09/05/2007

Belajar Dari Sandinista di Nikaragua (Bagian 3-Habis)

Paska revolusi 19 Juli 1979, Sandinista berkuasa secara demokratik hanya selama satu dekade. Pada 29 Februari 1990, melalui sebuah pemilu, Sandinista kalah dalam perolehan suara dari UNO (National Union of the Opposition). Presiden Daniel Ortega Seevadra dari Sandinista pun turun tahta. Penggantinya adalah bekas kompatriotnya di Junta, Violeta Barrios de Chamorro, yang kini berbendera UNO. Kekalahan Sandinista dalam pemilu kedua ini telah mendatangkan banyak perdebatan, baik secara ideologis, politis, maupun organisasi. Bagi kalangan anti Sandinista kekalahan ini pertanda bahwa FSLN telah gagal dalam mengemban amanat kepercayaan rakyat, bahwa FSLN gagal dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi yang dijanjikannya. Pada tataran ideologis, kekalahan Sandinista ini merupakan tabuhan lonceng selanjutnya bagi kematian sebuah alternatif pembangunan di luar jalan kapitalisme. Analisa lain menyatakan, kekalahan Sandinista lebih disebabkan oleh intervensi yang sangat sistematis dan berskala besar yang dilakukan pemerintahan Amerika Serikat di bawah sang koboi, Ronald Reagan.

Politik Kolaborasi Kelas?

Dari berbagai analisa, saya melihat ada dua penjelasan yang bisa membantu kita untuk melihat kegagalan Sandinista dalam pemilu 1990. Pertama, penyebab yang datang dari watak revolusi 1979, dan kedua sebagai akibat dari kebijakan luar negeri AS yang agresif.

Penyebab pertama, berangkat dari kritik internal kalangan Marxis terhadap ideologi yang diusung FSLN dan dampaknya pada level kebijakan politik dan ekonomi. Sebagian kalangan Marxis berpendapat, revolusi 1979 lebih mencerminkan revolusi nasional, popular, demokratik dan anti-imperialis dimana tuntutan perjuangan kelas bukan merupakan kebutuhan mendesak dikedepankan. Bagi kalangan ini, adalah salah jika menyatakan revolusi 1979 merupakan revolusi sosialis, dimana kepemimpinan revolusi berada di tangan proletariat perkotaan yang didukung oleh kaum tani. FSLN sendiri pada dasarnya adalah sebuah organisasi yang didominasi oleh borjuis kecil yang radikal dan nasionalis, dimana secara historis FSLN memang dibangun di atas basis petani dan mahasiswa. Menilik ciri dasarnya ini, sejak awal revolusi 1979 itu telah ditakdirkan untuk gagal.

Karena merupakan revolusi nasional, popular dan demokratik, maka revolusi ini tidak menuntaskan misinya dalam wujud pengambilalihan hak milik borjuasi dan menjadikan revolusi tersebut bersifat internasional. Revolusi 1979 berhenti sebagai revolusi demokratik yang tetap mempertahankan sistem politik demokrasi borjuasi. Jika kita merujuk pada tesis Lenin tentang ciri dari revolusi sosialis seperti (1) tidak adanya tentara yang terpisah, melainkan sebuah tentara rakyat; (2) seluruh pejabat, manager dan sebagainya secara reguler dipilih oleh organisasi buruh, dengan hak untuk dipecat sewaktu-waktu; (3) seluruh pejabat menerima upah yang sama sebagai buruh terlatih; dan (4) partisipasi rakyat dalam seluruh tugas-tugas administrasi; dengan manajemen dan kontrol langsung masyarakat melalui dewan-dewan buruh (Soviets), maka revolusi Sandinista hanya berhasil membentuk sebuah tentara rakyat yang berada di bawah kontrol FSLN.

Pada level politik, sebagai hasil dari revolusi yang berwatak nasional dan demokratik itu, FSLN membangun sebuah koalisi yang lebih tepat disebut sebagai kolaborasi kelas. Dalam rangka perjuangan menumbangkan Somoza, misalnya, FSLN tidak bersungguh-sungguh menumbuhkan sebuah kekuatan kelas pekerja yang independen dan mandiri tapi, lebih cenderung membangun aliansi besar dengan kalangan borjuasi dan demokrat liberal dengan konsesi yang luas. Ini, misalnya, terlihat dari lima komposisi keanggotaan junta dimana FSLN hanya kebagian jatah dua orang. Padahal kekuatan terbesar dan terkuat dari junta adalah FSLN. Akibatnya, ketika FSLN mencoba memperluas pengaruhnya dalam junta dengan memperbanyak jumlah anggota dewan nasional, dengan segera terjadi keretakan di tubuh Junta. Violeta Barrios de Chamorro dan Alfonso Rebelo Callejas kemudian menyatakan mundur dari junta. Keduanya lalu digantikan oleh politisi non-Sandinista yang lebih konservatif.

Perpecahan ini memang telah diramalkan sejak awal. Bagi kalangan liberal, revolusi 1979 telah usai seiring dengan hengkangnya diktator Somoza. Kini saatnya untuk membangun kembali institusi politik (demokrasi liberal) dan institusi ekonomi (pasar bebas) yang menjamin hak kepemilikan pribadi. Dalam nada berkelakar, Sklaar menyatakan bahwa setelah revolusi para demokrat liberal itu berpikir bagaimana memperoleh beasiswa untuk belajar ke universitas-universitas terkemuka di AS dan Eropa Barat. Sementara bagi FSLN, revolusi 1979 justru merupakan sebuah awal untuk membangun ekonomi rakyat dan membangun partisipasi politik rakyat yang kuat. Yang mereka inginkan bukan hanya hengkangnya Somoza tapi juga Somocisme tanpa Somoza.

Politik kolaborasi kelas ini paling tampak dan menyumbang terbesar bagi kekalahan FSLN adalah kebijakan "Ekonomi Campuran/Mixed Economy." Bagi kalangan Marxis ortodoks, kebijakan ini sungguh sangat aneh dan membingungkan kalau tidak, malah merupakan penyelewengan terhadap konsepsi dasar Marxian. Kebijakan ini menjelaskan bahwa FSLN adalah penganut reformisme, dimana esensi reformisme adalah gradualisme. Konsepsi ini dipandang lebih merefleksikan konsepsi borjuis kecil yang hendak memaksimalkan pembangunan ekonomi nasional melalui pengkombinasian kapitalisme dengan kepemilikan kolektif. Dengan tetap mempertahankan bentuk ekonomi borjuis, maka Nikaragua di bawah Sandinista tetap merupakan sebuah negara borjuis karena FSLN pada hakekatnya tetap mempertahankan kepemilikan borjuis. Toh walaupun demikian, borjuasi Nikaragua yang tidak memiliki kekuatan signifikan secara politik tapi menguasai sektor ekonomi, dalam perkembangannya sering memboikot kebijakan-kebijakan FSLN yang populis. Di samping itu, walaupun borjuasi memperoleh insentif dari pemerintah namun, karena mereka tidak memiliki bargaining politik yang kuat, mereka selalu merasakan secara politik kedudukannya tidak stabil. Sebagaimana alasan yang dikatakan oleh salah seorang eksekutif muda yang melarikan uangnya ke luar negeri, "pemerintah memang memberikan insentif ekonomi tapi, yang kami butuhkan adalah kepercayaan pada iklim politik" (Sklaar, 1988).

Hasil selanjutnya dari revolusi nasional dan demokratik ini, FSLN terjebak untuk melakukan kompromi dengan imperialisme AS. Ketika presiden Reagan menghembuskan isu bahwa FSLN melakukan ekspor revolusi ke negara-negara Amerika Tengah lainnya, FSLN dengan bersungguh-sungguh membantah isu tersebut. Padahal menginternasionalkan revolusi merupakan salah satu prasyarat utama untuk melindungi revolusi 1979 dari serangan imperialisme AS. Politik moderat dan kompromis terhadap AS ini, juga disebabkan oleh tekanan yang dilakukan oleh Uni Sovyet di bawah Gorbachev dan Kuba. Dan bukan kebetulan jika Sovyet dan Kuba saat itu sedang keteteran dalam menghadapi perang dingin melawan Washington.

Agresi AS

Tetapi, tidak semua kalangan Marxis bersepakat dengan analisa di atas. Sebagian menyatakan bahwa secara ideologis FSLN tidak keluar dari garis Marxisme. Menyebut bahwa pemerintahan Sandinista yang merupakan pemerintahan buruh-tani sebagai sebuah penyelewengan, justru bertentangan dengan konsepsi Lenin tentang "pemerintahan buruh dan tani" dalam artikelnya yang berjudul "The Revolutionary-Democratic Dictatorship of the Proletariat and the Peasantry." Bagi pembela FSLN, kritik yang menyatakan bahwa FSLN dikuasai oleh para pemimpin yang berideologi borjuis kecil, lebih merupakan refleksi dari kelompok Trotsky yang avonturis, sektarian dan ahistoris. Kekalahan FSLN dalam banyak segi lebih disebabkan oleh politik agresi AS yang berbasiskan pada Doktrin Monroe-Reagen, dimana politik dalam negeri sebuah negara asing merupakan subyek yang harus dikontrol oleh AS. Di bawah pemerintahan Jimmy Carter, AS memang terus berupaya untuk meminimalisir peran FLSN paska revolusi. Tapi, strategi yang dipakai oleh Carter bersifat moderat, tujuannya adalah menjinakkan FSLN agar sesuai dengan garis kepentingan AS. Ketika Washington kehilangan kontrol terhadap FSLN, pemerintah Carter membatalkan bantuan dana kepada Nikaragua dalam bidang sosial dan kesehatan.

Setelah Reagan menempati Gedung Putih pada 1980, kebijakan luar negeri terhadap Nikaragua berjalan semakin agresif. Reagen menentang seluruh proyek bantuan terhadap Nikaragua, dan mengusulkan agar Washington bergerak lebih maju dengan mengaplikasikan teori domino. Kata Reagan, "I disagree with...the aid that we have provided...I think we are seeing the aplication of the domino theory...and I think it's time the people of the United States realize....that we're the last domino," (Sklaar, 1988).

