14/06/2006

Revolusi tak Terbendung di Amerika Latin: Kemana Arahnya oleh Zely Ariane

Tambahan Pelengkap

Revolusi tak Terbendung di Amerika Latin;

Kemana Arahnya?

(versi asli dari artikel yang dimuat Tabloid Pembebasan edisi online No.18 tahun V 20 Februari 2006 )

Saat ini adalah sebuah momentum ketika kaum kiri mampu menciptakan alternatif, menjadi kaum kiri yang konstruktif; bukan yang destruktif. (Marta Harnecker 10 Januari 2005)

Memprediksi Arah Angin Revolusi

Perkembangan Amerika Latin sebagai "benua-nya revolusi" saat ini, dinyatakan Fidel Castro sebagai basis bagi perubahan peta politik dunia di abad 21, sekaligus mengindikasikan kegagalan ideologi neoliberal—lewat berbagai skenarionya—dan imperialis Amerika Serikat. Revolusi Bolivarian Hugo Chavez serta kerinduan rakyat atas sebuah alternatif menjadi kekuatan bagi perluasan dan konsistensi revolusi di Amerika Latin selanjutnya. Capaian Revolusi Bolivarian telah menjawab persoalan-persoalan mendesak rakyat diluar syarat-syarat kapitalisme, sekaligus menjadi inspirasi bagi konsolidasi gerakan melawan imperialisme di seluruh Amerika Latin.

Tiga perempat negeri-negeri di Amerika Latin dipimpin oleh pemerintahan 'kiri' yang beraneka ragam, yang terpilih karena janji-janji revolusi kirinya untuk mengeluarkan negeri dari krisis akibat imperialisme. Namun, ke arah dan sejauh mana angin revolusi ini akan bertiup? Semakin ke kiri-kah?

Dalam memprediksi kemana arah dan sejauh mana angin revolusi bertiup, maka kita harus meletakkan penilaian pada; basis historis dan karakter pemimpin-pemimpin 'kiri', serta konsistensinya dalam melaksanakan program-program anti imperialisme di Amerika Latin; peran revolusioner pemerintah Venezuela dan Kuba; serta konsolidasi gerakan revolusioner di masing-masing negeri.

Pertama, jangan dilupakan bahwa basis historis dan karakter pemimpin-pemimpin 'kiri' yang mengemban amanat revolusioner dari rakyat ini berbeda-beda. Dalam Pembebasan edisi IX Tahun III Februari 2004, 'pemerintah partai buruh' Lula da Silva sudah pernah disimpulkan sebagai pemerintahan kiri-tengah sosial demokratik yang anti buruh dan rakyat miskin. Pujian Washington, IMF dan Bank Dunia terhadap reformasi ekonomi Brazil yang pro terhadap neoliberalisme, harus dicatat sebagai basis historis yang buruk dalam menilai arah politik pemerintah Lula Da Silva. José Genoino, presiden Partai Buruh'nya Lula, pernah menyatakan: "Kami tidak bermaksud untuk menasionalisasi apapun, ataupun menguatkan negara dalam makna tradisional, yang kami inginkan adalah sebuah negara yang merencanakan segala sesuatu yang fundamental bagi proyek pembangunan." Tentu saja yang dimaksudkannya dengan hal-hal fundamental bagi proyek pembangunan adalah; pemotongan upah minimum, pemotongan subsidi sosial hingga 35,4%, tak pernah dijalankannya janji 1400 juta Real untuk kerja-kerja public, serta 700 juta Real untuk anggaran perumahan dimasa pemerintahan Lula.

