kuba. Perjalanan itu akhirnya dibukukan dalam Sartre on Cuba, yang terbit sekitar 1961. Di sana, terekam satu dialog menarik antara Fidel dan filsuf eksistensialisme itu. Sartre bertanya, apakah Fidel akan memenuhi semua permintaan rakyat?

+ "Ya, karena semua permintaan merefleksikan kebutuhan."

- "Bagaimana jika mereka meminta bulan?"

Fidel terdiam. Dia mengisap cerutunya dalam-dalam.

+ "Kalau itu mereka minta, berarti rakyat memang membutuhkannya. "

Fidel baru saja menyatakan "pensiun" pekan lalu. Mungkin, dia mengingat kembali dialog setengah abad lampau. Seperti bulan, kebutuhan rakyat kini tampak terang: perubahan di Kuba.

Nezar Patria (Granma, Economist)

________

-Tanggapan Coen HP-

Dear all,

Membaca laporan Nezar ini, aku seperti membaca laporan
media-media kapitalis liberal, tentang peralihan
kekuasaan di Kuba. Media seperti The Independent atau
Guardian banyak menulis, bahwa perubahan yang kini
terjadi di Kuba, belumlah seperti yang diinginkan.

Coba baca tulisan Rory Carroll di the Guardian pada
25 February, "The dearth of suspense underscored the
authorities' tight control over the island and its 11
million people, many of whom hanker for relief from
poverty harsher than that experienced in eastern
Europe before the fall of the Berlin wall."

Media-media ini juga menilai peralihan kekuasaan di
Kuba tak lebih seperti peralihan kekuasaan di sebuah
kerajaan, atau khas seperti peralihan kekuasaan di
Korsel. Mereka menghendaki peralihan kekuasaan
berlangsung secara "normal" dan "damai."

Kita tentu saja mahfum argumen seperti ini sangatlah
politis, tidak ilmiah. Dimanapun, jika terjadi
peralihan kekuasan yang damai, rejim baru tentu
berusaha melanjutkan kebijakan rejim lama. Coba lihat
dari rejim Clinton yang demokrat ke rejim Bush yang
Neocon, keduanya sama-sama agresor dan menjalankan
kebijakan ekonomi yang sama: neoliberal. Atau
peralihan kekuasaan dari Tony Blair ke Gordon Brown,
apa perbedaan signifikannya? Juga dari Gus Dur ke
Megawati lantas ke SBY, beda substansialnya apa?

Kecuali perubahan kekuasaan itu berlangsung radikal
seperti dari Orde Soekarno ke Orde Soeharto, jelas ada
perubahan kebijakan yang juga radikal. Atau dari
Batista ke Castro.

Nezar juga menulis bahwa setelah berkuasa, Castro
kemudian menjadi diktator. Patut ditanyakan, dalam
pengertian seperti apa kata Diktator yang dimaksud
Nezar? Kalau menggunakan teori pembagian kekuasaan
atas tiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif, maka benar bahwa Castro berkuasa secara
diktator. Tapi, Kuba memang tidak mengadopsi demokrasi
liberal, apalagi jika itu bermakna th way of american
politics.

Saya pernah menulis agak panjang soal demokrasi di
Kuba ini di Jurnal terbitan insist Yogyakarta pada
2005, di mana saya menunjukkan bahwa partisipasi
rakyat dalam setiap jenjang pemilihan umum di Kuba
sangatlah tinggi. Dan mereka yang terpilih dalam
Pemilu, tidak selalu merupakan calon dari Partai
Komunis Kuba.

Selain itu, Nezar menulis bahwa hubungan antara
Venezuela dan Kuba ibarat hubungan antara Uni Sovyet
dan Kuba. "Venezuela lalu seperti ibarat Sovyet kedua
bagi Kuba," tulisanya. Aah, tentu ini pengibaratan
yang berlebihan. Dalam kasus hubungan Kuba-Sovyet,
posisi Kuba adalah subordinat, sementara dalam
hubungan Kuba-Venezuela, hubungan keduanya adalah
setara. Secara politik bahkan keduanya sangatlah
berbeda, walaupun Chavez merupakan pengagum Castro.

