Rabu, 11 Juni
2014
Oleh Andalusia
Knoll
|
Review:
Tarian Brazil dengan Iblis: Piala Dunia, Olimpiade dan Perjuangan untuk
Demokrasi
Oleh
Dave Zirin (Haymarket Books, Mei 2014)
Sebuah
street art, menggambarkan seorang anak lelaki menangis dengan sebuah piring berisikan
bola, street art itu menjadi populer seiring dengan Piala Dunia di Brazil.
Mural itu dilukis sesaat setelah seorang komentator olah raga Dave Zirin
menulis buku terbarunya Tarian Brazil dengan Iblis: Piala Dunia, Olimpiade
dan Perjuangan untuk Demokrasi, buku tersebut memuat penjelasan tentang gambaran
sejarah yang mudah menguap. Dalam bukunya, Zirin mengulas kembali warna warni
FIFA dibalik publisitasnya di seluruh dunia, yang menyingkap kematian,
penindasan, penggusuran dan korupsi yang memberi jalan bagi Piala Dunia 2014
dan ajang Olimpiade di Rio de Jeneiro pada tahun 2016 mendatang.
Bagi
siapa saja yang mengetahui sejarah Brazil maupun sepak bola, Zirin membantu
pembaca untuk memahami keduanya. “Hubungan antara sepak bola dan Brazil
tidaklah selalu soal olah raga sebagai identitas nasional”, tulis Zirin. Ia
melanjutkan, Olahraga adalah semacam jaringan di dalam sebuah negara dengan
beragam kultur yang terjaling bersama dalam kekerasan dan keindahan”
Dalam
sebuah bab berjudul “Tidak Ada Dosa di Bawah Khatulistiwa,” Zirin menjabarkan
sejarah brutal Brazil selama 3 abad perbudakan terhadap 3,5 juta rakyat asli
Brazil dan Afrika, separuh dari mereka tewas. Keturunannya adalah separuh
dari jumlah penduduk. Penduduk asli Brazil dan berkulit hitam masih sering
diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, sementara pemerintahnya bangga
menjadi bangsa multikultur dimana rasisme sudah tidak eksis. Menurut Zirin,
keberagaman bintang bola Brazil memainkan visi keharmonian rasial dan imej
mereka yang telah dimarketkan.
Setiap
bab diperkenalkan dengan kutipan dari buku Eduardo Galeano berjudul Bola di
Matahari dan Bayangan, Zirin menggambarkan bagaimana olah raga rakyat telah
dikomodifikasi, dijual dengan harga tertinggi dan diekspor. Zirin memberikan
sejarah penting tentang bintang bola, stadion dan timnya. Ia memperkenalkan
kita pada Pele, bintang bola Afro – Brazil yang tampangnya dijadikan sampul
perangko kala diktator militer Brazil dan Pele adalah atlete pertama yang
memasarkan namanya sendiri sebagai merk. Saat Pele diminta berkomentar
tentang kemiskinan di Brazil, Zirin menulis bahwa Pele memberikan respon
standar, “Tuhan membuat kemiskinan dan dengan kemiskinan itu Tuhan memberikan
bakat atletik supaya bisa membawa kegembiraan dalam kesulitan hidup mereka”. Meski
demikian, berdasarkan artikel Zirin, kebijakan pemerintah baru-baru ini
mendorong Pele mempertanyakan mengapa pemerintah lebih banyak menghabiskan
dana untuk insfrastruktur piala dunia dibanding sekolah dan Rumah Sakit.
Zirin
juga memperkenalkan kepada kita sebuah legenda bola, Socrates, yang sudah
meninggal, namun tetap vokal menyuarakan sikap oposannya terhadap dekadensi
Piala Dunia,jika saja ia masih hidup. Pada tahun 1980an, Socrates mengepalai
tim sepak bola komunis, Corinthians, yang secara terbuka mendukung pesan
politik yang melawan kediktatoran militer dan membuat keputusan secara
kolektif. “Akan ada banyak uang publik yang menghilang masuk di kantong
orang. Stadion akan dibangun dan mereka akan tinggal di sana untuk sisa hidup
mereka tanpa pernah menggunakannya,” ucap Socrates, saat ditanya pada tahun
2011 tentang Piala Dunia 2014 yang akan menimbulkan kemiskinan di Brazil.
Bagi
mereka yang tidak sadar tentang sejarah dua ajang olah raga (Piala Dunia dan Olimpiade),
Zirin menggambarkan asal usul keduanya yang berbeda: Olimpiade dibentuk pada
tahun 1896 sebagai kontes permusuhan antar kekuatan imperial, sementara Piala
Dunia lebih sederhana di awal pembentukannya, dilahirkan oleh FIFA, yang
hanya dibentuk untuk membantu meregulerkan aturan sepak bola. Meski mempunyai
asal usul yang berbeda, Zirin menginformasikan kepada kita bahwa keduanya
memberi legitimasi kepada kediktatoran militer dan fasis dimana Obor Olimpiade
lahir di masa rejim Nazi, sementara Piala Dunia lahir di bawah kediktatoran
brutal Argentina, masing-masing ajang olahraga permainan ini muncul dengan
keriuhan, dan tanpa mengakui pertumpahan darah di sekitarnya.