Bagi Washington, keberadaan FSLN di Nikaragua yang berpenduduk sekitar 3 juta jiwa itu merupakan batu loncatan bagi Uni Sovyet untuk menguasai Amerika Tengah. FSLN dengan demikian tidak dilihat sekadar karena ia merupakan organisasi yang beraliran Marxis, yang menerapkan garis politik moderat terhadap borjuasi dan yang berusaha untuk mengakomodasi politik luar negeri AS, tapi, dilihat dalam konteks perang dingin. Karena itu pula, FSLN menjadi target untuk dilikuidasi.

Dalam kebijakan yang agresif ini, menurut Mark Major (The Sandinista Revolution and the "Fifth Freedom," 2005), pemerintahan Reagan menerapkan tiga kebijakan yang berjalan serempak dan seiring. Pertama, melancarkan agresi militer dengan membantu melatih dan mempersenjatai gerakan kontrarevolusi Contra. Contra merupakan sebuah gerakan kontrarevolusi yang sebagian besar beranggotakan mantan prajurit Garda Nasional, yang bergerak menyerang target-target yang dipesan oleh AS. Sasarannya terutama target ekonomi dengan tujuan memboikot dan mengakhiri harapan rakyat atas pembangunan ekonomi dan reform sosial yang dijalankan oleh FSLN.

Namun demikian, ada kepercayaan yang kuat di Washington bahwa Contra tidak akan sanggup mengalahkan FSLN yang didukung oleh mayoritas rakyat Nikaragua. Karena itu, strategi kedua adalah melancarkan perang ekonomi. Di sini, pemerintahan Reagan selain memutuskan seluruh bantuan yang dijanjikan oleh Carter, juga melakukan tekanan keras untuk memaksa Bank Dunia dan Inter-American Development Bank agar menghentikan seluruh proyek dan bantuan kepada Nikaragua. Tujuannya untuk menghancurkan apa yang disebut OXFAM sebagai "contoh bagus yang mengancam." Dengan hancurnya sektor ekonomi, maka popularitas FSLN dimata rakyat akan anjlok dan memberi pembenaran bagi tindakan kontrarevolusi yang dilancarkan oleh Contra. Ketiga, sebagai tambahan dari perang militer dan ekonomi, Washington juga melancarkan perang propaganda melalui media, yang dikoordinasikan oleh State Department's Office of Public Diplomacy for Latin America and the Caribbean (S/LPD). Faktanya, S/LPD ini berada di bawah arahan the National Security Council. Tujuan dari perang propaganda ini adalah "a vast psychological warfare operation of the kind the military conducts to influence a population in enemy territory," dimana musuh ini tidak hanya Nikaragua tapi juga adalah publik AS (khusunya adalah Kongres). The S/LPD membanjiri media massa AS dengan berita, lembaran-lembaran op-ed, bocoran rahasia dan pidato-pidato yang isinya berupa kebohongan dan pemutarbalikkan.

Hasilnya memang luar biasa. Walau tak sepenuhnya sukses, perang propaganda itu telah membutakan rakyat AS terhadap praktek kotor pemerintahan Reagan di kawasan Amerika Tengah. Sebagaimana ratapan Reagan dalam otobiografinya, "For eight years the press called me the 'Great Communicator.' Well, one of my greatest frustrations during those eight years was my inability to communicate to the American people and to Congress the seriousness of the threat we faced in Central America." Serangan gencar AS secara berlapis ini pada akhirnya memaksa FSLN untuk mengambil sejumlah langkah kompromi. Perang militer menyebabkan proyek partisipasi politik langsung dari bawah terpaksa dilikuidasi. Dalam menghadapi Contra yang bersenjata dan terlatih, FSLN kembali mengaktifkan struktur organisasi yang ketat dengan kepemimpinan yang disiplin. Langkah ini jelas menyebabkan organisasi bersifat hierarkhis dan hubungan FSLN dengan organisasi massa menjadi bersifat top-down. Sementara perang ekonomi menyebabkan proyek-proyek sosial FSLN berjalan tersendat-sendat. Pada tahun 1989 misalnya, FSLN terpaksa mengambil langkah tidak populer yakni, memberlakukan kebijakan pengetatan ekonomi. Itu artinya, FSLN memotong bantuan subsidi bagi pengembangan ekonomi rakyat yang mengakibatkan anjloknya taraf hidup rakyat miskin. Protes pun mulai bermunculan dan FSLN merespon protes tersebut sebagai gerakan kontrarevolusioner.

Pada akhirnya, FSLN tunduk pada tekanan dunia internasional yang berada di bawah pengaruh AS. Pada 1990 Sandinista kembali menggelar pemilu kedua paska revolusi 1979. Kali ini, Dewi Fortuna tidak berpihak kepada FSLN. Dan seiring kemenangan UNO dan naiknya Violeta Chamoro, Nikaragua membuka pintu terhadap pemberlakuan kebijakan neoliberal. Seluruh proyek sosial yang dijalankan FSLN pun digunting habis hingga kini. Hasilnya, Nikaragua tetap menjadi jawara negara termiskin di Amerika Tengah.***

Belajar Dari Sandinista di Nikaragua (Bagian 2)

FSLN (The Sandinista National Liberation Front/Front Pembebasan Nasional Sandinista), semula adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh sekelompok aktivis mahasiswa yang berbasis di Universitas Nasional Otonom Nikaragua (the National Autonomous University of Nicaragua). Digagas oleh José Carlos Fonseca Amador, Silvio Mayorga, and Tomás Borge Martínez, pada tahun 1961 FSLN secara resmi didirikan.

Berlawan di masa kediktatoran Somoza, para pemimpin awal Sandinista ini dengan cepat mendapatkan represi dari negara. Borge misalnya, menghabiskan beberapa tahun hidupnya di penjara. Demikian juga dengan Fonseca yang kemudian mengungsi ke Meksiko, Kuba dan Kosta Rika, untuk akhirnya menemui ajal di tangan aparatus rejim Somoza. Tetapi, karena militansi dan konsistensinya melawan rejim Somoza pada awal 1970an, FSLN dengan cepat memperoleh cukup dukungan dari petani dan kelompok-kelompok mahasiswa. Pada tahun-tahun sesudahnya, dukungan terhadap FSLN semakin membesar.

Secara ideologi, FSLN menganut garis Marxisme. Tapi, kita tidak akan menemukan sebuah penafsiran tunggal atas Marxisme. Ini bisa dilihat dari faksionalisasi yang terdapat dalam tubuh FSLN. Terdapat tiga faksi dalam tubuh FSLN: pertama, faksi yang menamakan dirinya “Perang Rakyat Jangka Panjang” (The guerra popular prolongada/"prolonged popular war"; GPP). Faksi ini berbasis di pedesaan dan dalam dalam jangka panjang “mengakumuasi kekuasaan secara diam-diam” di bagian wilayah dimana populasi petani adalah mayoritas. Kekuatan tani yang terorganisir dianggap sebagai basis bagi revolusi. Faksi ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Mao Tse Tung.

Faksi kedua menamakan dirinya “Tendensi Proletariat” (The tendencia proletaria/proletarian tendency; PT). Faksi ini merefleksikan pendekatan-pendekatan Marxis ortodoks, dan karena itu basis utama gerakannya adalah buruh perkotaan. Faksi ini dipimpin oleh Jaime Wheelock. Faksi ketiga adalah “Jalan Ketiga/Pemberontakan” (The tercerista/insurrecctionista/third way/insurrectionist; TI). Faksi ini dipimpin oleh Humberto Ortega dan Daniel Ortega Saavedra dan secara ideologi berwatak eklektik. Dalam strategi pemberontakannya, faksi ini menggalang aliansi dengan berbagai sektor dalam masyarakat seperti pengusaha, gereja, mahasiswa, kelas menengah, pemuda pengangguran, dan kaum miskin perkotaan. Faksi ini juga memeroleh dukungan internasional terutama dari kelompok profesional terkemuka Nikaragua, pemimpin-pemimpin bisnis, dan para Clergymen yang dikenal dengan nama “Group of Twelve/Kelompok Duabelas.” Kelompok ini atas dukungan pemerintah Kosta Rika, membentuk pemerintahan bayangan pengganti rejim Somoza.

Revolusi dan Garis Massa

Walaupun FSLN terpecah dalam tiga faksi, ketiganya dipersatukan oleh strategi revolusi sebagai metode yang paling efektif dalam menggulingkan rejim Somoza. Faksi-faksi itu juga diakomodir dalam sebuah kepemimpinan kolektif yang disebut National Directorate, yang kepemimpinannya diangkat.

Setelah tahun 1994, kepemimpinan National Directorate ini dipilih secara terbuka. Setiap faksi diwakili oleh tiga orang. Daniel Ortega, Humberto Ortega dan Viktor Tirade, mewakili faksi Jalan Ketiga; Jaime Wheelock, Luis Carrion dan Carlos Nunez, mewakili faksi Tendensi Proletariat; serta Tomas Borge, Bayardo Arce dan Henry Ruiz mewakili faksi Perang Rakyat Jangka Panjang. Selain itu, faksi-faksi ini dibebaskan dalam melakukan aktivitasnya sesuai dengan strategi dan taktik yang diputuskan oleh National Directorate.

Dalam menjalankan strategi revolusi ini, Sandinista menggunakan taktik perjuangan bersenjata yang dikombinasikan dengan pembangunan gerakan massa. Taktik bersenjata dipakai untuk menyerang pusat-pusat kekuatan militer Garda Nasional yang menjadi pelayan rejim Somoza. Sementara pembangunan gerakan massa didasarkan pada pfatform politik Sandinista yang menjanjikan sebuah pemerintahan yang demokratis, menjamin pluralisme politik, dan penegakan HAM. Namun demikian, secara prinsipil, taktik bersenjata kedudukannya lebih menudukung (subordinat) taktik pembangunan basis massa. Dalam bahasa Ortiz, “It really was a mass revolutionary movement, the Sandinista would have never have on military without the people!” (Roxanne Dunbar-Ortiz, “Reflection on the Sandinista Revolution and the Contras,” 2006).

Di bawah panduan garis massa, pada Juli 1970, gerakan mahasiswa, asosiasi perempuan (AMPRONAC), serikat buruh, asosiasi-asosiasi profesional, dan partai kiri tradisional membentuk sebuah koalisi besar yang dinamakan persatuan pergerakan rakyat (the United People’s Movement/MPU). Bergabung juga dalam koalisi ini adalah Partai Sosialis Nikaragua (PSN), sebagian besar partai komunis, kelompok-kelompok yang sejak awal telah melakukan perjuangan bersenjata melawan rejim Somoza, serta Front Oposisi Besar (FAO). Garis besar platform MPU adalah perubahan politik, ekonomi, dan sosial secara radikal, yang menurut mereka hanya bisa dilakukan melalui “sebuah pemerintahan dengan perwakilan partisipasipatif dari seluruh kekuatan politik, ekonomi, buruh, dan kekuatan kultural yang berkomitmen pada pembangunan bangsa dari stagnasi, ketergantungan, dan keterbelakangan yang dipaksakan oleh kediktatoran dan seluruh kawan aliansinya,” (Holly Sklar, 1988).

Pembentukan koalisi berbasis massa ini terus berlanjut dan merangkul seluruh kekuatan yang bertujuan menggulingkan rejim Somoza. Pada Februari 1979, MPU bersama-sama dengan the Group of Twelve, membentuk sebuah koalisi baru yang disebut Front Patriotic National. Turut bergabung dalam koalisi ini adalah the Popular Social Christian Party dan Independent Liberal Party. Dalam deklarasinya, front ini menyatakan prinsip-prinsip yang menitikberatkan pentingnya kedaulatan nasional, demokrasi, keadilan dan kemajuan sosial. Sebagai pra-kondisi bagi terciptanya “demokrasi yang efektif,” adalah menuntut “penggulingan kediktatoran Somoza dan penghapusan seluruh warisannya, serta penolakan terhadap seluruh manuver yang berimplikasi pada keberlanjutan sistem Somocismo tanpa Somoza” (Sklar, 1988).

Di bawah kepemimpinan Front Nasionl Patriotik, aksi-aksi massa yang dikombinasikan dengan taktik bersenjata semakin sering terjadi, yang membuat rejim Somoza semakin tersudut dan kalap. MPU kemudian membangun sebuah organisasi kekuasaan yang paralel dengan organisasi kekuasaan rejim Somoza, yang disebut People’s Power. Melalui organ ini, MPU menentang dan menantang kediktatoran dengan dukungan dari basis massa yang kuat, yang diorganisasikan ke dalam Civil Defense Committees (CDCs), basis komunitas Kristen dan organisasi-organisasi rakyat lainnya.

Pada 1979, serangan gerilyawan Sandinista semakin gencar. Pada tanggal 29 Mei, FSLN mendeklarasikan serangan terakhir terhadap rejim somoza, melalui serangkaian serangan terkoordinasi yang disusul dengan seruan pemberontakan nasional dan pemogokan umum. Deklarasi FSLN ini dijawab oleh rejim Somoza dengan memberlakukan status negara dalam bahaya pada 6 Juni. Namun posisi rejim Somoza kini dalam keadaan defensif, hidup matinya sangat ditentukan oleh dukungan Amerika Serikat. Makin lama, daerah yang dikuasai FSLN semakin luas. Pada 16 Juni, bertempat di San Jose, Kosta Rika, dideklarasikan sebuah Pemerintahan Sementara Dewan Rekonstruksi Nasional (The Provisional Government Junta of National Reconstruction).

Pemerintahan Sementara ini terdiri dari lima anggota yakni, Daniel Ortega dari FSLN, Sergio Ramirez dari Kelompok Duabelas, Alfonso Robelo dari FAO, Violeta Barios de Chamorro, seorang direktur harian liberal terkemuka La Prensa dan Moises Hassan, pemimpin MPU dan mantan dekan Universitas Nasional Otonomis Nikaragua.

Kombinasi taktik bersenjata dan gerakan massa ini makin memojokkan rejim Somoza dan pada akhirnya membuat Washington berpikir ulang atas dukungannya terhadap Somoza. Di satu sisi, Washington tak melihat lagi keuntungan untuk terus mendukung Somoza tapi, Washington juga mengkhawatirkan pengaruh FSLN yang sangat kuat dalam gerakan anti Somoza. Itu sebabnya, Washington kemudian menjalankan taktik memblok kekuatan FSLN sembari membuka peluang untuk mengkooptasi kekuatan anti Somoza di luar FSLN. Taktik baru Washington itu adalah “menginginkan agar Somoza segera mengundurkan diri sembari mendukung sebuah pemerintahan baru untuk rekonstruksi nasional." Pemerintahan baru versi Washington ini terdiri dari perwakilan National Liberal Party, kalangan Konservatif, anggota FAO lainnya dan FSLN. Selain itu, Washington juga merekomendasikan beberapan individu di luar FSLN seperti Alfonso Robelo, Adolfo Calero (direktur perusahaan Coca Cola Nikaragua), pastor Obando y Bravo, dan Eden Pastora. Pemerintahan baru ini juga nantinya akan memimpin Garda Nasional.

Tetapi, strategi Washington ini tak berjalan. Sebabnya FSLN tetap dengan strateginya semula untuk menggulingkan Somoza tanpa syarat. Pada 12 Juli, stasiun radio FSLN “Sandino,” mengumumkan bahwa wilayah Leon, Esteli, Chinandega, Matapalga dan Masaya telah berada dalam kekuasaanya. Pada 14 Juli, Junta mengumumkan nama-nama 12 anggota kabinet baru Nikaragua. Kemenangan yang diría Sandinista ini semakin mendekatkan mereka ke ibukota Managua, sementara itu Garda Nasional mengalami demoralisasi dan perpecahan yang serius. Pada 18 Juli, anggota Junta bergerak di Leon dan mendeklarasikan Leon sebaga ibukota sementara. Akhir rejim Somoza akhirnya datang juga. Pada 19 Juli, Somoza terbang ke Bahama dan Washington menyatakan bahwa rencana mereka telah gagal total di Nikaragua.

Hegemoni Popular

Ketika kekuasaan telah dalam genggaman, FSLN sebagai kekuatan politik terbesar dan terkuat dalam gerakan anti kediktatoran Somoza, konsisten dengan platform politik yang disepakatinya bersama Junta. Pemerintahan baru ini konsisten dengan platform demokrasi elektoral, puralisme politik dan ekonomi serta menjanjikan pelaksanaan pemilu secepatnya, yang direncanakan akan digelar pada 1985. Bahkan pada Agustus 1980, FSLN dalam rangka pelaksanaan pemilu pada 1985 itu, telah membentuk tim untuk mempelajari pengalaman beberapa negara dalam membentuk undang-undang tentang pemilu. Ironisnya, delegasi Sandinista dengan tujuan AS gagal masuk karena permintaan visanya ditolak.

Langkah-langkah politik yang ditempuh Sandinista ini, merupakan hal yang tidak lajim dilakukan oleh gerakan revolusioner berideologi Marxis yang juga memberi tempat pada faksi Leninis di dalamnya. Tidak ada partai tunggal yang dominan, kebebasan pers tetap dijamin, dan sebuah pemilihan umum yang sesuai dengan standar demokrasi liberal. Ini berbeda dengan Kuba, misalnya, yang tidak menganut sistem demokrasi liberal, dalam makna tidak mengenal pemisahan tiga cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Apa yang dilakukan oleh FSLN ini, oleh Andrew Reding disebut sebagai “kombinasi antara penekanan Barat pada pengakuan atas hak-hak sipil dan politik dengan penekanan Marxis pada hak-hak sosial dan ekonomi” (Gary Prevost, Political Policy: The Sandinista Revolution and Democratization, 2000).

Kombinasi ini tercermin dalam konstitusi Nikaragua, yang menegaskan tentang pemisahan kekuasaan di antara empat cabang kekuasaan: eksekutif, legislatif, yudikatif, dan elektoral. Poin ini jelas-jelas mencerminkan model demokrasi Barat. Sementara dalam area ekonomi, konstitusi Nikaragua mengadopsi model Kuba, dimana secara terang-terangan mencantumkan perlindungan dari kelaparan, kehilangan tempat tinggal, jaminan sosial, kesehatan dan pendidikan, dan kesehatan lingkungan. Dalam keseluruhannya, konstitusi memerintahkan kepada pemerintah untuk menjamin kebutuhan dasar rakyat ketika mekanisme pasar gagal menjamin kebutuhan mereka.

Namun demikian, FSLN menyadari bahwa demokrasi formal cenderung lebih menguntungkan para elite sembari meminggirkan lapisan bawah masyarakat. Untuk mencegah tendensi buruk itu, segera setelah revolusi 19 Juli FSLN membentuk organisasi massa. Pembentukan organisasi massa ini juga merefleksikan komitmen Sandinista untuk membentuk demokrasi dari bawah. Gagasan untuk membentuk demokrasi partisipatoris ini secara nasional tergambar dalam slogan “Logika Mayoritas,” dimana tujuan utamanya adalah terciptanya apa yang disebut Groth sebagai “Popular Hegemony” (Terri R. Groth, Conceptual Understandings of State Reform, 1998). Yang paling kuat dan terpenting di antaranya adalah Organisasi Perempuan Nikaragua (AMNLAE), Pemuda Sandinista (JS), Asosiasi Buruh Pedesaan (ATC), Pusat Buruh Sandinista (CST), dan Komite Pertahanan Sandinista (CDSs). Organisasi-organisasi massa inilah yang kemudian menjadi ujung tombak kesuksesan Sandinista dalam bidang ekonomi, sosial dan kultural.

Demikianlah, ketika Junta melaksanakan pemilu pertama yang bebas, adil dan rahasia sepanjang sejarah Nikaragua pada 1984, mayoritas rakyat memberikan suaranya pada Sandinista. Kemenangan ini mengantarkan Daniel Ortega Seevadra sebagai presiden Nikaragua.

Belajar Dari Sandinista di Nikaragua (Bagian 1)

Coen Husain Pontoh

19 Juli 1979, selalu akan dikenang rakyat Nikaragua sebagai proklamasi kemerdekaan mereka yang kedua. Pada hari itu, di negara kecil yang terletak di Amerika Tengah, di bawah kepemimpinan FSLN (Frente Sandinista de Liberación Nacional/The Sandinista National Liberation Front), rakyat Nikaragua berhasil menjatuhkan rejim diktator Anastasio Somoza Debayle, yang didukung pemerintah Amerika Serikat. Tahun 1979 kemudian dikenal sebagai tahun pembebasan (Year of Liberation).

Setelah berhasil mengambilalih kekuasaan melalui jalan revolusi, rejim baru dihadapkan pada kenyataan betapa ekonomi negara tersebut berada dalam situasi krisis yang parah. Sebelumnya, di bawah rejim Somoza, pembangunan ekonomi Nikaragua disetir oleh kepentingan AS. Seperti dikatakan Dora Maria Tellez, mantan menteri kesehatan Nikaragua,
"We produced sugar because the United States decided we should grow sugar, and bananas because the United States needed bananas..." Selain itu, sebagaimana layaknya rejim yang berkuasa dengan tangan besi, rejim Somoza adalah rejim yang sangat korup. Praktek korupsi terjadi di seluruh level dan jaringan kekuasaan negara. Tak heran ketika Somoza mengungsi, dia mewariskan hutang luar negeri sebesar US$1.6 billion.

Tidak sekadar itu bom waktu yang ditinggalkannya. Berdasarkan perkiraan yang dibuat the UN Economic Commission for Latin America (ECLA), sekitar 62,5 persen penduduk Nikaragua hidup di bawah garis kemiskinan; dua per tiga rakyat Nikaragua tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka; lebih dari sepertiga rakyat Nikaragua hidup dalam kemiskinan yang ekstrim; angka kematian dini sebesar 121 per 1000 kelahiran; dan kurang dari 20 persen perempuan hamil dan anak-anak di bawah umur lima tahun menerima pelayanan kesehatan. Di wilayah pedesaan, dimana hampir setangah populasi tinggal, 93 persen perumahan tidak memperoleh layanan air bersih; kurang dari satu dalam sepuluh anak-anak pedesaan sanggup menyelesaikan sekolah dasarnya, padahal lebih dari setengah penduduk Nikaragua berumur di bawah 16 tahun (Holly Sklar, Washington's War on Nicaragua, 1988).

Pertanyaannya, bagaimana pemerintahan revolusioner Sandinista mengatasi masalah politik-ekonomi yang gawat ini? Dari mana memulainya? Tugas pertama yang dilakukan pemerintahan revolusioner adalah membentuk sebuah dewan (junta) yang terdiri dari perwakilan berbagai kekuatan politik yang berjuang menjatuhkan rejim Somoza. Junta ini disebut Council (or junta) of National Reconstruction, yang beranggotakan lima orang: Daniel Ortega dan Moises Hassan mewakili Sandinista; novelis Sergio Ramírez Mercado, mewakili Kelompok Duabelas (the Group of Twelve); Alfonso Rebelo Callejas, dari kalangan pengusaha; dan Violeta Barrios de Chamorro (janda dari Pedro Joaquín Chamorro, pemimpin surat kabar anti rejim Somoza paling berpengaruh La Prensa). Namun demikian, kekuatan utama dari Junta ini adalah FSLN, yang menguasai angkatan bersenjata dan kepolisian serta mendapatkan dukungan penuh dari organisasi massa seperti the Sandinista Workers' Federation (Central Sandinista de Trabajadores), the Luisa Amanda Espinoza Nicaraguan Women's Association (Asociación de Mujeres Nicaragüenses Luisa Amanda Espinoza), and the National Union of Farmers and Ranchers (Unión Nacional de Agricultores y Ganaderos).

Junta ini selanjutnya mendeklarasikan sebuah fundamen politik yang disebut the Logic of the majority (Logika Mayoritas). Nilai dasar dari kebijakan ini, di bawah kediktatoran Somoza mayoritas rakyat tidak hanya berada dalam penindasan politik tapi, juga tertindas secara ekonomi. Itu sebabnya, revolusi 19 Juli bukanlah akhir sebuah perjuangan tapi, justru merupakan awal dari perjuangan panjang untuk memerangi kemiskinan dan penghisapan. Dalam bahasa Bayardo Arce, "kita tidak bisa melihat terwujudnya pluralisme politik yang sejati tanpa adanya pluralisme ekonomi." Untuk itu, Sandinista kemudian membangun sebuah proyek politik yang menjamin terwujudnya pluralitas politik, partisipatori demokrasi, tidak berpihak pada salah satu kubu yang bertarung dalam Perang Dingin, serta ekonomi campuran yang memungkinkan terjadinya kerjasama antara sektor swasta dengan individualismenya dan sektor koperasi.

Berdasarkan pada Logika Mayoritas ini, maka prioritas utama dari pembangunan ekonomi Nikaragua adalah mengentaskan kemiskinan rakyat Nikaragua, membantu rakyat miskin agar bisa membangun sendiri kekuatan ekonominya, membangun koperasi yang melayani kebutahan rakyat miskin, membangun sekolah-sekolah, pusat-pusat pelayanan kesehatan, distribusi lahan, dan memperkuat harga diri serta kedaulatan nasional. Dengan kata lain, tujuan utama dari prinsip Logika Mayoritas itu adalah menjadikan "Nicaragua's poor majority would have access to, and be the primary beneficiaries of, public programs." Secara programatik, kebijakan tersebut terangkum dalam beberapa poin berikut:

· Nasionalisasi kepemilikan pribadi keluarga Somoza dan para kolaboratornya;
· Land reform;
· Peningkatan kondisi-kondisi kerja di pedesaan dan perkotaan;
· Kebebasan berserikat bagi seluruh pekerja, baik di pedesaan maupun di perkotaan;
· Melakukan kontrol terhadap biaya-biaya kehidupan, khususnya bahan kebutuhan pokok (makanan, pakaian, dan obat-obatan);
· Meningkatkan pelayanan publik, kondisi-kondisi perumahan, pendidikan (mandatory, bebas biaya pendidikan hingga sekolah menengah, sekolah yang tersedia bagi seluruh warga negara; kampanye pemberantasan buta huruf secara nasional);
· Nasionalisasi dan proteksi sumberdaya alam, termasuk pertambangan;
· Penghapusan kekerasan politik, pembunuhan politik dan hukuman mati;
· Perlindungan terhadap kebebasan berdemokrasi (kebebasan berekspresi/freedom of expression, kebebasan berorganisasi politik dan berkumpul/political organisation and association, kebebasan beragama/freedom of religion, dan memulangkan seluruh pelarian politik masa kediktatoran);
· Persamaan hak bagi perempuan (Equality for women);
· Kebijakan luar negeri dan hubungan luar negeri yang tidak berpihak alias bebas;
· Pembentukan sebuah tentara rakyat yang baru, demokratis dan berada di bawah kepemimpinan FSLN;
· Kontrol terhadap pestisida;
· Konservasi hutan tadah hujan;
· Konservasi suaka margasatwa; dan
· Membangun program energi alternatif.


Tahun Bebas Buta Huruf (Year of Literacy)

Keseluruhan program pembangunan ekonomi yang dicanangkan oleh Sandinista ini, menurut the Inter-American Development Bank, telah menciptakan "fondasi yang kokoh bagi pembangunan sosial-ekonomi dalam jangka panjang." Pujian itu memang terbukti dalam waktu singkat, dimana hasil-hasil positif terlihat nyata. Seperti dikemukakan Mark Major (The Sandinista Revolution and the "Fifth Freedom," 2005), dari tahun 1979 sampai 1983, GDP per kapita Nikaragua meningkat sebesar 7 persen, sementara negara-negara tetangganya mengalami penurunan lebih dari 14 persen.

Komitmen pemerintahan baru ini juga mendapat pengakuan dari lembaga internasioal seperti OXFAM, yang menyatakan "Nikaragua...adalah sebuah pengecualian mengenai komitmen pemerintah yang kuat ...dalam meningkatkan kondisi rakyat dan mendorong partisipasi aktif mereka dalam proses pembangunan." Sebagai perbandingan, dari empat negara Amerika Tengah dimana OXFAM beroperasi (El Salvador, Guatemala, Honduras dan Nikaragua), hanya di Nikaragua terlihat usaha yang substansial untuk mengentaskan ketidakseimbangan dalam hal pemilikan tanah, perluasan pelayanan kesehatan, pendidikan dan pertanian pada keluarga-keluarga miskin pedesaan (Noam Chomsky, 1993).

Salah satu penerapan dari slogan Logika Mayoritas adalah perang melawan buta huruf. Program ini dipimpin oleh salah seorang anggota "Kelompok Duabelas," Father Fernando Cardenal. Organisasi-organisasi massa seperti Sandinista Youth Organization, National Association of Nicaraguan Educators, Rural Worker's Association, AMNLAE (the Women's Association) dan Sandinistia Defense Committees, menjadi ujung tombak bekerjanya program ini. Dalam waktu lima bulan sejak Maret 1980, sekitar 60 ribu brigadistas, sebagian besar di antara mereka adalah perempuan, menyebar ke seluruh negara untuk mengajar- dan belajar. Hasil dari program ini, angka buta huruf pada orang dewasa berhasil dikurangi secara signifikan, dari 50 persen menjadi 13 persen. Pada tahun 1983, sebanyak 17.377 CEPs (Popular Education Collectives) berhasil dibangun di seluruh negeri. Dalam sektor pendidikan formal, terjadi ekspansi besar-besaran dari jenjang prasekolah hingga universitas. Total sekolah rakyat bertambah lebih dari dua kali lipat antara 1979 sampai 1984. Sukses di lapangan pendidikan ini diganjar oleh UNESCO dengan pemberian Literacy Award pada tahun 1980.

Sama seperti dalam pemberantasan buta huruf, para sukarelawan juga dikerahkan untuk meyukseskan program kesehatan. Selama periode ini, the National Unified Health System dengan penuh kesungguhan membuka pusat pelayanan kesehatan bagi semua. Hasilnya, kematian dini berkurang secara signifikan, yang lagi-lagi mendorong UNICEF untuk memberikan penghargaan pada Nikaragua sebagai "salah satu negara yang secara dramatis berhasil meningkatkan daya hidup anak-anak di dunia berkembang." Bahkan Ronald Reagan, presiden AS yang paling agresif memusuhi Sandinista, melalui Komisi Kisinger tak bisa mengelak dari kekagumannya atas "pemerintahan Nikaragua yang telah memperoleh keuntungan signifikan atas perangnya melawan penyakit dan buta huruf."

www.indoprogress.blogspot.com