Terpilihnya Nestor Kirchner yang kiri-Peronis pada tahun 2003 dipagari oleh tuntutan mayoritas rakyat terorganisir Argentina agar seluruh klas penguasa yang didukung oleh lembaga keuangan internasional kapitalis 'dibuang' saja. Sementara prestasi 'terbaik'nya, menolak pembayaran lebih dari $140 trilyun hutang kepada IMF—yang sebagian kemudian dicicil hingga dilunaskan oleh Pemerintah Hugo Chavez baru-baru ini. Prestasi ini juga tak akan pernah terjadi tanpa militansi perjuangan Piqueteros—pergerakan kaum tak berpekerjaan menuntut lapangan pekerjaan, peningkatan subsidi dan pemenuhan bahan pokok serta infrastruktur bagi rakyat miskin—menohok langsung tuntutan untuk menghentikan pembayaran hutang hingga rakyat sejahtera. Jangan lupa, Kirchner sempat menjawab tuntutan rakyat dengan represi dan penangkapan besar-besaran aktivis-aktivis Piqueteros. Namun perlawanan balik tidak pernah berhenti, sehingga ia berhasil dibuat tak punya pilihan selain memboikot pembayaran hutang untuk subsidi rakyat.

Tak mengikuti pemerintah tetangganya Argentina, Tabare Vazquez, ditengah krisis ekonomi dan penurunan pendapatan rakyat Uruguay hingga 10% pada tahun 2002, tak berhasil didorong oleh demonstrasi rakyat untuk menolak pembayaran hutang yang luar biasa tinggi. Tampak pada pilihannya menunjuk Danilo Astori sebagai menteri keuangan dan ekonomi, yang dipercaya oleh banyak pengamat ekonomi kiri sebagai yang berbahaya, konservatif dan mendukung dasar-dasar resep ekonomi Keynesian. Astori, seperti dilaporkan oleh mingguan Economist, percaya bahwa; "Brazil memainkan peran penting dalam membuktikan bahwa sebuah pemerintahan yang kiri dapat berselaras dengan kebijakan fiskal ketat."

Bagaimana dengan Lucio Gutierrez? James Petras hanya memberikan predikat populis pada Presiden Ecuador ini. Menurut Petras, Lucio seorang mantan tentara ini seakan-akan turun dari langit menjadi pemimpin pemberontakan kaum tani Indian di tahun 2000. Dibabtis menjadi "calon dari rakyat" oleh kaum kiri, ia di dukung oleh mayoritas partai politik kiri (Pachakutic, MPD) dan gerakan social (CONAINE—gerakan tani terkuat dan yang lainnya), juga serikat-serikat buruh (minyak, listrik dsb). Namun segera setelah menjadi Presiden, Guiterrez berwisata politik ke Washington untuk mejamin agenda-agenda utama Washington dilaksanakan di Ecuador dan Amerika Latin, seperti menjamin ALCA (FTAA)—perdagangan bebas Amerika Latin—Plan Colombia, pangkalan militer Manta, privatisasi minyak dan isu-isu khas Washington lainnya. Menteri-menteri, sekretaris dan fungsionaris kenegaraannya adalah borjuis kecil yang semakin lama semakin tampak anti rakyat miskin. Rakyat akhirnya tak tinggal diam ketika Guiterrez sewenang-wenang membebaskan dan merekrut Abdala Bucaram yang diberhentikan dari kepresidenan karena kasus korupsi delapan tahun sebelumnya. Pemogokan umum kembali menjadi senjata.

Menurut survey tahun 2005, setelah Lucio Guiterrez, Alejandro Toledo, seorang kiri-tengah, yang sejak 2001 memerintah di Peru adalah Presiden di Amerika Latin yang sangat tak populer. Tak berbeda dengan Guiterrez, Toledo juga sejak awal sudah mendukung FTAA. Dalam pemilu mendatang, hampir bisa dipastikan Toledo tak kan mungkin terpilih lagi. Adapun Ollanta Humala, kandidat Presiden yang mendukung platform Hugo Chavez mempunyai kesempatan yang lebih besar.

Evo Morales dan Veronica Michelle Bachelet, yang baru saja memenangkan pemilu, adalah sama-sama Presiden baru yang terpilih di era meluasnya kesadaran revolusioner rakyat Amerika Latin menolak imperialisme serta mendukung Revolusi Bolivarian. Evo berbeda dengan Bachelet. Penindasan yang dilakukan Diktator Pinochet terhadap Bachelet dan keluarganya, mengharumkan nama Bachelet sebagai seorang pemimpin—yang kebetulan perempuan—Chile alternatif. Tapi, seperti pendahulunya Richardo Logos, belum kelihatan komitmen anti imperialismenya—walau dalam janji pemilunya kesetaraan ekonomi dan pembanguan adalah targetan utamanya (Presiden mana yang tidak menjanjikan hal serupa?). Bahwa Bachelet mengedepankan partisipasi kaum perempuan dengan keterlibatan maksimal perempuan di pemerintahan, belum mencerminkan solusi programatik terhadap persoalan mendasar kaum perempuan dan rakyat miskin di dalam neoliberalisme. Terlihat dari susunan kabinetnya, dimana menteri keuangan akan dipegang oleh Andres Velasco, lulusan AS yang tak berbeda dengan Danilo Astori yang konservatif terhadap fiskal. Pemerintahan Brachelet akan melanjutkan apa yang sudah dikerjakan Logos sebelumnya. Tak heran, Condolezza Rice segera mengucapkan selamat dan mendukung Bracelet. Hasil pemilu yang memenangkan Bachelet juga tidak terlalu menggembirakan, yakni 54% berbanding 46%, dengan 40% jumlah orang yang tak memberi suara—sebagian besar adalah kaum muda dibawah 30 tahun.

Tidak demikian dengan Evo Morales. Sebagai seorang Indian pertama yang memimpin sebuah negeri—Bolivia, Movement Toward Socialism (MAS) bersama Evo, cukup teruji di dalam gerakan rakyat menolak agenda-agenda neoliberalisme, khususnya perang AS terhadap petani Koka—gerakan tani dimana ia berasal. Walau sempat mendukung rencana Carlos Mesa—Presiden Bolivia sebelumnya—memberi kompromi sebatas kenaikan royalti pada perusahaan-perusahaan minyak internasional, oleh konsolidasi serikat buruh CUT dan gerakan demokratik kerakyatan lainnya, Evo ditarik untuk mencabut dukungannya, hingga pada akhirnya bersama-sama gerakan rakyat menuntut nasionalisasi minyak dan gas. Komitmen Evo terhadap petani Koka selama ini—gerakan tani terkuat di Bolivia—tak ada celoa, sehingga AS dibuat kerepotan. Kemenangan Morales telah membuat pergeseran kekuatan di Amerika Latin semakin jauh dari hegemoni AS dan semakin dekat dengan model Venezuela-Kuba alternatif anti-kapitalisme. "Chávez tidak sendiri, rakyat Amerika Latin mendukungnya. Inilah sebuah kenyataan baru." Morales pada pidato pertamanya sebagai Presiden Bolivia.

Bagi Washington, gampang saja menentukan pemerintahan mana yang akan didukung dan dijadikan sahabatnya, dengan melihat aspek-aspek seperti, kesediaan membayar hutang luar negeri ke Bank-bank AS dan Eropa; privatisasi industri-industri strategis; keterbukaan pasar bagi eksportir dari utara; pilihan mata uang yang digunakan sebagai cadangan devisa (dollar atau euro); perundangan yang mendukung sistem pengupahan, tunjangan, dan pola berserikat bagi buruh yang 'ramah' pada pasar; kepatuhan terhadap kesepakatan-kesepakatan IMF.

Namun, bagi kita, semakin jauh pemerintahan kiri Amerika Latin dari lingkaran resep ekonomi neoliberal tersebut, semakin berpeluang konsistensinya dalam mengemban amanat revolusioner dari rakyat Amerika Latin saat ini; yakni, sebuah tatanan ekonomi dan politik yang berdaulat (anti imperialisme) adil, demokratik, kerakyatan, bersih dari korupsi, dan menjunjung solidaritas menuju sosialisme di abad 21.

Kedua, bagaimana kolaborasi Revolusi Bolivarian Hugo Chavez dan Revolusi Sosialis Fidel Castro mampu mendorong para pemimpin yang sekadar kiri-tengah (sosdem) atau populis-reformis menjadi lebih kiri, sehingga sosialisme di abad 21 bisa berwujud?

Pemerintah Venezuela dan Kuba adalah penentu arah revolusi di Amerika Latin. Pasca kudeta yang diskenariokan Amerika Serikat terhadap Hugo Chavez di tahun 2002, Venezuela mulai memimpin 'penyerangan balik' secara terbuka melawan imperialisme dan pemerintahan imperialis AS di Amerika Latin. Bersama Kuba, Venezuela terus mengkonsolidasikan dan mengkongkritkan potensi-potensi perlawanan pemerintah negara-negara Amerika Latin terhadap imperialisme.