Zirin
memberitahu kita bahwa ini bukan hanya sekedar skenario masa lapau, namun
juga transformasi pasca 9/11 dimana permainan ini dijadikan “kuda troya
neoliberal” yang mengantarkan pada represi politik dan pembangunan
infrastruktur penjagaan. Selama Olimpiade 2012 di China dan Permainan 2014 di
Rusia, sedikit perhatian yang diberikan oleh Pemerintah terkait pelanggaran
HAM. Dalam persiapan pertandingan Olimpiade di Vancouver (2010), pemerintah
juga memukul mundur hak sipil yang punya pendapat berbeda. Piala Dunia 2022
ditakdirkan untuk Qatar, yang hadir di bawah kritik tajam atas kekerasan
terhadap buruh, stadion tempat bermain Piala Dunia dibangun oleh buruh migran
yang diperbudak, ratusan buruh mati dalam proses pembuatan stadion tersebut.
“Banyak
negeri berubah, namun skenario tetap sama: profit luar biasa dan pajak untuk
sponsor dan firma sekuriti, dana publik yang dihabiskan untuk membangun
stadion baru dan pemotongan subsidi gila-gilaan yang membuat rakyat jatuh
miskin ketika pesta usai”, tulis Zirin. Ia juga mempertanyakan mengapa
sedikit reporter bisa melakukan liputan mendalam dan investigatif tentang apa
yang terjadi di balik perhelatan besar itu.
Dalam
buku Tarian Brazil dengan Iblis, Zirin
mendedikasikan seluruh bab tersebut untuk Lula Inacio Da Silva, adalah
presiden Brazil yang datang dari kekuatan serikat buruh dan berhasil berkuasa
dengan dukungan dari gerakan sosial termasuk gerakan masyarakat tak bertanah,
yang kemudian berbalik menjadi kekasih neoliberal. Adalah Lula yang berhasil
mendekati FIFA dan komite Olimpiade Internasional sehingga Brazil bisa
menjadi tuan rumah dua mega even sekaligus yang hanya berselang dua tahun. Zirin
menulis bahwa dua ajang olahraga besar ini dianggap sebagai nyanyian Lula
yang membuat Brazil menerima penghormatan dan pengakuan agak terlabat pada
skala global.
“Tragisnya,
Piala Dunia dan Olimpiade bukanlah simbol keberhasilan. Mereka berjalan
saling bergandengan tangan dengan korupsi, kekerasan, tindakan kekerasan keamanan
dan serangkaian prioritas pengeluaran yang membuat Lula muda memerah”, tulis
Zirin. Pengganti Lula, Dilma Rouseff, yang datang dari latar belakang kiri
dan pernah dipenjara selama kediktatoran militer tahun 1970an, juga
menunjukkan politik neoliberalnya dengan membolehkan korupsi merajalela
selama pembangunan Stadion Piala Dunia.
Zirin
juga secara kreatif menuliskan prosa yang personal dan politis dengan
menggambarkan perjalanan melalui favelas untuk mencari patung Michael Jackson
yang dipersembahkan ketika bintang pop itu bepergian ke Brazil untuk membuat
video klip kontroversialnya “They dont care about us”. Zirin mengakui dan
mendiskusikan ketakutannya semenjak kunjungan pertamanya ke favelas di kota
Rio, sebuah ketakutan yang bertransformasi menjadi apresiasi halus atas
pembungkaman kreatif terhadap warga favela dalam ketertundukannya bukan hanya pada gambaran diri mereka dan tempat tinggal mereka yang terkriminalkan, namun
juga cara mereka yang inovatif dalam menghentikan bola menghancurkan tempat tinggal mereka. Sebagai contoh,
masyarakat Providencia, warganya menciptakan sebuah instalasi foto yang
memotret semua warga yang sedang digusur karena lahannya hendak didirikan
real estate untuk persiapan Olimpiade. Zirin juga menulis tentang pengawasan
dan polisi yang diperintahkan untuk mengamankan warga favela, bukan hanya
untuk alasan keamanan Piala Dunia namun juga supaya lebih mudah menggusur
warga favela agar real estate bisa berdiri di atas hak warga favela yang diabaikan dan sekarang menjadi properti utama. Satu isu
yang tidak diangkat oleh Zirin, dan menonjol dalam cakupan alternatif Piala
Dunia, adalah perdagangan seks yang meluas jelang Piala Dunia.
Dalam
bukunya ini, Zirin tidak pernah mengimplikasikan keinginannya agar pembaca
berhenti menonton pertunjukan olahraga atau bahkan memboikot Piala Dunia. Apa
yang ia mau dari para pembaca adalah memahami pertumpahan darah dan
perampasan yang terjadi untuk mewujudkan Piala Dunia dan Olimpiade di Brazil.
Zirin akan berada di Brazil selama minggu pertama Piala Dunia dan berbagai
komentar politik cerdasnya terkait proses pertandingan yang sedang
berlangsung. Bagi semua yang tertarik mendengarkan suara di luar stadion,
buku ini layak dibaca bagi siapa saja ketika momen gembira dan seruan
GOOOOOOOOL tidak lagi memenuhi layar televisimu hingga bulan depan.
Andalusia
Knoll adalah jurnalis freelance di kota Mexico yang akan berada
di bRazil selama Piala Dunia untuk meliput gerakan rakyat selama Piala Dunia.
Kau bisa mengikuti twiternya di @andalalucha
|
Untuk memberantas kemiskinan berikanlah kekuasaan kepada orang miskin: pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi. Itulah satu-satunya cara mengakhiri kemiskinan [Hugo Chavez, 2005]
15/06/2014
Doktrin Syok Olahraga : Dave Zirin di Piala Dunia, Olimpiade dan Demokrasi Brazil
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment