Brazil terkunci
dalam lautan kebencian, terkhusus kepada kaum miskin, kulit hitam dan kaum kiri
– sebuah sentimen yang diperburuk dengan krisis keuangan yang sedang terjadi.
Intervensi Militer di Rio de Janeirto oleh tentara dan Presiden Michel
Temer : adalah “sebuah laboratorium bagi Brazil”, ucap komandan operasi
tersebut, seperti apa yang sudah diperingatkan oleh Vitor Schincariol, bahwa “kekuatan
sayap kanan sedang bertujuan untuk menghentikan organisasi rakyat”
Militer telah mendistribusikan majalah – majalah ke anak – anak di Rio, semenjak hari pertama intervensi dilakukan. Cover majalah tersebut menampilkan
monster merah (bahaya ‘merah’) yang mencoba menyerang seorang berkulit putih,
anak lelaki berambut merah, yang dilindungi oleh militer. Ini berkaitan dengan
pembunuhan seorang aktivis lama dan anggota dewan perempuan berusia 38 tahun, bernama
Marielle Franco, dari Partai Sosialisme dan Pembebasan, pada 14 Maret. Tembakan
yang membunuh Marielle Franco, dilakukan hanya 30 hari setelah pertama
kali militer menduduki Rio de Janeiro, yang rupanya dari polisi federal. Peluru 9mm itu, diberitakan, diperoleh dari pengiriman dari tim polisi di Brasilia pada tahun 2006. Kesempatan memperoleh peluru
tersebut untuk pembunuhan Marielle Franco, datang baik secara langsung atau
tidak langsung, karena korupsi di tubuh polisi federal.
Empat hari sebelum dieksekusi,, Marielle telah mempublikasikan di media
sosial sebuah catatan yang menolak Batalion Polisi Militer 41 Rio de Janeiro. Menurut
Marielle Franco, petugas polisi membunuh dua anak muda lalu melemparkan jenasah
mereka ke sungai. Batalion 41 adalah batalion paling kejam di negeri tersebut:
sudah sangat dikenal luas di favelas di daerah utara, sebagai gerombolan
bandit, penyiksa, eksekutor dan penganiaya rakyat tidak bersenjata.
Konteks
Pembunuhan
Media mainstream Brazil melukiskan Marielle sebagai seorang aktivis
perjuangan yang abstrak, tidak meletakkannya dalam konteks etniknya, latar
belakang politik dan kelasnya – yang merupakan alasan kenapa aktivis kulit
hitam dan sosialis favela yang militan itu dibunuh.
Tindakan
kriminal ini adalah realita menakutkan di Brazil kontemporer ini. Seperti yang
dikatakan seorang sejarawan Brazil Vitor Schincariol: “Pembunuhan Marielle
bertujuan untuk meletakkan kelompok kiri Brazil di bawah tekanan rasa takut”
Marielle
dikenal karena kerap berbicara tentang kejahatan organisasi keamanan publik
terhadap penduduk favela, yang mayoritasnya adalah kaum kulit hitam dan miskin,
sebuah kota dimana militer mengamankan kota itu selama masa – masa gelap ini.
Dua minggu
sebelum ia dibunuh, Marielle Franco telah mengambil bagian dalam sebuah komisi
untuk menganalisa intervensi militer Presiden Temer di Rio. Dengan segera, ia
mulai melaporkan bukti penyiksaan, hal ini kemudian yang diduga menyebabkan ia
dieksekusi.
Komisi
Kebenaran Baru
Pada 19 Februari, Komandan Tentara Eduardo Villaas Boas mengatakan bahwa
militer mengintervensi kebutuhan keamanan Rio untuk menghindari berkonfrontasi
dengan Komisi Kebenaran Baru (antara tahun 2012 dan 2014, sebuauh Komisi
Kebenaran telah dibentuk di Brazil untuk menginvestigasi kejahatan militer
selama rejim diktator, antara 1964 dan 1985).
Sebuah studi diterbitkan pada 15 Maret, oleh media lokal dan chanel polisi militer resmi yang menampilkan bahwa ada 149 tembakan fatal bulan lalu di Rio, dibandingkan dengan 126 tembakan fatal pada 15 Januari dan 16 Februari di tahun ini. Penembakan dari petugas keamanan berjumlah 133 dari total jumlah bulan lalu. Sementara, antara Januari dan Februari, jumlah tembakan fatal itu adalah 106 tembakan.
Pada bulan September 2017, 48% warga Brazil mendukung kudeta militer. Angka
itu telah meningkat menjadi 74% di Rio:”sebuah laboratorium untuk Brazil,”
menurut Jendral Braga Neto. Ia memimpin intervensi itu dan menyiratkan keinginannya
untuk melakukan militerisasi negara kembali – tidak mengejutkan, setelah
beberapa kejadian terakhir, dan kehidupan sehari hari semenjak 2013, ketika
Brazil mengalami “musim semi” nya.
Kudeta
Militer “Di Depan Mata”
Brazil
terkunci dalam rasa kebencian, khususnya terhadap kaum miskin, kaum kulit hitam
dan kaum kiri – sebuah sentimen yang diperburuk dengan krisis keuangan. Seolah –
olah, setiap jalan mengarah pada intervensi militer. Seluruh negara, kaum kiri
militan dan intelektual mengalami persekusi terorganisir oleh sektor publik.
Sudah terkonfirmasi bahwa Kantor Jaksa Umum telah dipengaruhi oleh Rejim
Washington, terutama terkait gugatan terhadap mantan Presiden Luiz Inacio Lula
da Silva. “Kekuatan kelompok kanan bertujuan untuk menghentikan organisasi –
organisasi rakyat,” ucap Schincariol, seorang sejarawan di Universidade Federal
do ABC (UFABC) di Sao Paulo.
Video tahun 2015 ini menampilkan pertemuan Katholik di Brasilia yang
memperdebatkan tentang keadilan sosial dan perdamaian, seorang Uskup diserang:
sebuah kasus histeria menakutkan yang secara sempurna berhasil menggambarkan situasi
Brazil saat ini.
Temer mengambil kekuasaan sebagai militer dan boneka AS. Kegagalan total
atas langkah ekonominya, terbatasnya legitimasi mandatnya, dan pendiskreditan
mantan Presiden Lula secara politik yang digugat di pengadilan, penuh manipulasi
oleh Washington (berdasarkan data wikileak Hakim Serio Moro mengambil kurus
rahasia di AS), dikombinasikan dengan gejolak sosial yang makin memburuk akibat
pembunuhan Marielle Franco yang artinya, saat ini, di Brazil, kudeta militer
sudah tampak di depan mata.
Prof. Dr. Schincariol mengobservasi, bahwa “kesenjangan kapasitas militer yang
ada antara gerakan hak dan kiri, memicu sebuah perang sipil terbuka yang
merupakan tujuan dari kelompok konservatif. Hal ini akan menjadi pembenaran
digunakannya kekuatan militer oleh negara. Ini adalah jenis skenario baru dan
kekuatan demokratik harus kuatir tentang ini.”