Mar del Plata, Argentina, tahun lalu, menjadi saksi keberhasilan Chavez dan Castro mengkonsolidasikan penolakan terhadap FTAA sekaligus mendeklarasikan ALBA—the Bolivarian Alternative for the Americas (Alternatif Bolivarian untuk Rakyat Amerika) sebagai alternatif bagi integrasi dan kolaborasi Amerika Latin melawan intervensi pasar bebas imperialis AS. Lula, Kirchner, dan Guiterrez berhasil didorong menandatangani kesepakatan tersebut. Bersama gerakan rakyat anti imperialisme yang tumpah ruah di jalan-jalan Argentina, Hugo Chavez berhasil membuat ketiga pemimpin negara itu menjilat ludahnya (yang semula bermanis-manis dengan Washington mendukung FTAA) sendiri. Integrasi ALBA, yang pada tahapan sekarang lebih banyak masih berupa propaganda, sudah berhasil memagari pimpinan-pimpinan kiri setengah hati di Amerika Latin untuk bergerak menuju prinsip-prinsip saling melengkapi (dari pada berkompetisi), solidaritas (daripada dominasi), kerja bersama (daripada eksploitasi) dan penghormatan kedaulatan rakyat (menggantikan kekuasaan korporasi) bagi kemajuan tenaga produktif negeri-negeri yang lebih miskin, sekaligus menjadi kekuatan tandingan bagi imperialis AS.

Kuba dan Venezuela memelopori bentuk kolaborasi dan integrasi yang bermanfaat bagi rakyat ini, lewat metode pertukaran dokter dengan minyak; operasi mata gratis bagi penduduk miskin Venezuela ke Kuba setiap minggu—Mission Milagro. Kemudian bentuk ini diluaskan menjadi pertukaran minyak dengan bahan makanan dan pertanian; dokter dengan mesin-mesin produksi, bantuan modal untuk pengembangan energi minyak—daripada memprivatisasikannya ke korporasi minyak semacam Royal Ducht, Shell atau Cevron Texaco, pembangunan pipa-pipa minyak dan penjualan minyak murah, mulai melibatkan Ecuador, Argentina dan Brazil (Petrosur), Colombia dan Paraguay. Semuanya bertujuan semata-mata demi kemajuan tenaga produktif rakyat di Amerika Latin.

Pemerintah Chavez juga berhasil masuk dan mengubah orientasi MERCOSUR—Argentina-Brazil-Paraguay-Uruguay—dari sekadar blok perdagangan (minyak) yang mengejar profit. Chavez berkata; "Kita membutuhkan MERCOSUR yang memprioritaskan kepentingan rakyat. Kita membutuhkan MERCOSUR yang setiap hari bergerak semakin menjauh dari model integrasi korporasi elitis yang kuno, yang hanya mengejar keuntungan financial namun melupakan kaum buruh, anak-anak, dan martabat hidup manusia."

Minyak Venezuela memang menjadi sumber dana bagi kemajuan Amerika Latin saat ini. Petro Caribe dibangun untuk menyediakan minyak yang murah untuk rakyat di wilayah Karibia, dan rencana membangun Petro America yang menyatukan perusahaan-perusahaan energi milik negara diseluruh Amerika Latin. Termasuk membayarkan hutang Argentina kepada IMF sebesar $2,4 milyar agar "Argentina segera mengakhiri ketergantungannya dengan IMF". Chavez juga menggagas pembentukan sebuah alternatif lembaga keuangan melawan IMF, yakni Bank of the South (Bank Selatan), agar negeri-negeri dapat meminjam dana tanpa terikat kebijakan-kebijakan neoliberal yang dipaksakan Washington.