Di bagian lain, Nezar menulis bahwa Kritik hanya boleh
dilakukan secara terbatas dan para seniman dan penulis
baru merasa lebih bebas ketika Raul Castro menjabat
sebagai acting president. Nezar mungkin kekurangan
informasi. Dari segi penerbitan buku, misalnya, Kuba
sangatlah produktif. Kita ambil contoh sejak
dimulainya pelaksanaan Festival Buku pada 1982, selalu
diramaikan oleh besarnya animo penerbit dan
pengunjung. Pada pelaksanaan Cuban Book Fair yang
ke-17 tahun ini, misalnya, jumlah penerbit yang
berpartisipasi sebanyak 145 dimana 90 di antaranya
berasal dari luar negeri. Coba bandingkan dengan
jumlah partisipan penerbitan buku di Indonesia.

Mau tahu berapa jumlah buku yang terbit setiap tahun
di Kuba? Pada masa krisis ekonomi tahun 1990an,
jumlah buku yang terbit "cuma" 50 juta eksemplar. Kini
berdasarkan laporan Cuban Books Institute, jumlah buku
yang terbit pasca krisis hanya bertambah "sedikit"
menjadi 60 juta eksemplar. Cuban Institute sendiri
tahun ini hanya bisa menjual buku lebih dari 8 juta
eksemplar. Dari segi topik, kecuali buku-buku mesum,
hampir semua buku ilmiah yang terbit di Barat bisa di
jumpai di Kuba.

Setelah memuji soal prestasi Kuba di bidang pendidikan
dan kesehatan, Nezar menulis bahwa jumlah guru di Kuba
semakin berkurang. Masak iya? Hingga kini, Kuba adalah
negara dengan jumlah guru terbesar di Amerika Latin.
Dari segi komposisi jumlah guru-murid, untuk tingkat
sekolah dasar dari setiap 20 murid dilayani oleh satu
orang pengajar. Untuk tingkat sekolah menengah, satu
orang pengajar melayani 15 murid. Bahkan, di negara
seperti AS, komposisi seperti ini tak akan bisa
ditemukan.

Lalu soal gedung-gedung rumah sakit yang lapuk dan
peralatan yang terbatas. Nezar melupakan satu hal,
bahwa selama lebih dari 40 tahun Kuba diembargo secara
ekonomi oleh AS untuk semua bidang, termasuk fasilitas
medis. Tapi, kalau Nezar pernah menonton film Sicko
karya Michael Moore, tentu Nezar bisa melihat dengan
jelas betapa fasilitas kedokteran di Kuba yang masih
diembargo itu, sangatlah modern. Lebih dari itu,
gedung rumah sakit yang megah, bukan ukuran yang
akurat bagi kelayakan pelayanan medis. Indonesia tentu
contoh terbaik soal ini.

Lantas soal gaji yang cekak. Bung Nezar, orang memburu
uang setinggi-tingginya, karena takut akan resiko yang
mengancam masa depan hidupnya. Takut, jika ia sakit
tak mampu membiayai pengobatannya, takut jika anaknya
gede tak mampu menyekolahkan karena biaya pendidikan
yang melangit, atau takut jika ia tak mampu membeli
barang-barang luks seperti mobil, baju-baju mewah,
emas perhiasan, yang merupakan simbol jati diri
kemodernan. Tapi, jika pendidikan gratis, kesehatan
gratis, dan simbol kemodernan adalah solidaritas,
empati, dan kejujuran, lantas buat apa memburu harta
bertumpuk?

Pada akhirnya, terima kasih untuk laporan Nezar ini.
Saya kira, ini laporan tentang Kuba yang relatif
berimbang. Dan kini, Raul Castro telah resmi menjadi
presiden Kuba, tanpa arak-arak panser dan demonstrasi
massa yang brutal.

-C