Dalam bidang budaya, sebuah stasiun televisi regional Telesur, diluncurkan 24 Juli lalu, bersamaan dengan peringatan hari lahir ke 222 Simon Bolivar. Telesur bertujuan menghancurkan hegemoni propaganda AS diseluruh benua ini. Sebuah perusahaan pertelevisian bersama antara Venezuela, Argentina, Cuba dan Uruguay, yang selama 24 jam penuh melakukan siaran sejak akhir Oktober lalu. Direktur informasi Jorge Botero, menjelaskan; "Dunia yang unipolar ini, ketika semua orang berkiblat ke utara dengan hormat dan berakhir pada pembudakan, harus segera diakhiri. Bagi kami, cakrawala sesungguhnya lebih luas terbentang, dari pada yang dilihat dari Washington, dan karena itulah moto kami 'Utara Kami adalah Selatan'."

Diatas segalanya, inilah kemenangan dan hadiah yang luar biasa indah bagi rakyat Kuba yang selama bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan di bawah blokade AS. Kuba—bersama Venezuela—berhasil mengkonsolidasikan kekuatan seluruh Amerika Latin, dan memenangkan pertempuran tanpa senjata, melainkan dengan ideologi dan solidaritas yang, ternyata, jauh lebih ampuh dari senjata secanggih apapun. Inilah contoh Internasionalisme Sosialis di dalam praktek yang sesungguhnya.

Ketiga, tuntutan revolusioner yang menghendaki keadilan ekonomi melalui nasionalisasi—penolakan privatisasi—penyediaan lapangan pekerjaan, redistribusi tanah dan permodalan bagi pertanian, serta pemberantasan korupsi, semakin sulit (tak bisa) ditawar-tawar lagi. Ini adalah basis bagi konsolidasi dan kemajuan gerakan rakyat revolusioner di masing-masing negeri. Jatuh bangunnya gerakan adalah hal biasa dalam sejarah Amerika Latin, namun kuatnya gelombang radikalisme menunjukkan bahwa kali ini tidak akan mudah dihancurkan.

Di pembuka abad ini, gerakan rakyat Amerika Latin—gerakan tani, buruh, kaum miskin tak bepekerjaan, mahasiswa progressif—berhasil mewujudkan persatuan yang bermanfaat. Pelajaran berharga bagi gerakan revolusioner di seluruh dunia, ketika eksistensi, sektarianisme dan moderasi menjadi duri-duri sandungan bagi pembangunan persatuan yang nyata. Dari perjuangan sektoral dan lokal, gerilya bersenjata di gunung dan perkotaan, perjuangan keserikat-buruhan dan tanah, dari jalanan hingga gedung parlemen, semuanya semakin mengarah pada perjuangan untuk membangun dan mengkongkritkan model alternatif untuk menggantikan model kekuasaan neoliberal yang sudah bangkrut, menuju sosialisme abad 21.

Revolusi Venezuela sudah memberikan sebuah kilau bagi revolusi dan pemberontakan lebih lanjut diseluruh benua Amerika Latin. Kemajuan revolusi semakin jauh mendeskriditkan model 'alternatif' yang ramah terhadap neoliberalisme, seperti yang selama ini dipimpin oleh Lula. Pengkhianatan yang pernah dilakukan Brazil dengan membentuk "Sahabat Venezuela" yang pada kenyataannya mendukung kudeta terhadap Hugo Chavez, menorehkan catatan buruk yang harus terus diwaspadai oleh gerakan revolusioner di masing-masing negeri. Semakin nyata, kuat dan luas persatuan gerakan, akan semakin nyata, kuat dan luas pula program-program menuju Sosialisme abad 21 dapat menyebar, tak hanya di Amerika Latin, bahkan diseluruh dunia.

Ditengah-tengah deideologisasi, keengganan terlibat dalam pertempuran merebut kekuasaan di tingkat nasional, social movement di negeri-negeri maju saat ini berhasil dipaksa untuk mengakui bahwa; "Ya, Venezuela adalah sekutu terbaik gerakan sosial dunia saat ini". Paling tidak inilah yang dinyatakan oleh Direktur Global Exchange Amerika, Deborah James, pasca kunjungannya dari Venezuela tahun lalu.

Ya, memang tak ada jalan lain, selain merebut kekuasaan dan membangun alternatif. (zy)


--
Zely Ariane __._,_.___